PENGERTIAN NAJIS
Najis menurut syariat Islam ( Syara’ ) adalah benda yang kotor dan telah ada dalil yang menetapkannya. Najis wajib dibersihkan menurut cara – cara yang telah ditentukan oleh syara’ karena akan menjadi penghalang dalam beribadah kepada Allah. Yang termasuk benda – benda najis seperti :
a. Bangkai ,Kecuali manusia ,ikan dan belalang
b. Darah
c. Nanah
d. Segala sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur
e. Anjing dan babi
f. Minuman keras seperti arak dan sebagainya.
g. Bagian anggota badan binatang yang terpisah karena dipotong dan sebagainya selagi
masih hidup.
masih hidup.
َوَعَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ - وَهِيَ حَيَّةٌ - فَهُوَ مَيِّتٌأَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَاللَّفْظُ لَهُ
Artinya :
Dari Abu Waqid Al-Laitsi Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Anggota yang terputus dari binatang yang masih hidup adalah termasuk bangkai." Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan beliau menyatakannya shahih. Lafadz hadits ini menurut Tirmidzi. ( Diambil dari kitab bulughul maram )
SESUATU YANG DAPAT MENGHILANGKAN NAJIS DAN CARA MENGHILANGKANNYA.
Menurut Ahli Piqh , najis dibagi menjadi 3 , Yaitu :
a. Najis Mughalladzah ( najis berat )
Adalah Najis yang berasal dari anjing dan babi atau yang dilahirkan dari keduanya atau dari salah satunya.
Adapun dalil yang menajiskan anjing :
َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَفِي لَفْظٍ لَهُ فَلْيُرِقْهُ وَلِلتِّرْمِذِيِّ أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ
| |
Artinya :
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sucinya tempat air seseorang diantara kamu jika dijilat anjing ialah dengan dicuci tujuh kali, yang pertamanya dicampur dengan debu tanah." Dikeluarkan oleh Muslim. Dalam riwayat lain disebutkan: "Hendaklah ia membuang air itu." Menurut riwayat Tirmidzi: "Yang terakhir atau yang pertama (dicampur dengan debu tanah). (Diambil dari kitab bulughul maram)
- Cara mensucikan dengan menggunakan air yang mensucikan dalam najis mugalladzah adalah dengan membasuh tempat najis itu sebanyak tujuh kali dan pada salah satunya air tersebut diikut sertai dengan debu yang mensucikan atau yang tidak najis atau yang bukan bekas dipakai dalam tayammum.
Aturannya Ada tiga cara :
Pertama : Mencampur air dengan debu sebelum diletakkan diatas tempatnajisnya.
Kedua : Mengenakan air terlebih dahulu diatas tempat najisnya sebelum
menggunakan debu , baru kemudian diatasnya diberi debu.
Ketiga : Meletakkan debu terlebih dahulu , kemudian dituangkan air diatasnya.
b. Najis Mukhaffafah ( najis ringan )
Adalah najis yang disebabkan Karena air kencing bayi, yaitu apabila usia anak kecil itu belum sampai 2 tahun dan ia masih belum makan apa – apa kecuali air susu dan semacamnya seperti keju atau mentega.
Berbeda halnya dengan air kencing wanita dan banci musykil (banci yang sulit dibedakan). Maka air kencing keduanya itu wajib di cuci sesuai dengan sabda rasulullah SAW :
َعَنْ أَبِي السَّمْحِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ
| |
Artinya :
Dari Abu Samah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Bekas air kencing bayi perempuan harus dicuci dan bekas air kencing bayi laki-laki cukup diperciki dengan air." Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i. Oleh Hakim hadits ini dinilai shahih. ( Diambil dari kitab bulughul maram )
- Cara mensucikan dengan menggunakan air yang mensucikan dalam najis Mukhaffafah Adalah apabila itu air kencing anak laki – laki cukup di perciki atau disiram, namun apabila air kencing anak wanita maka hendaklah di cuci. Yang banci di golongkan pada jenis wanita.Jika bayi itu lebih dari usia 2 tahun, maka air kencingnya wajib dicuci walaupun ia belum menerima makanan selain air susu, sebagaimana juga air kencingnya juga wajib dicuci bila ia makan sesuatu selain air susu walaupun hanya satu kali.akan tetapi apabila ia diberi sesuatu bukan bermaksud memberikan makanan lalu ia memakannya, seperti obat maka hal tersebut tidak dapat menjadi penghalang untuk menyiram air kencingnya dan dzat najisnya itu tidak boleh tidak harus dihilangkan sebelum menyiram tempat najis iru dengan air , misalnya dengan cara pakaian itu diperas dan dikeringkan. Begitu pula sifat – sifatnya harus hilang disertai siraman air itu.
c. Najis Mutawassithah ( najis sedang )
Adalah selain dari apa yang disebutkan tadi. Najis ini dibagi menjadi 2 :
Adalah selain dari apa yang disebutkan tadi. Najis ini dibagi menjadi 2 :
Pertama : Najis Hukmiyah , yaitu najis yang tidak mempunyai dzat (bentuk),rasa,warna
dan bau ,seperti air kencing selain bayi bila ia kering Abu bakar barang
najis dan asapnya adalah najis.
- Cara mensucikan najis hukmiyah adalah dengan menuangkan air diatas tempatnya sekalipun hanya sekali dan tidak disengaja.
Kedua : Najis ‘Ainiyah ,yaitu najis yang mempunyai dzat ( bentuk ),rasa , warna
dan bau.
dan bau.
- Cara mensucikan najis ‘Ainiyah adalah dibasuh sekali dan disyaratkan agar dzat najisnya itu hilang, Adapun sifat – sifatnya (rasa, warna dan bau), apabila hanya tinggal rasanya saja yang bersisa maka ia najis selama ia tidak sulit untuk dihilangkan.Batasan sulitnya adalah bahwa najis itu tidak dapat hilang kecuali dengan memotongnya.Pada saat itu tempat tersebut dihukumi najis yang dapat di maafkan.Dan jika setelah itu dapat dihilangkan maka wajib dihilangkan dan baginya tidak wajib mengulangi shalat yang telah dilakukan sebelumnya.Jika najis itu sulit hilang, maka wajib menggunakan sabun dan yang semacamnya kecuali bila dalam keadaan udzur.jika warna dan baunya masih bersisa, maka hukumnya dimaafkan.
Akan tetapi apabila yang bersisa itu hanya warnanya saja atau baunya saja , maka tempat tersebut suci bila hilangnya sulit. Batasan sulit disini adalah bahwa najis itu tidak hilang dengan digosok memakai air sebanyak 3 kali.Dan bila setelah itu dapat dihilangkan, maka ia tidak wajib mensucikan tempat tersebut. Dalam menghilangkan najis dengan ketiga macamnya disyaratkan agar air itu mengena diatas najisnya, yaitu bila air itu sedikit. Dan jika air yang sedikit itu tertimpa najis , maka ia menjadi mutanajjis dengan persentuhannya itu. Dan apabila air yang sedikit itu najis tetapi belum mengalami perubahan kemudian ditambahkan kepadanya air yang mensucikan hingga mencapai 2 kullah, maka ia menjadi suci. Akan tetapi apabila air najis itu mengalami perubahan, baik air itu sedikit atau banyak, maka ia tidak suci kecuali ditambahkan kepadanya air yang mensucikan hingga dapat menghilangkan perubahan yang ada pada air itu, dengan syarat mencapai 2 kullah.
Adapun cara mensucikan tanah yang terkena najis Mutawassithah yang cair, seperti air kencing adalah dengan memenuhkan (menggenangkan) air padanya, yaitu apabila tanah itu menyerap najis. Jika ia tidak menyerap najis, maka harus dengan mengeringkannya terlebih dahulu kemudian dituangkan kepadanya air sekalipun hanya sekali.
Sedangkan cara mensucikan tanah dari najis yang padat adalah cukup dengan mengangkat najis tersebut dari tanah itu, yaitu bila ia belum terkena najisnya. Jika najis tersebut basah dan tanah itu terkena najisnya, maka hendaklah najis tersebut diangkat dari tanah itu kemudian dituangkan air diatas najisnya hingga menyeluruh.
NAJIS YANG DIMAAFKAN ( MA’FU )
Menghilangkan najis dari badan, pakaian dan tempat orang yang sedang melaksanakan shalat adalah wajib, kecuali najis yang di maafkan , untuk menghindari adanya kesempitan dan kesulitan.
Firman Alloh SWT :
Artinya :"Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. “(Al-Hajj Ayat 78)
Najis yang dimaafkan artinya tidak usah dibasuh / dicuci. Ada beberapa perkara lain yang dapat dimaafkan :
1. Sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan penglihatan yang normal dari jenis najis, walaupun najis tersebut mughalladzah.
2. Asap barang najis yang sedikit yang terpisah dari barang najis itu dengan perantaraan api. Berbeda halnya dengan uap yang terpisah dari sesuatu tanpa perantaraan api , maka ia adalah suci.
3. Bekas sisa yang terdapat pada tempat Istinja’ ( Qubul dan Dubur ) yang menggunakan batu , maka ia di maafkan bagi orang yang bersangkutan dan tidak bagi lainnya. Jika ia masuk kedalam air yang sedikit kemudian bekas istinja’ itu mengenai air tersebut, maka ia telah ternajisi.
4. Debu jalan yang bercampur dengan sesuatu yang benar – benar najis. Bila ia meragukan atau menduga bahwa debu itu najis, berarti debu itu suci dan tidak lagi sebagai najis yang dimaafkan.
Sedangkan najis yang dimaafkan itu mempunyai 4 syarat :
a. Hendaknya Dzat ( Bentuk ) najis tersebut tidak kelihatan.
b. Hendaknya orang yang lewat itu menjaga diri untuk tidak terkena najis tersebut, misalnya ujung bajunya tidak terlalu panjang kebawah ( menyentuh tanah ) dan tidak pula dihadapkan pada percikan air ketika menyiram.
c. Hendaknya najis itu mengena orang tersebut disaat berjalan kaki atau naik kendaraan.Sedangkan apabila ia jatuh ketanah kemudian najis tersebut mengotori pakaiannya,maka itu tidak dimaafkan , karena yang demikian itu jarang terjadi.
d. Hendaknya najis itu mengena pada pakaian ataupun badan.
5. Roti yang dibakar atau dipendam dalam abu bakar yang najis, sekalipun sebagian dari abu bakar itu melekat padanya, maka yang demikian itu dimaafkan sekalipun abu tesebut mudah dihilangkan dari roti tersebut. Dan apabila ia meletakkannya dalam susu dan yang semacamnya sedangkan bekas abu tersebut menjadi jelas pada susu itu, atau mengena pakaian maka ia dimaafkan juga.
6. Ulat buah – buahan atau keju apabila ia mati didalamnya. Bangkai ulat tersebut adalah najis yang dapat dimaafkan.
7. Benda – benda cair najis yang dapat digunakan untuk obat – obatan dan bau – bauan yang wangi untuk memperbaiki ( bau ) obat itu, maka ia dimaafkan dalam kadar untuk maksud perbaikan tersebut.
8. Pakaian yang dihamparkan diatas tembok yang dibangun dengan menggunakan abu
bakar yang najis, maka ia dimaafkan dari ( najis ) abu yang mengena pakaian tersebut,
karena yang demikian itu sulit untuk dihindari.
bakar yang najis, maka ia dimaafkan dari ( najis ) abu yang mengena pakaian tersebut,
karena yang demikian itu sulit untuk dihindari.
9. Tetesan telur kutu.
10. Tahi (Kotoran) Lalat ,sekalipun banyak. Dan tahi burung yang terdapat dialas permadani dan diatas tanah dengan 3 ketentuan syarat berikut :
a. Tidak sengaja berjalan diatas tahi burung tersebut.
b. Hendaklah salah satu dari keduanya itu tidak basah, kecuali bila dalam keadaan
darurat. Misalnya ia mendapatkan kotoran basah di tengah jalan dimana ia harus
melewatinya, maka dimaafkan walaupun kotoran itu basah dan sengaja dilewati.
c. Tidak sulit untuk dihindari.
11. Tanah kuburan yang terbongkar.
12. Bulu najis yang sedikit dari binatang selain anjing dan babi atau yang dilahirkan dari
keduanya atau dari salah satunya yang dihasilkan dari hubungan dengan binatang lainnya. Adapun bulu anjing dan babi yang sedikit, maka ia tidak dapat di maafkan sebagaimana tidak dapat di maafkan banyaknya. Kecuali bagi tukang potong bulu binatang ( selain anjing dan babi ) atau penunggangnya, karena yang demikian itu sulit untuk dihindari.
13. Tahi ( Kotoran ) ikan yang terdapat dalam air selama ia tidak mengubah air itu dan tidak meletakkan suatu campuran apapun didalamnya.
14.Sisa darah yang terdapat pada daging atau tulang, maka ia dimaafkan bila memasukannya kedalam periuk sebelum mencuci darahnya, sekalipun air dagingnya itu menjadi berubah karenanya. Dan jika darah itu dicuci dari daging dan tulang tersebut sebelum dimasukkan kedalam periuk sehingga airnya itu dapat berpisah dalam keadaan jernih, maka pisahan air itu suci, jika tidak berpisah dalam keadaan jernih, maka pisahan air itu najis dan tidak dimaafkan. Sedangkan sisa – sisa warna darah itu tidak najis, karena hal itu tidak mungkin untuk dibersihkan sebersih – bersihnya, maka cukup dicuci sebagaimana biasanya dan selebihnya dari itu dimaafkan.
15. Air liur orang tidur yang dengan jelas keluar dari dalam perut, misalnya berwarna kuning dan berbau busuk, ia dimaafkan bagi orang yang bersangkutan yang terbasahi dengannya sekalipun banyak dan mengalir.
16. Kotoran unta dan binatang lainnya yang semacam dengannya adalah dimaafkan apabila mengena seseorang yang membersihkan kotoran itu sebagaimana juga orang yang menghalaunya dan sebagainya.
17. Tahi dan kencing binatang ternak yang mengena bebijian ketika ia ditebah.
18. Tahi tikus yang jatuh kedalam kolam jamban yang digunakan untuk beristinja’ maka ia dimaafkan bila sedikit dan tidak sampai mengubah salah satu sifat air tersebut.
19. Benda cair yang dijatuhi binatang mati yang tidak mempunyai darah mengalir,seperti semut,cecak, lalat kuda, lebah, belalang, kecoa dan semacamnya, maka benda cair yang ternajisi oleh sesuatu yang jatuh dan mati didalamnya itu dapat dimaafkan bila yang jatuh itu dengan sendirinya kedalam air atau kedalam sesuatu yang cair ( misalnya kena angin ), maka yang demikian itu tidak menajiskan, kecuali bila air itu berubah. Sedang apabila najis itu dilempar oleh seseorang atau binatang kedalamnya lalu air tersebut menjadi berubah karena najis tadi, maka air tersebut menjadi najis pula dan tidak di maafkan.
وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ وَفِي لَفْظٍ لَمْ يَنْجُسْ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ
Artinya :
Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jika banyaknya air telah mencapai dua kullah maka ia tidak mengandung kotoran." Dalam suatu lafadz hadits: "Tidak najis". Dikeluarkan oleh Imam Empat dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban. (Diambil dari kitab bulughul maram )
وَلِلْبَيْهَقِيِّ الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيه
Artinya :
Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi: "Air itu suci dan mensucikan kecuali jika ia berubah baunya, rasanya atau warnanya dengan suatu najis yang masuk di dalamnya."
( Diambil dari kitab bulughul maram )
وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ
Artinya :
Dari Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa atau warnanya." Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu Hatim. (Diambil dari kitab bulughul maram )
20. Bangkai hewan yang tidak mengalir darahnya, darah atau nanah yang sedikit, debu dan air lorong – lorong yang memercik sedikit yang sulit dihindarkan.
21. Bekas tato, seperti darah yang keluar dari anggota badan dan di atasnya diberi nila (zat pewarna) dan yang semacamnya sehingga menjadi hijau dan biru. Yang dimaksud tato adalah tusukan jarum atau lainnya pada kulit sehingga mengeluarkan darah. Maka bekasnya yang berwarna hijau atau biru yang terdapat pada tempat itu dimaafkan, yaitu apabila hal itu dilakukan karena ada hajat dimana selain cara itu tidak ampuh, atau ketika ditato belum mukallaf, atau telah mukallaf akan tetapi tidak mampu menghilangkannya kecuali dengan sesuatu cara yang dapat membahayakan yang membolehkannya bertayammum dengan sebab tersebut.
22. Diantaranya juga darah, dengan rincian sebagai berikut :
Pertama : Darah sedikit yang tidak dapat dilihat dengan ukuran penglihatan yang
normal, maka darah tersebutdimaafkan, walaupun darah itu berasal dari jenis
darah yang najis Mughalladzah, seperti anjing dan babi.
Kedua : Darah yang dapat dilihat dengan penglihatan normal.Bila darah itu berasal
dari Darah anjing dan babi, maka hal itu sama sekali tidak dapat dimaafkan.
Dan jika bukan dari darah kedua jenis binatang itu, seperti darah orang lain
atau darah dirinya sendiri, maka bila ia darah orang lain berarti sedikitnya itu
dari Darah anjing dan babi, maka hal itu sama sekali tidak dapat dimaafkan.
Dan jika bukan dari darah kedua jenis binatang itu, seperti darah orang lain
atau darah dirinya sendiri, maka bila ia darah orang lain berarti sedikitnya itu
dimaafkan, selama ia tidak bercampur dengan darahnya sendiri atau darah
lainnya, selain karena adanya suatu darurat.
Ini berlaku untuk selain darah kutu dan yang semacamnya dari jenis binatang yang tidak mempunyai darah mengalir. Sedangkan darah kutu dan yang semacamnya, maka banyaknya pun dapat dimaafkan dengan 3 syarat :
a. Bukan disebabkan karena perbuatannya sendiri atau perbuatan orang lain, sekalipun ia belum mukallaf, atas persetujuannya. Jika tidak, maka ia hanya dapat dimaafkan sedikitnya saja.
b. Tidak bercampur dengan darah kutu orang lain yang mana hal itu tidak sulit untuk dihindari. Jika tidak maka ia hanya dapat dimaafkan sedikitnya saja.
c. Darah tersebut mengena pada pakaian yang digunakannya sendiri sekalipun ia dipakai hanya sekedar untuk mempercanti diri (berhias).
Sedang apabila itu darahnya sendiri, maka bila darah tersebut keluar dari lubang yang asli,seperti dari hidung, telinga dan mata, maka menurut pendapat yang mu’tamad (dipercaya) dapat dimaafkan sedikitnya saja. Jika darah itu keluar bukan dari lubang yang ada, seperti darah jerawat, darah bisul, dan darah bekam (yaitu dengan cara mengiris urat darah atau dengan cara memantik dengan mangkok ), maka banyaknya dapat dimaafkan dengan syarat :
1. Bukan disebabkan perbuatannya sendiri, misalnya dengan memencet bisulnya itu. Jika
demikian, maka hanya dapat dimaafkan sedikitnya saja, Kecuali darah bekam dengan
kedua cara tadi. Keduanya itu dapat dimaafkan sekalipun banyak, walaupun keluar
karena perbuatannya sendiri.
demikian, maka hanya dapat dimaafkan sedikitnya saja, Kecuali darah bekam dengan
kedua cara tadi. Keduanya itu dapat dimaafkan sekalipun banyak, walaupun keluar
karena perbuatannya sendiri.
2. Darah itu tidak sampai melewati batas tempatnya.
3. Darah itu tidak bercampur dengan lainnya, seperti air, kecuali dalam keadaan darurat. Dan pemaafan hanya berada pada hak orang yang bersangkutan itu sendiri.Sedangkan apabila ada orang yang terkena olehnya atau orang tersebut memegang sesuatu yang berhubungan dengan darah itu, maka najis darah tersebut tidak dimaafkan.
Pengertian Najis dan Macam-Macamnya
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, sehingga Dia-lah yang patut diibadahi. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hinga akhir zaman.
Pengertian Najis
Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh orang yang memiliki tabi’at yang selamat (baik) dan selalu menjaga diri darinya. Apabila pakaian terkena najis –seperti kotoran manusia dan kencing- maka harus dibersihkan.[1]
Perlu dibedakan antara najis dan hadats. Najis kadang kita temukan pada badan, pakaian dan tempat. Sedangkan hadats terkhusus kita temukan pada badan. Najis bentuknya konkrit, sedangkan hadats itu abstrak dan menunjukkan keadaan seseorang. Ketika seseorang selesai berhubungan badan dengan istri (baca: jima’), ia dalam keadaan hadats besar. Ketika ia kentut, ia dalam keadaan hadats kecil. Sedangkan apabila pakaiannya terkena air kencing, maka ia berarti terkena najis. Hadats kecil dihilangkan dengan berwudhu dan hadats besar dengan mandi. Sedangkan najis, asalkan najis tersebut hilang, maka sudah membuat benda tersebut suci. Mudah-mudahan kita bisa membedakan antara hadats dan najis ini.[2]
Hukum Asal Segala Sesuatu adalah Suci
Terdapat suatu kaedah penting yang harus diperhatikan yaitu segala sesuatu hukum asalnya adalah mubah dan suci. Barangsiapa mengklaim bahwa sesuatu itu najis maka dia harus mendatangkan dalil. Namun, apabila dia tidak mampu mendatangkan dalil atau mendatangkan dalil namun kurang tepat, maka wajib bagi kita berpegang dengan hukum asal yaitu segala sesuatu itu pada asalnya suci. [3]Menyatakan sesuatu itu najis berarti menjadi beban taklif, sehingga hal ini membutuhkan butuh dalil.[4]
Macam-Macam Najis
1,2 – Kencing dan kotoran (tinja) manusia
Mengenai najisnya kotoran manusia ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
إِذَا وَطِئَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلَيْهِ الأَذَى فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُورٌ
“Jika salah seorang di antara kalian menginjak kotoran (al adza) dengan alas kakinya, maka tanahlah yang nanti akan menyucikannya.”[5]
Al adza (kotoran) adalah segala sesuatu yang mengganggu yaitu benda najis, kotoran, batu, duri, dsb.[6] Yang dimaksud al adza dalam hadits ini adalah benda najis, termasuk pula kotoran manusia.[7]Selain dalil di atas terdapat juga beberapa dalil tentang perintah untuk istinja’ yang menunjukkan najisnya kotoran manusia.[8]
Sedangkan najisnya kencing manusia dapat dilihat pada hadits Anas,
أَنَّ أَعْرَابِيًّا بَالَ فِى الْمَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ بَعْضُ الْقَوْمِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « دَعُوهُ وَلاَ تُزْرِمُوهُ ». قَالَ فَلَمَّا فَرَغَ دَعَا بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ.
“(Suatu saat) seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu sebagian orang (yakni sahabat) berdiri. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan dan jangan hentikan (kencingnya)”. Setelah orang badui tersebut menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas meminta satu ember air lalu menyiram kencing tersebut.”[9]
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Kotoran dan kencing manusia sudah tidak samar lagi mengenai kenajisannya, lebih-lebih lagi pada orang yang sering menelaah berbagai dalil syari’ah.”[10]
3,4 – Madzi dan Wadi
Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi.[11]
Hukum madzi adalah najis sebagaimana terdapat perintah untuk membersihkan kemaluan ketika madzi tersebut keluar. Dari ‘Ali bin Abi Thalib, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِى أَنْ أَسْأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ « يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ ».
“Aku termausk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallm dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu aku pun memerintahkan pada Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Perintahkan dia untuk mencuci kemaluannya kemudian suruh dia berwudhu”.”[12]
Hukum wadi juga najis. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
الْمَنِىُّ وَالْمَذْىُ وَالْوَدْىُ ، أَمَّا الْمَنِىُّ فَهُوَ الَّذِى مِنْهُ الْغُسْلُ ، وَأَمَّا الْوَدْىُ وَالْمَذْىُ فَقَالَ : اغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ.
“Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat.”[13]
5 – Kotoran hewan yang dagingnya tidak halal dimakan
Contohnya adalah kotoran keledai jinak[14], kotoran anjing[15] dan kotoran babi[16]. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
أَرَادَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ يَتَبَرَّزَ فَقَالَ : إِئْتِنِي بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ لَهُ حَجْرَيْنِ وَرَوْثَةِ حِمَارٍ فَأمْسَكَ الحَجْرَيْنَ وَطَرَحَ الرَّوْثَةَ وَقَالَ : هِيَ رِجْسٌ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud bersuci setelah buang hajat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Carikanlah tiga buah batu untukku.” Kemudian aku mendapatkan dua batu dan kotoran keledai. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil dua batu dan membuang kotoran tadi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Kotoran ini termasuk najis”.” [17]
Hal ini menunjukkan bahwa kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya semacam kotoran keledai jinak adalah najis.
6 – Darah haidh
Dalil yang menunjukkan hal ini, dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata,
إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ
“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّى فِيهِ
“Gosok dan keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah. Kemudian shalatlah dengannya.” [18]
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Perintah untuk menggosok dan mengerik darah haidh tersebut menunjukkan akan kenajisannya.”[19]
7 – Jilatan anjing
Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.”[20] Yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bagian anjing yang termasuk najis adalah jilatannya saja. Sedangkan bulu dan anggota tubuh lainnya tetap dianggap suci sebagaimana hukum asalnya.[21]
8 – Bangkai
Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i.[22] Najisnya bangkai adalah berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin ‘Abbas,
إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
“Apabila kulit bangkai tersebut disamak, maka dia telah suci.”
Bangkai yang dikecualikan adalah :
a – Bangkai ikan dan belalang
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” [23]
b – Bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir
Contohnya adalah bangkai lalat, semut, lebah, dan kutu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ ، فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ، ثُمَّ لْيَطْرَحْهُ ، فَإِنَّ فِى أَحَدِ جَنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِى الآخَرِ دَاءً
“Apabila seekor lalat jatuh di salah satu bejana di antara kalian, maka celupkanlah lalat tersebut seluruhnya, kemudian buanglah. Sebab di salah satu sayap lalat ini terdapat racun (penyakit) dan sayap lainnya terdapat penawarnya.”[24]
c – Tulang, tanduk, kuku, rambut dan bulu dari bangkai
Semua ini termasuk bagian dari bangkai yang suci karena kita kembalikan kepada hukum asal segala sesuatu adalah suci. Mengenai hal ini telah diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad), beliau rahimahullah berkata,
وَقَالَ حَمَّادٌ لاَ بَأْسَ بِرِيشِ الْمَيْتَةِ . وَقَالَ الزُّهْرِىُّ فِى عِظَامِ الْمَوْتَى نَحْوَ الْفِيلِ وَغَيْرِهِ أَدْرَكْتُ نَاسًا مِنْ سَلَفِ الْعُلَمَاءِ يَمْتَشِطُونَ بِهَا ، وَيَدَّهِنُونَ فِيهَا ، لاَ يَرَوْنَ بِهِ بَأْسًا
“Hammad mengatakan bahwa bulu bangkai tidaklah mengapa (yaitu tidak najis). Az Zuhri mengatakan tentang tulang bangkai dari gajah dan semacamnya, ‘Aku menemukan beberapa ulama salaf menyisir rambut dan berminyak dengan menggunakan tulang tersebut. Mereka tidaklah menganggapnya najis hal ini’.” [25]
Tersisa pembahasan beberapa hal yang sebenarnya tidak termasuk najis -menurut pendapat ulama yang lebih kuat- yaitu mani, darah (selain darah haidh), muntah, dan khomr. Dan juga masih tersisa pembahasan bagaimana cara membersihkan najis. Semoga Allah memudahkan kami membahasnya dalam rubrik fiqih selanjutnya.
Semoga Allah selalu memberikan pada kita ilmu yang bermanfaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.
Selesai disusun di Panggang-Gunung Kidul, 19 Shofar 1431 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Rhoudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, Shidiq Hasan Khon, 1/22, Darul ‘Aqidah,cetakan pertama, 1422 H
[2] Faedah dari pembahasan di Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayid Saalim, 1/71, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[3] Lihat As Sailul Jaror, Asy Syaukani, 1/31, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, tahun 1405 H
[4] Lihat Rhoudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, 1/24.
[5] HR. Abu Daud no. 385. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits inishahih.
[6] Lihat ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi Abu Ath Thoyib, 2/32, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan kedua, 1415 H.
[7] Lihat ‘Aunul Ma’bud, 2/34.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/71.
[9] HR. Muslim no. 284
[10] Lihat Ar Roudhotun Nadiyah, 1/22.
[11] Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’.
[12] HR. Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303.
[13] HR. Al Baihaqi no. 771. Syaikh Abu Malik -penulis Shahih Fiqh Sunnah- mengatakan bahwa sanad riwayat inishahih.
[14] Keledai jinak termasuk hewan yang diharamkan untuk dimakan. Inilah pendapat mayoritas ulama. Di antara dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ وَأَذِنَ فِى لُحُومِ الْخَيْلِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pada perang Khoibar memakan daging keledai jinak, dan beliau mengizinkan memakan daging kuda.” (HR. Bukhari no. 4219 dan Muslim no. 1941)
[15] Anjing termasuk hewan yang haram dimakan karena ia termasuk hewan buas (yang dapat menyerang manusia) dan bertaring. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“Setiap hewan buas yang bertaring haram untuk dimakan.” (HR. Muslim no. 1933, dari Abu Hurairah).
[16] Babi termasuk hewan yang haram dimakan sebagaimana disebutkan dalam Surat Al An’am ayat 145.
[17] HR. Ibnu Khuzaimah no. 70
[18] HR. Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291
[19] Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 30.
[20] HR. Muslim no. 279
[21] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/616-620, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
[22] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/73.
[23] HR. Ibnu Majah no. 3314. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[24] HR. Bukhari no. 5782
[25] Lihat Shohih Bukhari pada Bab ‘Benda najis yang jatuh pada minyak dan air’.
0 komentar:
Posting Komentar