Siapa bilang budaya
berssdekah dengan menghidangkan makanan selama mitung dino(tujuh hari) atau empat puluh hari pasca
kematian itu budaya hindu ?
Di Indonesia ini
banyak adat istiadat orang kuno yang dilestarikan masyarakat. Semisal Megangan, pelepasan anak ayam, siraman
penganten, pitingan jodo, duduk-duduk di rumah duka dan lainnya. Akan
tetapi bukan berarti setiap adat istiadat atau tradisi orang kuno itu tidak
boleh atau haram dilakukan oleh seorang muslim. Dalam tulisan
sebelumnya al-faqir telah menjelaskan tentang budaya atau tradisi dalam
kacamata Syare’at di
;
http://warkopmbahlalar.com/2011/strategi-dakwah-wali-songo.html. atau di ;
Tidak semua budaya itu
lantas diharamkan, bahkan Rasulullah Saw sendiri mengadopsi tradisi puasa
‘Asyura yang sebelumnya dilakukan oleh orang Yahudi yang memperingati hari kemenangannya Nabi Musa
dengan berpuasa. Syare’at telah memberikan batasannya sebagaimana
dijelaskan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib saat ditanya tentang maksud kalimat “
Bergaullah kepada masyarakat dengan perilaku yang baik “, maka beliau menjawab:
“Yang dimaksud perkara yang baik dalam hadits tersebut adalah :
هو موافقة الناس في كل
شيئ ما عدا المعاصي
“ Beradaptasi dengan
masyarakat dalam segala hal selain maksyiat “. Tradisi atau budaya yang
diharamkan adalah yang menyalahi aqidah dan amaliah syare’at atau hukum Islam.
Telah banyak beredar
dari kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan sampai
tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan dan asumsi mereka ini?
Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in.
Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in.
Perhatikan
dalil-dalilnya berikut ini :
Imam Suyuthi
Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :
قال طاووس : ان الموتى
يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
“ Thowus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah
meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka
(sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari
mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.
Sementara dalam
riwayat lain :
عن عبيد بن عمير قال :
يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا
“ Dari Ubaid bin Umair
ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh
fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari,
sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “.
Dalam menjelaskan dua
atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi
atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.
Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.
Menurut imam Muslim
beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa
beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang
sahabat Nabi Saw.
Sementara bila
ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang diakui ulama ushul dan
ulama hadits bahwa: “Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw yang ma
ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal
alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai
pada Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak
sampai kepada Nabi Saw).
Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ;
ان الموتى يفتنون في
قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
berkata: “Sungguh
orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama
tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan
sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “,
adalah para sahabat Nabi Saw telah melakukannya dan dilihat serta diakui
keabsahannya oleh Nabi Saw sendiri.
(al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).
Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh
hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi
Saw, bahkan telah dilihat dan
diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad Saw.
0 komentar:
Posting Komentar