Ulumul Qur'an, Nasikh Mansukh
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum Maqasid
Al- Tasri’ adalah untuk kemaslahatan manusia. Maka dalam pembentukan
kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap
beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesiuai dengan tuntutan
realitas Zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia. Proses serupa ini, disebut
dengan nasikh mansukh.
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-qur’an diturunkan secara
berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu
untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasikh mansukh
dalam Al-qur’an.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
yang akan dibahas berkaitan dengan nasikh mansukhadalah sebagai berikut
A. Pengertian nasikh
dan mansukh
B. Pendapat ulama
tentang nasikh dan mansukh
C. Pengertian
takhshish
D. Urgensi mempelajari
konsep nasikh dan mansukh
BAB. II
NASIKH DAN MANSUKH
A. PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH
Secara etimologi
Nasakh dapat diartikan menghapus, menghilangkan (izalah), yang memindahkan
(naql), mengubah (tahwil) dan menggganti (tabdil). Sejalan dengan pengertian
tersebut Ahmad Syadali mengartikan Nasakh dengan 2 macam yaitu : pertama الازلة:yang
berarti hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang
sering berkata نسحت الشمس الظل(Cahaya Matahari
menghilangkan bayang-bayang). Kedua نقل الشيئ الى
موضع.yaitu
memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya.
Sedangkan secara
istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain:
a. Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang
menghapuskan dalil Syara’ terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum
baru yang dibawahnya.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ
فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ
فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (12) أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ
تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ
اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا
اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (13) [المجادلة/12،
13]
12. Hai orang-orang beriman, apabila kamu
Mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah
(kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik
bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan)
Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
13.
Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
Mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan
Allah telah memberi taubat kepadamu Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat,
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
b. Nasakh adalah Allah SWT. Artinya otoritas
menghapus dan menggantikan hukum syara’ hakikatnya adalah Allah SWT. Definisi
ini didasarkan pada Al-Baqoroh : 106
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا
أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
[البقرة/106]
106. Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan,
atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik
daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
[81]
Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat
Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.
c. رفع الحكم
الشرعي بخطاب شرعي شرحياعنهartinya
mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah atau khitab Allah yang datang
kemudian dari padanya.
Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya Nasakh tidak lain sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam al-Qur’an. Selain itu kedatangan ayat yang menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di hapus.
Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan
dengan yang dihapus, dipindah dan disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang
mengartikan denganالحكم المرتفع Hukum yang diangkat. Contoh QS. Al-Nisa : 11
Menasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang wasiat
Al-Nisa : 11
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا
تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ
يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ
إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا
فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا [النساء/11]
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo
harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[272]
Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki
lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi
nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
[273] Lebih dari dua Maksudnya : dua atau
lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.
Al- Baqarah : 180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ
خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا
عَلَى الْمُتَّقِينَ [البقرة/180]
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di
antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
[112]
Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh
harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.
Sedangkan secara
istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama
yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’
baru yang datang kemudian.
Sementara itu, Quraish
Shihab menyatakan bahwa ulama-ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin tidak sepakat
dalam memberikan pengertian nasikh secara terminologi. Hal ini terlihat dari
kontroversi yang muncul diantara mereka dalam menetapkan adanya nasikh dalam
Al-Qur’an. Ulama-ulama mutaqaddimin bahkan memperluas arti nasikh hingga
mencakup :
- Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang
ditetapkan kemudian.
- Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang
spesifik yang datang kemudian.
- Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat
ambigius.
- Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna
membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum
terdahulu.
Dengan demikian,
mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa al-Mansukh di atas baik secara bahasa maupun
istilah pada dasarnya secara eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh mensyaratkan
beberapa hal antara lain :
a. Hukum yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut
bukan hukum akal atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah
hukum yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan
Mukalaf baik berupa perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun
anjuran (Sunah)
b. Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus
berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam
QS. Al-Nisa’: 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا [النساء/59]
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika
kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
c. Dalil/ayat yang di Mansukh harus datang
setelah dalil yang di hapus.
d. Terdapat kontradiksi atau pertentangan yang
nyata antara dalil pertama dan kedua sehingga tidak bisa dikompromikan
Setelah memahami
pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh diatas pertanyaan yang muncul kemudian adalah
bagaimana cara untuk mengetahuinya. Menjawab pertanyaan ini al-Qattan
memberikan rumusan bahwa Al-Nasakh Wa al-Mansukh dapat di ketahui dengan
cara-cara sebagai berikut :
a. Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau
Sahabat.
Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
b. Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di
Nasakh dan ayat yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil
tersebut dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada
ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.
c. Di ketahui dari salah satu dalil nash mana
yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13
tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.
B. PENDAPAT ULAMA TENTANG NASIKH DAN MANSUKH
Keberadaan Al-Nasakh
Wa al-Mansukh sebagai mana yang telah diungkap dalam awal pembicaraan di atas,
menunjukkan bahwa Nasakh dan Mansukh sangat penting dalam kajian hukum Islam,
sebab ia bukan hanya terkait dengan aspek hukum syara’ melainkan juga tak
jarang berkaitan dengan teologi. Oleh karena itu Al-Nasakh Wa al-Mansukh dalam
pandangan para ulama tentunya beraneka ragam. Di antara pendapat-pendapat
tersebut adalah
1. Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara
sam’I telah terjadi. Pendapat pertama ini merupakan pendapat dari kalangan
Jumhur ulama’. Dasar hukum yang mereka pakai adalah :
Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak prerogativeNya untuk menghapus ataupun tidak. Adanya Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :
Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak prerogativeNya untuk menghapus ataupun tidak. Adanya Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :
a. Dalam Qur’an surat an-Nahl : 101
وَإِذَا بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا
يَعْلَمُونَ [النحل/101]
101. Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di
tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa
yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang
mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
b. QS. Al-Baqarah:106
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا
أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
[البقرة/106]
106. Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan,
atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik
daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
[81]
Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat
Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.
2. Nasakh secara akal mungkin terjadi namun
secara syara’ tidak. Pendapat ini di motori oleh abu Muslim al-Asfihani. Ia
berpendapat Nasakh mungkin terjadi secara logika namun secara syara’ tidak.
Sebab ia berpedoman pada QS. Fushilat:42
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ
خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ [فصلت/42]
42. Yang tidak datang kepadanya (Al Quran)
kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb
yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Menurut al-Asfihani,
bertolak dari ayat di atas, Al-Qur’an tidak mungkin disentuh oleh pembatalan. Sudah
tentu mayoritas ulama keberatan terhadap pandangan Al-Asfihani tersebut., sebab
menurut mereka ayat di atas tidak bicara tentang pembatalan, tetapi kebatilan
yang berarti lawan dari kebenaran. Menurut mereka, hukum Tuhan yang dibatalkan
tidak mengandung keharusan bahwa hukum itu batil. Hal ini karena sesuatu yang
dibatalkan penggunaannya ketika terdapat perkembangan dan kemaslahatan pada
suatu waktu, bukan berarti hukum itu menjadi tidak benar.
3. Nasakh tidak mungkin terjadi baik secara akal
maupun pandangan. Pendapat ini berasal dari kaum Nasrani. Menurut pandangan
kaum Nasrani Nasakh mengandung konsep al-Ba’da yang hal itu mustahil bagi Allah
SWT. Dengan demikian adalah mustahil Allah menghapus apa yang telah di
FirmankanNya.
Ulama mutaqaddim
memberi batasan naskh sebagai dalil syar'iyang ditetapkan kemudian, tidak hanya
untuk ketentuan/hukumyang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku
sebelumnya, atau mengubah
ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakberakhirnya
masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebuttidak
dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga
mencakuppengertian pembatasan (qaid) bagi suatu
pengertian bebas(muthlaq). juga dapat mencakup pengertian
pengkhususan(makhasshish) terhadap suatu pengertian umum ('am).
bahkanjuga pengertian pengecualian (istitsna).
demikian pulapengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya
ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasanpengertian
tersebut untuk mempertajam perbedaan
antaranasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan lain
sebagainya,sehingga pengertian naskh terbatas hanya
untuk ketentuanhukum yang datang kemudian, untuk mencabut
atau menyatakanberakhirnya masa
pemberlakuan ketentuan hukum
yangterdahulu, sehingga ketentuan yang
diberlakukan ialahketentuan yang ditetapkan
terakhir dan menggantikanketentuan yang
mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung
lebih dari satu pengertian, dan di lain
pihak -dalam perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu
pengertian. Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti, sejauh
mana jangkauan naskh itu? Apakah semua ketentuan hukum
didalam syari'at ada kemungkinannya terjangkau naskh? Dalam hal ini Imam
Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban
tugas keagamaan) sebagai suatu kebulatan
tidak mungkin terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni
mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut perintah dan
larangan, tidak termasuk masalah berita, karena mustahil Allah
berdusta. Sejalan dengan ini Imam Thabari
mempertegas, nasikh-mansukh yang terjadi antara
ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi haram, atau sebaliknya,
itu semua hanya menyangkut perintah
dan larangan, sedangkan dalam
berita tidak terjadi nasikh-mansukh.
Ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ahli
tafsir mengenai apa saja yang dinasakh dari ayat-ayat Al Qur’an, maupun
ayat-ayat yang mansukh. Di dalam ilmu tafsir ada istilah Annasikh dan
Almansukh. Annaasikh adalah ayat-ayat yang menghapus, sedangkan al Mansukh
adalah ayat-ayat yang dihapus.
Kelompok pendapat
pertama dari kalangan ahli
tafsir (jumhur ulama) meyakini ada ayat-ayat yang menghapus (naasikh) dan ada
ayat-ayat yang dihapus (mansukh), tetapi dari segi hukumnya saja, bukan
redaksi atau lafal ayat. Jadi redaksi ayat masih tetap tidak dihapus.
Sebagai contoh pertama
adalah ayat 219 Surat Al Baqarah :
Yas aluunaka ‘anil
khomri wal maisir…Qul fiihima itsmun kabiirun wa maanaafi’u linnas wa
itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa…
“ Mereka bertanya
kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa
yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar
dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS Al Baqarah : 219)
Bagi kelompok yang
meyakini ada nasikh mansukh dari segi hukum, ayat ini dinasikh atau dihapus
hukumnya oleh S. Al Maidah ayat 90. Innamal khomru wal maisiru wal anshobu wal azlaamu rijsumin
‘amalisysyaithoon fajtanibuuhu…
“Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maidah : 90)
Begitu juga S. An
Nisa’ ayat 43 juga di nasikh oleh ayat ini tadi.
Walaa
taqrobushsholaata wa antum sukaaro. hattaa ta’lamu maa taquuluuna….
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam
keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika
kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau
kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”. (QS An Nisa’:43)
Sedangkan kelompok
pendapat kedua dari kalangan ulama’meyakini ada juga ayat-ayat yang dihapus dari redaksi ayatnya.
Contohnya adalah ayat tentang rajam (hukuman bagi pezina muhson). Di dalam
surat AnNur tentang sangsi atau had (hukuman) bagi pezina itu Allah nyatakan AzZaaniyatu wazzaanii fajliduu kulla waahidin
minhumaa mi-ata jaldah… (Pezina perempuan dan
pezina laki-laki cambuklah tiap dari mereka itu seratus kali cambukan…)
Tetapi dalam hadits
hukuman itu masih ada, hanya saja redaksi ayat tentang rajam ini sudah
tidak ada. Jadi sudah dihapus denganAzzaaniyatu wazzaani fajliduu dan seterusnya. Jadi Allah menggunakan
kata-kata yang umum. Jadi tidak dibedakan antara pezina muhson (yang sudah
kawin) atau pezina yang ghoiru muhson (pezina yang belum kawin.)
Kemudian kelompok
pendapat ulama yang ketiga adalah menolak faham tentang adanya ayat nasikh dan mansukh.
Contohnyaimam Abu Muslim Al Isfihani. Ia berpendapat tidak mungkin di
dalam Al Qur’an ada nasikh dan mansukh. Apalagi nasikh mansukh yang berkaitan
dengan redaksi. Jadi menurut beliau istilahnya bukan nasikh mansukh, tetapi
hanya pengecualian atau ketentuan lain. Sedangkan redaksinya tetap. Jadi
(misalnya) kalau kita ingin membina atau mengingatkan orang-orang yang mabuk
tadi ada istilah tadrij. Jadi redaksi maupun hukumnya tidak dimansukh, tetapi
tetap dan memang harus demikian. Itu merupakan teknik atau sistim tadrij yang
dipakai Al Qur’an untuk mengingatkan manusia. . Baik itu hukumnya maupun
redaksinya tidak dihapus, hanya itu merupakan pengecualian atau pengkhususan
…Atau itu sebenarnya merupakan suatu teknik tadrij .
Sebagai contoh untuk
mencegah orang yang minum minuman keras tidak mungkin dihentikan sekaligus,
tetapi melalui tiga tahapan tadi. Istilahnya tadrij dari sedikit demi sedikit.
Pertama penyadaran dulu dengan diajak berpikir : Yas aluunaka ‘anil khomri wal maisir…Qul fiihima itsmun kabiirun
wa maanaafi’u linnas wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa… Dalam mengajak berpikir ini sudah diarahkan.
Jadi ini obyektif: O, memang khomr itu minuman keras ada manfaatnya, juga ada
madhorotnya. O, manfaatnya memanaskan badan, tetapi ada madhorotnya: merusak
hati, pikiran, dan sebagainya. Dalam mengajak berpikir tersebut sudah
diarahkan: wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa… Dan dosa atau madhorotnya lebih besar
dibandingkan manfaatnya. Setelah itu tahap kedua: Walaa taqrobushsholaata wa antum sukaaro
hattaa ta’lamu maa taquuluuna…. janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga
kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, Ketika ayat ini turun orang masih
boleh minum khomr, tetapi diingatkan : jangan menjalankan sholat !
Kemudian baru tahap yang ketiga, secara tegas dinyatakan keharomannya dalam
Surat Al Maidah ayat 90: Innamal khomru wal
maisiru wal anshoobu wal azlaamu rijsumin ‘amalisysyaithoon fajtanibuuhu… Jadi ini merupakan suatu teknik tadrij, sebagaimana
dipahami Abu Muslim al Isfihani tadi bahwa tidak ada nasikh mansukh, apalagi
redaksinya. Kalau ada ayat yang turun
dianggap sebagai nasikh, maka menurut al Isfihani itu adalah ayat yang
berfungsi untuk memberi pengecualian atau pengkhususan atau sebagai teknik
tadrij, yakni dalam menyelesaikan permasalahan tidak melarang sekaligus, tetapi
melalui tahapan seperti contoh masalah khomr tadi.
Sedangkan pendapat
yang keempat adalah sebagaimana
pemahaman Imam al Alusi yang meyakini bahwa ayat yang dihapus atau
Nabi dilupakan itu bukanlah ayat-ayat Qur’aniyah (Al Qur’an), melainkan
ayat-ayat Qolbiyah atau Kauniyah.
Bentuk-bentuk nasikh dalam Al-Qur’an :
- Nasakh syarih yaitu ayat-ayat yang secara tegas
menghapuskan hukum ang terdapat dalam ayat terdahulu. Misalnay surat
Al-Anfal :65-66, Ayat tentang perang yang mengharuskanperbandingan antara
muslim dan kafir adalah : 1:10 dinasakh dan ayat yang mengharuskan hanya
1:2 dalam masalah yang sama. Sebagai mana firman Allah yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ
إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ
مِنْكُمْ مِئَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ
لَا يَفْقَهُونَ (65) الْآَنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ
ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ
يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ
الصَّابِرِينَ (66) [الأنفال/65، 66]
“Hai Nabi, kabarkanlah semangat para mu’min
itu untuk berperang, jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaa
mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang
(yang sabar) diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu dari pada orang-orang
kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti (65). Sekarang
Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui ada kelemahan pada
dirimu. maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar niscaya mereka mengalahkan
dua ratus orang dan jika ada diantaramu seribu (orang yang sabar), niscaa
mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan izin Allah. Dan Allah beserta
orang-orang yang sabar”. (Qs. Al-Anfal : 65-66).
- Nasakh dhimni yaitu bila ada ketentuan hukum ayat yang
terdahulu tidak bisa dikompromikan dengan ketentuan hukum ayat yang datang
kemudian, ia menasakh ayat yang terdahulu. Misalnya, ayat tentang wasiat
kepada ahli waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris.
- Nasakh kulli yaitu masalah hukum yang datang kemudian
ia menasakh hukum yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Misalna
ketentuan hukum iddah satu tahun bagi wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya yang dinasakh dengan iddah 4 bulan 10 hari. Sebagaimana firman
Allah dalam surat Al-baqarah : 240 dinusakh oleh surat Al-Baqoroh : 234
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ
خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ
مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [البقرة/240]
240. Dan orang-orang yang akan meninggal dunia
di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk
isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak
disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka
tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ
أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ [البقرة/234]
234. Orang-orang yang meninggal dunia di
antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila
telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat.
[147]
Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan.
- Nasakh juz’i yaitu menasakh hukum yang mencakup seluruh
individu dengan hukum yang mencakup sebagian individu atau menasakh hukum
yang bersifat mutlak dengan hukum yang bersifat muqayyad (terbatas).
Contohnya hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa
adanya saksi pada surat An-Nur : 4 dihapus oleh ketentuan li’an
yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, bagi si penuduh pada ayat 6
dalam surat yang sama.
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا
بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا
لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [النور/4]
4. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang
saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah
orang-orang yang fasik.
[1029]
Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci,
akil balig dan muslimah.
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ
شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ
بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ [النور/6]
6. Dan orang-orang yang menuduh isterinya
(berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka
sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama
Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
C. PENGERTIAN TAKHSHISH
Al-Asfihani menegaskan
pendapatnya bahwa tidak ada nasikh dalam Al-Qur’an. Kalaupun di dalam Al-Qur’an
itu terdapat cakupan hukum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya
dapat dilakukan proses pengkhususan (takhshish). Dengan demikian, takhshish
menurutnya dapat diartikan sebagai “mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari
satuan-satuan yang tercakup dalam lafazh ‘amm.”
Bertolak dari
pengertian nasikh dan takhshish tersebut di atas, maka perbedaan prinsipil
antara keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut :
NASIKH
|
TAKHSHISH
|
|
|
a. Tampaknya, nasakh itu seolah-olah sama seperti
takhshis, karena sama-sama membatasi suatu ketentuan hukum dengan batasan
waktu, sedang takhshis dengan batasan materi.
Misalnya, dalam
cdontoh penghapusan kewajiban berdekah sebelum menghadap rasul. Seolah-olah
masalah disitu hanya pembatasan ketentuan itu dengan waktu saja, sehingga
sepertinya dapat diungkapkan sebagai berikut:
“kalau akan menghadapa rasul itu, harus memberikan
sedekah lebih dahulu, kecuali setelah turun ayat yang meniadakan kewajiban
itu”.
Ungkapan itu sepertinya hampir sama dengan
kalimat:
“wanita yang ditalak suaminya itu wajib
beribadah tiga kali suci, kecuali bagi wanita yang ditalak sebelum dikumpuli”.
Oleh karana itu tampak adanya kesamaan antara keduanya itu sah, maka ada
perbedaan paham diantara para ulama’. Ada sebagian ulama’ yang mengakui ada dan
terjadinya nasakh itu, dan ada pula yan mengingkarinya, dan menganggap nasakh
itu sama saja dengan takhshis itu.
b. Nasakh sama dengan takhshis dalam hal sama
sama membatasi berlakunya suatu ketentuan hukum syara’. Nasakh mengahapus dan
mengganti ketentuan hukum-hukum syara’ sedang takhshis membatasi keumuman
jangkauan hukum syara’.
D. URGENSI MEMPELAJARI KONSEP NASIKH MANSUKH
Adanya
nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat
turunnya al-Qur'an itu sendiri dan
tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab Suci
al-Qur'an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam
waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu,
lalu Qur'an sendiri menjawab, pentahapan itu
untuk pemantapan, [17] khususnya di bidang hukum. Dalam hal
ini Syekh al-Qasimi berkata, sesungguhnya
al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab
selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap)
sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial.
Hukum-hukum itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudian secara
bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat
universal. Demikianlah Sunnah al-Khaliq diberlakukan
terhadap perorangan dan bangsa-bangsa
dengan sama. Jika engkau
melayangkan pandanganmu ke alam yang hidup
ini, engkau pasti akan mengetahui bahwa naskh
(penghapusan) adalah undang-undang alami
yang lazim, baik dalam bidang
material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari
unsur-unsur sperma dan telur kemudian menjadi
janin, lalu berubah menjadi anak, kemudian
tumbuh menjadi remaja, dewasa, kemudian
orang tua dan seterusnya. Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan
bukti nyata, dalam alam ini selalu berjalan proses tersebut
secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi
diingkari terjadinya, mengapa kita mempersoalkan
adanya penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari yang
rendah ke yang lebih tinggi? Apakah seorang dengan
penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung
membenahi bangsa Arab yang masih dalam
proses permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu
bangsa yang telah mencapai kemajuan dan kesempurnaan dalam
kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang
yang berakal sehat, maka bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan
Allah swt. Yang Maha Menentukan hukum, memberikan beban
kepada suatu bangsa yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan
beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan oleh suatu
bangsa yang telah menaiki jenjang
kedewasaannya? Lalu, manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita
yang menurut sunnah Allah ditentukan
hukum-hukumnya sendiri, kemudian di-nasakh-kan karena
dipandang perlu atau disempurnakan hal-hal
yang dipandang tidak mampu dilaksanakan manusia dengan
alasan kemanusiaan? Ataukah syari'at-syari'at agama lain
yang diubah sendiri oleh para pemimpinnya sehingga
sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali?
Syari'at Allah adalah
perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha
Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia
mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk
mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di
dunia dan di akhirat.
Hikmah nasikh :
- Untuk menunjukkan bahwa syariat islam adalah syariat
yang paling sempurna.
- Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka
senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan disepanjang zaman.
- Untuk menjaga agar perkembangan hukum islam selalu
relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari
yang sederhana sampai ketingkat yang sempurna.
- Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya
perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat,
setia mengamlkan hukum-hukm allah, atau dengan begitu lalu mereka ingkar
dan membangkang.
- Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang
selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah
kepada yang sukar.
- Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi ummat
islam, sebab dalam beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan
memudahkan pengamalan guna menikmati kebijakansanaan dan kemurahan allah
swt. Yang maha pengasih lagi maha penyayang.
BAB III
PENUTUP
Naskh adalah hal yang
diperbolehkan keberadaannya dalam agama Islam. Hal ini sesuai dengan dalil yang
telah datang dari Alqur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
1. Demi menjaga kemashlahatan hamba-Nya, Allah
telah menghapus sebagian hukum dalam syari’at Islam. Bila ternyata hukum
penggantinya itu lebih ringan, maka itu adalah kemudahan yang diberikan oleh
Allah di dunia ini secara langsung, namun apabila ternyata penggantinya lebih
berat, maka tidak lain hal ini akan melipat gandakan pahala pelaksananya sebagai
balasan atas ketaatannya pada aturan Allah Ta’ala.
2. Bahwa Allah Ta’ala adalah raja segala raja
yang hanya Dia-lah yang berkuasa membuat peraturan bagi hamba-hamba-Nya. Maka
dari itu hendaknya kita selalu tunduk pada aturan-aturan yang datang dari-Nya,
yang berupa perintah maupun larangan.
0 komentar:
Posting Komentar