Definisi Ihram
Kata ihram diambil dari bahasa Arab, yaitu “al-haram“, yang bermakna terlarang atau tercegah. Dinamakan “ihram” karena dengan berniat masuk ke dalam pelaksanaan ibadah haji atau umrah, seseorang dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu, seperti jima’, menikah, melontarkan ucapan kotor, dan lain-sebagainya.
Dari sini, para ulama mendefinisikan ihram dengan salah satu niat dari dua nusuk(yaitu haji dan umrah) atau kedua-duanya secara bersamaan. [1]
Dengan demikian, jelaslah tentang pemahaman yang keliru dari sebagian kaum muslimin bahwa ihram adalah berpakaian dengan kain ihram, karena yang benar adalah bahwa ihram berarti “niat masuk ke dalam pelaksanaan haji atau umrah”. Adapun berpakaian dengan kain ihram hanya merupakan satu keharusan bagi seorang yang telah ber-ihram.
Tempat Ber-ihram
Ihram, yang merupakan bagian penting ibadah haji dan umrah, dilakukan dari miqat.Seseorang yang akan berhaji dan berumrah harus mengetahui miqat sebagai tempat berihram. Mereka yang tidak berihram dari miqat berarti meninggalkan suatu kewajiban dalam haji, dan wajib atas mereka untuk menggantinya dengan dam (denda).
Tata Caranya
Tata Caranya
Adapun tata caranya adalah:
1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ber-ihram bagi laki-laki dan perempuan baik dalam keadaaan suci atau haid, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabirradhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata,
فَخَرَجْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَيْنَا ذَا الْحُلَيْفَةِ فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِيْ بَكْرٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ : اغْتَسِلِيْ وَاسْتَثْفِرِيْ بِثَوْبٍ وَاحْرِمِيْ
“Lalu kami keluar bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tatkala sampai Dzulhulaifah Asma binti ‘Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr, maka ia (Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan bertanya), ‘Bagaimana cara yang harus aku lakukan?’ Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Mandilah, beristitsfarlah [2], dan berihramlah.’” (HR. Muslim [2941]: 8/404, Abu Daud no. 1905 dan 1909, serta Ibnu Majah no. 3074).
Apabila tidak mendapatkan air, maka tidak perlu melakukan tayamum karena bersuci yang disunnahkan. Apabila tidak dapat menggunakan air, maka hendaklah tidak bertayamum karena Allah menyebutkan tayamum dalam bersuci dari hadats sebagai firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ وَإِن كُنتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki. Dan jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih).” (Qs. al-Maidah: 6).
Dengan demikian, hal ini tidak bisa dianalogikan (diqiyaskan) kepada yang lainnya, dan juga tidak ada contoh atau perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertayamum. Apalagi jika mandi ihram tersebut adalah untuk kebersihan, dengan dalil perintah beliau kepada Asma binti Umais yang sedang haid untuk melaksanakan mandi tersebut.
2. Disunnahkan untuk memakai minyak wangi ketika ber-ihram, sebagaimana yang dikatakan Aisyah,
كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لإِحْرَامِهِ قَبْلَ اَنْ يُحْرِمَ وَ لِحِلَِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوْفَ بِاْلبَيْتِ
“Sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berihram, aku memakaikan wangi-wangian kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pelaksanaan ihram beliau, dan ketika halalnya sebelum beliau thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari no.1539 dan Muslim no. 1189).
Pemakaian wewangian tersebut hanya diperbolehkan pada anggota badan dan bukan pada pakaian ihram-nya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
لاَ تَلْبَسُوْا ثَوْبًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَ لاَ الْوَرَسُ
“Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za’faran dan wars.” (HR.Muttafaqun alaih).
Memakai minyak wangi ini dilakukan pada dua keadaan:
1. Memakainya sebelum mandi dan ber-ihram, dan ulama sepakat dalam hal ini, tidak ada permasalahan di dalamnya.
2. Memakainya setelah mandi dan sebelum ber-ihram, dan minyak wangi tersebut tidak hilang (baunya, ed.), maka ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan pendapatnya.
Dalil pembolehannya adalah hadits Aisyah, beliau berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ يَتَطَيَّبَ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ ثُمَّ أَرَى وَبِيْصَ الدُّهْنِ فِيْ رَأْسِهِ وَ لِحْيَتِهِ بَعْدَ ذَلِكَ
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin ber-ihram, beliau memakai wangi- wangian yang paling wangi yang beliau dapatkan, kemudian aku melihat kilatan minyak di kepala dan jenggot beliau setelah itu.” (HR. Muslim, no. 2830).
‘Aisyah berkata pula,
كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَى وَبِيْصَ الْمِسْكِ فِيْ مَفْرَقِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ هُوَ مُحْرِمٌ
“Seakan-akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau dalam keadaan ber-ihram.” (HR. Muslim no. 2831 dan Bukhari no. 5923).
Jika terdapat permasalahan berikut ini: Apabila sesorang memakai wangi-wangian di badannya yaitu di kepala dan jenggotnya, lalu minyak wangi tersebut menetes atau meleleh ke bawah, apakah hal ini mempengaruhi ihram-nya atau tidak?
Jawabannya adalah, bahwa yang demikian itu tidak mempengaruhi ihram-nya, karena perpindahan minyak wangi tersebut terjadi dengan sendirinya dan tidak dipindahkan, dan juga karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat beliau tampak tidak menghiraukan jika minyak wangi tersebut menetes, karena mereka memakainya pada keadaan yang dibolehkan. [3]
Kemudian, jika seseorang yang ber-ihram (muhrim) akan berwudhu dan dia telah mamakai minyak rambut yang wangi, maka ia tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya. Jika dia melakukan hal tersebut, tentunya minyak wangi tersebut aan menempel ke kedua telapak tangannya walaupun hanya sedikit, maka apakah ia perlu memakai kaos tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?
Masalah ini dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, “Ia tidak perlu memakai kaos tangan. Bahkan, hal itu merupakan sikap berlebih-lebihan dalam agama dan juga tidak ada dalilnya. Demikian pula, ia tidak perlu mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit. Dia cukup mengusapnya dengan telapak tangannya karena ini termasuk perkara yang dimaafkan.” [4]
3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung dan selendang, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لِيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِىْ إِزَارٍ وَ رِدَاءٍ وَ نَعْلَيْنِ
“Hendaklah salah seorang dari kalian ber-ihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta sepasang sendal.”(HR. Ahmad: 2/34; sanadnya dinilai shahih oleh Ahmad Syakir).
Diutamakan kain yang berwarna putih, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
خَيْرُ ثِيَابِكُمُ اْلبَيَاضُ فَالْبَسُوْهَا َوكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَكُمْ
“Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang berwarna putih, maka kenakanlah dia dan kafanilah mayat kalian dengannya.” (HR. Ahmad; lihat Syarah Ahmad Syakir, 4/2219, beliau berkata bahwa sanadnya shahih).
Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Manasik (hal. 21), “Dan disunnahkan untuk ber-ihram dengan dua kain yang bersih, maka jika keduanya berwarna putih, hal itu lebih utama. Ihram boleh dilakukan dengan segala jenis kain yang diperbolehkan, yang terbuat dari katun shuf (bulu domba) atau yang lainnya. Dibolehkan pula untuk berihram dengan kain berwarna putih dan warna-warna lain yang diperbolehkan selain putih, walaupun kain tersebut berwarna-warni.” [5]
Adapun wanita, ia tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan.
4. Disunahkan ber-ihram setelah shalat, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umarradhiyallahu ‘anhuma dalam Shahih Bukhari, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتَانِيَ اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّيْ فَقَالَ : صَلِّ فِيْ هَذَا الْوَادِيْ الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةً فِيْ حَجَّةٍ
“Tadi malam telah datang utusan dari Rabbku, lalu ia berkata, ‘Shalatlah di Wadi yang diberkahi ini dan katakanlah, ‘Umratan fi hajjatin.’‘”
Serta hadits Jabir,
فَصَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ رَكِبَ الْقَصْوَاءَ حَتَّى إِذَا اسْتَوَتْ بِهِ نَاقَتُهُ عَلَى الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ بِالْحَجِّ
“Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di mesjid (Dzulhulaifah) kemudian beliau menunggangi al-Qaswa’ (nama unta beliau) sampai ketika untanya berdiri di al-Baida’ ber-ihram untuk haji.” (HR. Muslim).
Maka, yang sesuai dengan sunnah, lebih utama, dan sempurna adalah berihram setelah shalat fardhu. Akan tetapi, apabila tidak mendapatkan waktu shalat fardhu, maka terdapat dua pendapat dari para ulama:
Pendapat pertama, tetap disunnahkan shalat dua rakaat, dan ini pendapat jumhur. Berdalil dengan keumuman hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
صَلِّ فِيْ هَذَا الْوَادِي
“Shalatlah di Wadi ini.”
Pendapat kedua, tidak disyariatkan untuk melaksanakan shalat dua rakaat, dan ini pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sebagaimana beliau mengatakan dalamMajmu’ Fatawa, 26/108, “Disunnahkan untuk ber-ihram setelah shalat, baik shalatfardhu maupun sunnah. Jika seseorang berada pada waktu tathawu’ -menurut salah satu dari dua pendapatnya, dan pendapat beliau yang lain adalah jika seseorang shalat fardhu- maka ia ber-ihram setelahnya, dan jika tidak maka tidak ada bagiihram shalat yang khusus, dan inilah yang rajih.”
Beliau juga berkata dalam Ikhtiyarat, hal. 116, “Dan ber-ihram setelah shalat fardhujika dijumpai waktunya atau shalat sunnah (nafilah), karena ihram tidak memiliki shalat yang khusus untuknya.”
Demikianlah, tidak ada shalat dua rakaat khusus untuk ihram.
5. Berniat untuk melaksanakan salah satu manasik, dan manasik tersebut disunnahkan untuk diucapkan. Dibolehkan untuk memilih salah satu dari tiga nusuk,yaitu ifrad, qiran, dan tamattu‘, sebagaimana yang dikatakan Aisyah,
خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ عُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ أَهَلَّ رَسُوْلُ اللهِ بِالْحَجِ فأَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِعَمْرَةٍ فَحَلَّ عَنْهُ قُدُوْمُهُ وَ أَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ أَوْ جَمَعَ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَلَمْ يُحِلُّوْا حَتَّى كَانَ يَوْمَ النَّحْرِ
“Kami telah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun HajiWada’. Maka ada di antara kami yang ber-ihram dengan umrah, ada yang berihram dengan haji dan umrah, dan ada yang ber-ihram dengan haji saja, sedangkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam berihram dengan haji saja. Adapun yang ber-ihram dengan umrah maka dia halal setelah datangnya (setelah melakukan umrah dengan melakukan thawaf dan sya’i), dan yang ber-ihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas dari ihramnya) sampai dia berada dihari nahar (pada tanggal 10 Dzulhijjah).” (HR. Mutafaq ‘alaih).
Maka, seseorang yang ber-manasik ifrad hendaklah mengatakan,
لَبَّيْكَ حَجًّا atau لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ حَجًّا
Sedangkan seseorang yang ber-manasik tamattu’ mengatakan,
لَبَّيْكَ عُمْرَةً atau لَبَّيْكَ الَّلهُمّ عُمْرَةً
Serta ketika hari Tarwiyah (8 Dzulhijhah) mengatakan,
لَبَّيْكَ حَجًّا atau لَبَّيْكَ الَّلهُمّ حَجًّا
Adapun sunnah bagi yang ber-manasik qiran adalah mengatakan,
لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَ حَجًّا
Setelah itu, disunnahkan memperbanyak talbiyah hingga sampai ke Ka’bah untuk melaksanakan thawaf.
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel www.EkonomiSyariat.com
Artikel www.EkonomiSyariat.com
===
Catatan kaki:
Catatan kaki:
[1] Lihat Muzakirat Syarah Umdah, hal. 65 dan Syarhul Mumti’, 6/67.
[2] Istitsfar adalah suatu usaha untuk mencegah keluarnya daarah dari kemaluan orang yang haid atau nifas dengan cara mengambil kain yang memanjang yang diletakkan pada tempat darah tersebut dan dilapisi oleh bahan yang tidak tembus darah yang diambil ujung-ujunnya untuk diikatkan di perutnya. Akan tetapi, pada zaman sekarang telah ada pembalut wanita siap pakai; lihat Syarah Muslim, 8/404.
[3] Lihat Syarhul Mumti’, 6/73–74.
[4] Syarhul Mumti’, 6/74.
[5] Dinukil dari Syarhul Mumti’, 6/75.
0 komentar:
Posting Komentar