Makalah Dalil Tentang Khitan
PENDAHULUAN
Sumber ajaran
Islam yang paling pokok adalah Al-Qur’an dan hadis. Keduanya memiliki peranan
yang penting dalam kehidupan Islam. Walaupun terdapat perbedaan dari segi
penfsiran dan aplikasi, namun setidaknya ulama sepakat bahwa keduanya dijadikan
rujukan. Dari keduanya ajaran Islam diambil dan dijadikan pedoman.[1]
penulisan
Al-Qur’an sudah dilakukan sejak zaman Rasulullahsaw. Secara teratur dan
terarah, serta pra sahabat selalu mendapat bimbingan langsung dari padanya.
Kodifikasi Al-Qur’an dalam satu mushf dilakukan sejak zaman khalifah Rasulullah
saw. Abu Bakar Al-Shidiq, dan selanjutnya dilakukan oleh Utsman bin Affan, r.a.
dibantu oleh para sahabat yang hafal Al-Qur’an atau yang pernah menjadi penulis
wahyu pada zaman Rasul saw.[2]
Sebagai sumber
pewahyuaan ayat-yat Al-Qur’an adalah Allah sekaligus sebagai otoritas tunggal.
Maha besar Tuhan jika menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai ondisi masyarakat
pada waktu itu. Namun berbeda dengan A-Qur’an, hadis sumbernya bias dari Allah
dan bias juga melali Rasulullah saw. Sendiri, bahkan bias juga dilakukan
melalui pendidikn kepada para sahabatnya. Oleh karena itu, dalam hadis dikenal
adanya hadis Qudsi, dimana lafalnya dari Rasulullah saw. Dan isinya dari Allah.
Disatu sisi
Rasulullah saw. Juga menetapkan hukum dengan berdiskusi melalui sahabtanya.
Terdapat sebuah riwayat yang menceritakan persoalan perang Badar. Rasulullah
saw. Lebih memilih pendapat Abu Bakar yang menyarankan agar tawanan dimintai
tebusan dengan mengabaikan pendapat Umar ibn al-Khatab yang menyarankan agar
tawanan tersebut dibunuh. Masalah ini dapat diselesaikan dengan turunnya wahyu
QS. al-Anfal (8):67.
ما
كان لنبي أن يكون له أسرى حتى يثخن في الأرض تريدون عرض الدنيا والله يريد الآخرة
والله عزيز حكيم
Tidak patut, bagi
seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka
bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala)
akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[3]
Khitan merupakan
anggapan masyarakat sebagai tradisi. Di dalam Islam khitan adalah anjuran
seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim as. Khitan bagi laki-laki adalah suatu
kewajaran atau hal yang sudah biasa di dengar oleh masyarakat kita. Tetapi
bagaimana kalau khitan itu bagi perempuan? Di dalam makalah saya di bawah ini
saya akan mencoba membahas tentang khitan bagi laki-laki atau khitan bagi
perempuan.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan khitan
2. Sejarah tentang khitan
3. Bagaimana Khitan bagi perempuan
4. Bagaimana Pendapat fuqoha tentang
khitan
5. Bagaimana Khitan dilihat dari segi
sosio-historis
6. Bagaimana Khitan dilihat dari segi
ensiklopedia
KHITAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HADIS
NABI
Asbabul wurud
الق عنك
شعرالكفر ثم ختتن
Artinya:
“Buanglah rambut
kafir darimu kemudian berkhitanlah!”
Diriwayatkan oleh
: Imam Ahmad dan Abu Daud dari Ibnu Kulaib r.a. Al Hafidzh Ibnu Hajar berkata:
sanad hadis ini Dhaif.
Sababul wurud
Abu Daud
meriwayatkan dari Utsman bin Kulaib dar ayahnya dari kakeknya bahwa kakeknya
itu dating kepada Nabi SAW, lalu berkata: “Aku masuk islam” mka Rasuulullah Saw
bersabda kepadanya: “buanglah rambut kafir darimu kemudian berkhitanlah!..
Diriwayatkan oleh
Abu Na’m dalam Ma’rifatus shahabah” secara muttasil dari dua jalan ‘Utsaim da
kemudian diterjemahkan oleh al Hafidh al Muzi. Tentang hal itu Ibnu Hibban
menyebutnya dalam ats Tsiqat.[4]
Takhrij
Hadis
a) Kitab Sahih
Bukhari bab taqlimul adfar no:5550
b) Kitab Sahih
an-Nas’I bab zinah wa sunan no:5
c) Kitab Sahih
ibn Hiban bab zinah wa tatyibu no:5479
I’tibar
Sanad
الكتاب:صحيح
البخارى
5552 - حدثنا أحمد بن يونس: حدثنا إبراهيم بن
سعد: حدثنا ابن شهاب، عن سعيد بن المسيَّب، عن أبي هريرة رضي الله عنه:
سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (الفطرة خمس: الختان، والاستحداد، وقص الشارب، وتقليم الأظفار، ونتف الآباط).
سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (الفطرة خمس: الختان، والاستحداد، وقص الشارب، وتقليم الأظفار، ونتف الآباط).
الكتاب:صحيح
ابن حبان
[ 5479 ] أخبرنا عمر بن محمد الهمداني حدثنا محمد بن عبد الأعلى
قال حدثنا معتمر قال سمعت معمرا عن الزهرى عن سعيد بن المسيب عن أبى هريرة قال قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم خمس من الفطرة قص الشارب ونتف الإبط وتقليم الأظافر
والاستحداد والختان
الكتاب: سنن
النسائى
أخبرنا
حميد بن مسعدة عن بشر قال: حدثنا عبد الرحمن بن إسحاق، عن سعيد المقبري، عن أبي
هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
-(خمس من الفطرة: الختان، وحلق العانة، ونتف الضبع، وتقليم الظفر، وتقصير الشارب).
-(خمس من الفطرة: الختان، وحلق العانة، ونتف الضبع، وتقليم الظفر، وتقصير الشارب).
Biografi
periwayat
Abu
Hurairah
Meriwayatkan
hadis sebanyak: 5374 hadis
Abu Hurairah memeluk Islam pada tahun 7 H, tahun
terjadinya perang Khibar, Rasulullah sendirilah yang memberi julukan “Abu
Hurairah”, ketika beliau sedang melihatnya membawa seekor kucing kecil. Julukan
dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam itu semata karena kecintaan beliau
kepadanya. Ia wafat pada tahun 57 H di Aqiq.[5]
Said
bin al-Musayyab
Nama lengkapnya Sa’id bin al-Musayyab bin Hazn al-Quraisy
al-Makhzumi, ayahnya dan kakeknya adalah sahabat Nabi Shallallahu alaihi
wassalam, ia dilahirkan sebelum Umar menjadi khalifah, sejak muda telah
melakukan perjalanan siang dan malam untuk mendapatkan hadist Nabi. Ia
wafat pada tahun 94 H.
Ibn
syihab
Nama sebenarnya adalah Muhammad bin Muslim bin Abdullah,
alim dan ahli fiqh.
Al-Laits bin Sa’ad berkata: “Aku belum pernah melihat
seorang alimpun yang lebih mumpuni dari pada az-Zuhri, kalau ia berbicara untuk
memberi semangat, tidak ada yang lebih baik dari pada dia, bila dia berbicara
tentang sunnah dan al-Qur’an pembicaraanya lengkap“.
Ibnu Syihab az-Zuhri tinggal di Ailah sebuah desa antara Hijaz dan Syam, reputasinya menyebar sehingga ia menjadi tempat berpaling bagi para ulama Hijaz dan Syam.
Selama delapan tahun Ibnu Syihab az-Zuhri ia tinggal
bersama Sa’id bin Al-Musayyab di sebua desa bernama Sya’bad di pinggir Syam.
Disana pula ia wafat.
Ia wafat di Sya’bad pada tahun 123 H, ada yang mengatakan
ia wafat tahun 125 H.
Imam
Bukhari
Nasab kelengkapan dari tokoh yang sedang kita bincangkan
ini adalah sebagai berikut: Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin
Bardizbah. Kakek (Zoroaster) sebagai agama asli orang-orang Persia yang
menyembah api. Sang kakek tersebut meninggal dalam keadaan masih beragama
Majusi. Putra dari Bardizbah yang bernama Al-Mughirah kemudian masuk Islam di
bawah bimbingan gubernur negeri Bukhara Yaman Al-Ju’fi sehingga Al-Mughirah
dengan segenap anak cucunya dinisbatkan kepada kabilah Al-Ju’fi. Dan ternyata
cucu dari Al-Mughirah ini di kemudian hari mengukir sejarah yang agung, yaitu
sebagai seorang Imam Ahlul Hadits. [6]
Al-Imam Al-Bukhari lahir pada hari Jum’at tanggal 13 Syawal 194 H di negeri Bukhara di tengah keluarganya yang cinta ilmu sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam. Karena ayah beliau bernama Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah adalah seorang ulama Ahli hadits yang meriwayatkan hadits-hadits Nabi dari Imam Malik bin Anas, Hammad bin Zaid, dan sempat pula berpegang tangan dengan Abdullah bin Mubarak. Riwayat-riwayat Ismail bin Ibrahim tentang hadits Nabi tersebar di kalangan orang-orang Iraq.
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al-Bukhari
yang lahir pada tahun 194 Hijriyah dan wafat pada tahun 256 H di sebuah desa
bernama Khortanak menuju arah Samarkan.
Pengertian khitan
Kata Al-Khitan
merupakan mashdar dari fi’il (kata kerja) “khatana”
yang bermakna qatha’a (memotong), kata Al-Khitan dan Al-Khatnu bermakna
memotong bagian tertentu dari anggota tubuh tertentu. Sedangkan yang dimaksud
dengan khitan disini adalah memotong kelebihan yang ada pada organ seks,
seperti kulit yang menutupi helm (pucuk) kemaluan laki-laki, atau kelebihan
yang muncul dari klentit perempuan, sehingga kedua alat kelamin tersebut bias
bersih dari bekas air seni.[7]
Rasulullah saw
dalam hadis ini telah mewasiati (mewajibkan) kita melakukan khitan, dan juga
dalam hadis yang lain seperti sabda Nabi saw: khitan adalah kesunnahan
bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan.
Dengan demikian, khitan adalah tradisi
kaum muslimin yang dianggap wajib oleh mayoritas ulama. Ulama syafi’iyah
mensunahkan pelaksanaan pada hari ketujuh kelahiran bayi, apalagi Nabi saw
dalam sebuah riwayat Al-Baihaqi konon mengakhikahi Hasan dan Husen dan
mengkhitan keduanya ketika berumur tujuh hari.
Sejarah khitan
Sunat atau khitan telah dilakukan sejak jaman prasejarah,
dilihat dari gambar-gambar di gua yang berasal dari Zaman Batu dan makam Mesir
purba. Alasan tindakan ini masih belum jelas pada masa itu tetapi teori-teori
memperkirakan bahwa tindakan ini merupakan
bagian dari ritual pengorbanan atau persembahan, tanda penyerahan padaYang
Maha Kuasa, langkah menuju kedewasaan, tanda kekalahan atau perbudakan, atau
upaya untuk mengubah estetika atau seksualitas.Khitan dalam ajaran agama sudah ada dalam syariat Nabi Ibrahim AS.[8]
Dalam kitab Mughni Al
Muhtajdikatakan bahwa laki-laki yang
pertama melakukan khitan adalah Nabi Ibrahim AS. Kemudian Nabi Ibrahim
mengkhitan anaknya Nabi Ishaq AS pada hari ketujuh setelah kelahirannya
dan mengkhitan Nabi Ismail AS pada saat aqil baligh. Tradisi khitan ini
diteruskan sampai pada masa kelahiran Arab pra Islam saa tkelahiran Nabi
Muhammad SAW. mengenai khitan Nabi Muhammad SAW para ulama berbeda
pendapat yakni pertama, sesungguhnya
Jibril mengkhitan Nabi MuhammadSAW
pada saat membersihkan hatinya.[9]
Dan kedua, bahwa yang
mengkhitan NabiMuhammad adalah kakek
beliau, yakni Abdul Muthalib yang mengkhitan NabiMuhammad pada hari ketujuh kelahirannya dengan berkorban dan memberi
nama Muhammad. Kemudian Nabi mengkhitankan cucunya Hasan dan Husain pada hari kelahirannya.
Pada hari tersebut banyak acara yang dilakukan antara lain aqiqah,mencukur
rambut, memberi nama anak (tasmiyah).
Bangsa Arab membanggakan dirinya sebagai umat yang
berkhitan. Abu Sufyan meriwayatkan bahwa pada suatu hari, Heraklius (Raja
Romawi) sangat sedih. Pasalnya, pada suatu malam ia melihat bintang di
langit membentuk satu gugusan yang menuruttafsiran
para ahli Nujum merupakan isyarat kejatuhan bangsa Romawi dan berpindahnya kekuasaan mereka kepada bangsa yang berkhitan.
Melihat raja mereka bersedih para pembesar istana Romawi merasa gelisah
dan akhirnya menanyakan permasalahan yangdihadapi oleh raja. Heraklius mengisahkan “pada suatu malam, saya
melihat suatu gugusan bintang yang menjadi pertanda bahwa raja dari umat yang
berkhitan, akanmuncul dan meraih
kemenangan”. Lalau ia bertanya, “siapakah diantara rakyatku yang berkhitan?”
mereka menjawab, “tidak ada yang berkhitan selain kaum Yahudi. Janganlah engkau gundah karena mereka.
Tulislah surat kepada para pembesar negeri agar merekamembunuh kaum Yahudi.” Heraklius pun melaksanakan anjuran
tersebut sehingga banyak orang Yahudi yang
menjadi korban. Ketika itulah seorang utusan Raja Ghassan(dari Basrah)
mendatangi Heraklius dan memberitahu tentang munculnya seorang Nabi(Muhammad
SAW).[10]
Heraklius segera mengutus beberapa orang ke Arab untuk
mencari informasi apakah Nabi tersebut
berkhitan. Orang-orang yang diutus itu kemudian melaporkan kepada Heraklius bahwa Nabi Muhammad memang
berkhitan. Selanjutnya Heraklius menayakan apakah bangsa yang dipimpin
Nabi tersebut berkhitan,. Mereka menjawab, “ Ya”.
Dalam akhir cerita ini Heraklius berkomenatar, “ inilah Raja dari umat yang
berkhitan. Ia telah datang dan akan menang”.Khitan
atau sunnat merupakan tradisi yang sudah ada dalam sejarah. Tradisi itu sudah dikenal oleh penduduk kuno Meksiko, demikian
juga oleh suku-suku bangsa Benua
Afrika.
Sejarah menyebutkan, tradisi khitan sudah berlaku di
kalangan Bangsa Mesir Kuno. Tujuannya, sebagai langkah untuk memelihara
kesehatan dari baksil-baksil yang dapat
menyerang alat kelamin, karena adanya kulup yang bisa di hilangkan kotorannya
dengan khitan. Berbagai suku bangsa dipedalaman Afrika seperti sukuMusawy
(Afrika Timur) dan suku Nandi menjadikan khitan sebagai inisiasi (upacara
aqil baligh) bagi para pemuda mereka. Setelah khitan barulah para pemuda
diakui secara adatdan berstatus sebagai
orang dewasa. Para pemuda yang dikhitan akan di kalungkan potongan qulfah
hingga sembuh. Khitan sangat erat kaitannya dengan budaya Semitik (Yahudi,
Kristen dan Islam).
Sampai
saat ini khitan masih dilaksanakan oleh penganut Yahudi dan sebagian penganut Kristen dari Sekte Koptik. Dengan ada khitan ini
bangsa Yahudi berpindah jejak pada jejak
lain. Mereka telah keluar dari Negara Palestina dan mengembara ke berbagaikawasan dunia dan hidup dengan berbagai manusia.
Untuk membedakan dengan yanglain, mereka lestarikan tradisi khitan itu
sebagai kewajiban dan rasa setia kepada bangsa mereka. Khitan menjadi
identitas mereka dengan yang lain. Menurut
Islam maupun Koptik Kristen maupun Yahudi, khitan bermula pada tradisi Nabi Ibrahim AS. Patriarkh Ibrahim as. Melakukannya sebagai simbol dan pertanda perjanjian suci (Covenant ) atau
dalam bahasa Islammitsaq,
antara Ibrahim dengan Allah SWT.
Para antropolog menemukan, budaya khitan pada perempuan
telah populer dimasyarakat semenjak pra-Islam yang dibuktikan dengan
ditemukannya mumi perempuan di Mesir
Kuno abad ke-16 SM yang memiliki tanda clitoridectomy (pemotongan alat
kelamin). Praktek khitan pada mumi tersebut justru ditemukan pada kalangan kaya
dan berkuasa, bukan pada rakyat
jelata. Menurut Hassan Hathout, pelaksanaan khitan perempuan telah berlangsung lama sebelum
kedatangan Islam terutama di lembah Nilyakni Sudan, Mesir, dan Ethiopia.
Pada abad ke-2 SM, khitan perempuan dijadikan ritual dalam prosesi
perkawinan.[11]
Khitan bagi
perempuan
Adapun khitan perempuan oleh syara’
disebut Al-Khifadzh yang merupakan bentuk ketundukan terhadap
perintah Nabi saw yang telah mendeskripsikannya sebagai kemuliaan bagi
perempuan. Sebab bagian yang dipotong dalam proses khitan perempuan adalah
organ tubuh wanita yang paling sensitive. Jika organ ini timbul secara jelas
maka dapat merangsang gairah seksual yang sangat melelahkan, khususnya sebelum
pernikahan. Bahkan hal ini juga sering dianggap sebagai sebab salah satu
penyebab hengkang dan menyingkirnya suami setelah pernikahan karena tidak mampu
memenuhi kewajiban suami-isteri.
Jika organ ini tidak muncul secara
jelas barangkali tidak akan ada anjuran khitan, wallahu ta’ala a’lam.
Oleh karena itu, khitan perempuan merupakan kesunnahan (kewajiban) bagi
laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan.
Sedangkan di dalam
Islam, dalam teks ajaran Islam tidak secara tegas menyinggung masalah khitan
ini. Sebagaimana disebut dalam Qs. An-Nahl (6): 123-124, umat Nabi Muhammad
saw. Agar mengikuti Nabi Ibrahim sebagai bapaknya nabi, termasuk di dalamnya
adalah tradisi khitan. Dalam perspektif ushul fiqh hal tersebut dikenal dengan
istilah syar’u man qablana.[12]
Hal tersebut
secara tidak langsung muncul anggapan khitan merupakan suatu keharusan. Karena
Nabi Ibrahim a.s. adalah bapak para nabi dan agama Islam merupakan agama yang
bersumber darinya. Asumsi tersebut juga didukung oleh informasi dari hadis Nabi
Muhammad saw. Yang menyebutkan adanya tradisi khitan perempuan di Madinah.
حدثنا سليمان بن عبد الرحمن الدمشقي وعبد الوهاب بن عبد
الرحيم الأشجعي قالا ثنا مروان ثنا محمد بن حسان قال عبد الوهاب الكوفي عن عبد
الملك بن عمير عن أم عطية الأنصارية
: أن امرأة كانت تختن بالمدينة
فقال لها النبي صلى الله عليه و سلم " لا تنهكي ( أي لا تبالغي في الخفض يعني ختان النساء
. هامش د ) فإن ذلك أحظى للمرأة وأحب إلى البعل " [13]
Diceritakan dari
Sulaiman ibn Abd Rahman al-Damsaqi dan Abd alWahab ibn Abd Rahim al-Asyja’I
berkata diceritakan dari Marwan menceritakan kepada Muhammad ibn Hassan berkata
Abd al-Wahhab al-Kufi dari Abd al-Malik ibn Umair dari Ummi Atiyah al-Anshari
sesunggihnya adaseorang
juru khitan perempuan di Madinah, maka Nabi Muhammad saw. Bersabda jangan
berlebih-lebihan dalam memotong organ kelamin perempuan, sesungguhnya hal
tersebut akan dapat memuaskan perempuan dan akan lebih menggairahkan dalam
bersetubuh. (H.R.
Abu Dawud)
Dalil-Dalil Lain
Telah
pasti di dalam banyak hadits tentang disyari’atkannya khitan, di antaranya:
1.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu ia
berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
الْفِرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ اْلأَظْفَارِ وَنَتْفُ اْلآبَاطِ
“Fitrah
itu ada lima, yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong
kuku dan mencabut bulu ketiak.”
Hadits shahih,
dikeluarkan oleh Imam Bukhari (6297-Al–Fath, Imam Muslim (3/27- Imam Nawawi), Imam Malik di
dalam Al-Muwattha’ (1927), Imam Abu Dawud (4198), Imam
Tirmidzi (2756), Imam Nasa’i (I/14-15), Imam Ibnu Majah (292), Imam Ahmad di
dalam Al-Musnad (2/229) dan Imam Baihaqi (8/323).
2.
Dari ‘Utsaim bin Kulaib dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya ia pernah datang
kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam lalu
mengatakan:
قَدْ أَسْلَمْتُ فَقَالَ لَهُ النَِّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
“Sungguh
saya telah masuk Islam.” Maka
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Buanglah darimu
bulu (rambut) kekufuran dan berkhitanlah.”
Hadits hasan,
dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (356) dan Imam Baihaqi dari beliau (1/172) juga
Imam Ahmad (3/415.
Berkata
Syaikh Al-Albani di dalam Al-Irwa’ (79): Ini adalah hadits hasan,
karena hadits ini memiliki dua pendukung. Salah satunya dari Qatadah dan Abu
Hisyam, sedangkan yang satu dari Wa’ilah bin Asqa’. Dan sungguh saya telah
membicarakan tentang keduanya. Telah saya jelaskan juga di dalam Shahih
Sunan Abu Dawud (no.
1383) bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berhujjah dengan
hadits ini.
3.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu bahwa
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِخْتَتَنَ إِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَنِ بَعْدَ ماَ أَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً
“Ibrahim
Khalilur Rahman berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun.”
Dikeluarkan
oleh Imam Bukhari (6298-Al-Fath), Imam Muslim (2370), Imam Baihaqi (8/325) dan
Imam Ahmad (2/322-418) dan lafadz hadits ini ada pada beliau.
Di
dalam hadit-hadits di atas terdapat keterangan tentang disyari’atkannya khitan.
Dan bahwasanya orang tuapun tetap diperintah untuk melaksanakannya, jika ia
belum pernah berkhitan.
Khitan
bagi Wanita
Adapun
tentang disyari’atkannya khitan bagi para wanita, maka dalam hal ini ada
beberapa hadits, di antaranya sebagai berikut ini:
1.
Sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada
Ummu ‘Athiyah radhiyallahu
‘anha (seorang
wanita juru khitan):
أُخْفُضِي وَلا تُنْهِكِي فَإِنَّه أَنْظَرُ لِلْوَجْهِ أَحْظَى لِلْزَوْجِ
“Khitanlah
(anak-anak perempuan), tetapi jangan dipotong habis! Karena sesungguhnya khitan
itu membuat wajah lebih berseri dan membuat suami lebih menyukainya.”
Hadits shahih,
dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (5271), Imam Al-Hakim (3/525), Imam Ibnu ‘Adi
di dalam Al-Kamil (3/1083) dan Imam Al-Khatib di dalam Tarikh-nya
(12/291).
2.
Sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila
dua khitan (khitan laki-laki dan khitan perempuan) sudah bertemu, maka sudah
wajib mandi.”
Hadits shahih,
dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi (108-109), Imam Syafi’i (1/36), Imam Ibnu Majah
(608), Imam Ahmad (6/161), Imam Abdurrazzaq (1/245-246) dan Imam Ibnu Hibban
(1173-1174-Al-Ihsan).
Di
dalam hadits ini, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menisbatkan
khitan untuk para wanita. Maka ini menjadi dalil tentang disyari’atkan juga
khitan ini bagi mereka.
3.
Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu
‘anha secara marfu’:
اِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila
seorang lelaki telah berada di atas empat bagian tubuh istrinya, dan khitannya
telah menyentuh dengan khitan istrinya, maka sudah wajib mandi.”
Dikeluarkan
oleh Imam Bukhari (1/291-Al-Fath), Imam Muslim (349-Imam Nawawi), Imam Abu
‘Awanah (1/289), Imam Abdurrazzaq (939-940), Imam Ibnu Abi Syaibah (1/85) dan
Imam Baihaqi (1/164).
Di
dalam hadits ini, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam juga
mengisyaratkan adanya dua tempat khitan, yaitu pada seorang lelaki dan pada
seorang perempuan. Maka hal ini menunjukkan bahwa seorang perempuan juga
dikhitan.
Imam
Ahmad rahimahullah berkata: Di dalam hadits-hadits di
atas menunjukkan bahwa para wanita dahulu juga dikhitan.
Hendaklah
diketahui bahwa khitan wanita merupakan hal yang ma’ruf (dikenal umum, red) di
kalangan para salaf. Barangsiapa yang ingin menambah panjang lebar penjelasan
tentang hal ini, silakan melihat kitab Silsilatul
Ahaditsush Shahihah (2/353).
Karena sesungguhnya Syaikh Al-Albani -semoga Allah melimpahkan pahala untuk
beliau- telah menyebutkan banyak hadits dan atsar yang berkaitan dengan hal ini
di dalam kitab tersebut.
Hukum
Khitan
Pendapat
yang rajih (kuat) adalah wajib. Dan itulah yang
ditunjukkan oleh dalil-dalil yang ada maupun kebanyakan pendapat para ulama.
Dan telah pasti pula perintah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada
seorang yang baru masuk Islam untuk berkhitan. Kata beliau kepadanya:
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
“Buanglah
darimu rambut/bulu kekufuran dan berkhitanlah.”
Maka
perintah beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada
orang itu untuk berkhitan ini merupakan dalil terkuat yang menunjukkan tentang
wajibnya.
Syaikh
Al-Albani di dalam Tamamul
Minnah (hal.
69) berkata:
“Adapun
hukum khitan, maka yang rajih menurut kami adalah wajib. Dan ini
adalah pendapat jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i maupun Imam
Ahmad. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Imam Ibnu Qayyim rahimahullah.
Beliau membawakan lima belas sisi dalam berdalil untuk mendukung pendapat ini.
Meskipun masing-masing sisi tidak kokoh (dukungannya terhadap pendapat ini)
ketika berdiri sendiri. Akan tetapi secara keseluruhan tidak diragukan lagi
kuatnya sisi-sisi pendalilan tersebut. Hanya saja di sini bukan tempatnya untuk
membicarakan semuanya, tetapi kami cukupkan di sini untuk menyebutkan dua sisi
saja, yaitu:
1.
Firman Allah Ta’ala:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّتَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفَا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian
Kami wahyukan…kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim yang hanif dan
bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” (An-Nahl: 123)
Khitan
termasuk di antara millah (ajaran) Ibrahim sebagaimana terdapat
di dalam hadits Abu Hurairah yang akan disebutkan setelah ini. Dan ini
merupakanhujjah yang terbaik sebagaimana yang
dikatakan oleh Imam Baihaqi yang juga disadur oleh Al-Hafidz di dalam Al-Fath (10/281).
2.
Bahwa khitan itu merupakan syi’ar-syi’ar Islam yang paling nampak, yang
membedakan antara seorang muslim dengan nashrani. Hingga kaum muslimin
hampir-hampir menganggap orang yang tidak berkhitan itu tidak termasuk dari
kalangan mereka (kaum muslimin).
Kami
tambahkan pula sisi yang ketiga untuk mendukung dalil wajibnya hukum khitan,
yaitu yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam Al-Fath(10/417)
dari Abu Bakr Ibnul Arabi ketika beliau membicarakan tentang hadits:
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ…
“Fitrah
itu ada lima, yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan,…”
Kata
beliau: “Menurut pandangan saya bahwasanya kelima cabang yang disebutkan di
dalam hadits ini semuanya wajib. Karena apabila seseorang meninggalkannya,
niscaya tidak tersisa penampilannya sebagai seorang bani Adam, lalu mana mungkin
ia (penampilannya) termasuk dari kalangan kaum muslimin.”
Hukum
khitan ini umum untuk kaum pria maupun kaum wanita. Hanya saja tidak ada pada
sebagian kaum wanita bagian tubuh yang dipotong untuk dikhitan, yaitu apa yang
dinamakan dengan clitoris. Maka
tidak masuk akal kalau kita perintahkan kepada mereka untuk dipotong
(dikhitan), sedangkan hal itu tidak ada padanya.
Ibnu
Hajj di dalam Al-Madkhal (3/396) berkata: “Diperselisihkan
hukum khitan ini pada para wanita. Apakah mereka dikhitan secara mutlak ataukah
dibedakan antara wanita Timur dengan wanita Barat. Adapun para wanita timur,
maka mereka diperintahkan karena adanya bagian kemaluannya (untuk dipotong),
yang lebih dari asal penciptaannya. Sedangkan para wanita barat, maka tidak
diperintahkan kepada mereka keterangan tidak adanya hal itu pada mereka.
Sehingga hal ini kembalinya kepada tuntutan ‘illah (sebab yang menetapkan hukum).
Waktu
Khitan
Sungguh
telah berlalu penjelasan tentang hukum khitan yaitu wajib. Dan termasuk di
antara hal-hal yang telah diketahui di dalam ilmu ushul fiqh;
bahwasanya suatu kewajiban menuntut agar dilakukannya perintah tersebut dengan
segera. Sesungguhnya telah ada di dalam sebagian hadits penentuan waktu khitan,
yaitu pada hari ketujuh.
Terdapat
di dalam masalah ini tiga hadits yang menunjukkan bahwa khitan itu dilakukan
pada hari ketujuh. Dan hadits-hadits tersebut tidak ada yang terluput dari
perbincangan para ulama. Dan kami bawakan keterangan rinci tentang hal ini di
dalam pembahasan berikut ini:
1.
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhu:
أنّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ (وَخَتَنَهُمَا لِسَبْعَتِ أَيَّامٍ)
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Al-Hasan dan Al-Husain (dan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhitan keduanya pada hari ketujuh).
Diriwayatkan
oleh Imam Ibnu ‘Adi di dalam Al-Kamil (3/1075), Imam Thabrani di dalam Ash-Shaghir (2/122), Imam Baihaqi di dalam Al-Kubra (8/324) dan di dalam Asy-Syu’ab
(6/394) dari jalan sanad Muhammad bin Abis Sarii Al-Atsqalani mengatakan: Telah
bercerita kepadaku Al-Walid bin Muslim dari Zuhair bin Muhammad dari Muhammad
bin Munkadir darinya. Dan berkata Imam Thabrani: Tidak ada yang meriwayatkan
dari Muhammad bin Munkadir kecuali Zuhair bin Muhammad. Akan tetapi tak seorang
pun yang meriwayatkan hadits ini yang menambahkan lafadz:
وَخَتَنَهُمَا لِسَبْعَتِ أَيَّامٍ
“Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhitan keduanya pada hari ketujuh.”
Kami
katakan: Ini adalah sanad yang lemah, padanya ada cacat yang beruntun:
·
Pertama, Muhammad bin
Abis Sarii -Abu ‘Ashim Al-Atsqalani. Al-Hafidz di dalam At-Taqrib berkata: Ia seorang yang shaduq dan ‘arif,
tetapi banyak keliru (dalam periwayatan). Maka kami khawatir bahwa hadits ini
termasuk di antara kekeliruannya.
·
Kedua, Al-Walid bin Muslim telah melakukan tadlis taswiyah dan menyebutkan riwayatnya dengan ‘an dari gurunya terus ke atas.
·
Ketiga, Zuhair bin Muhammad. Al-Hafidz di
dalam At-Taqrib berkata: “Periwayatan ahlu Syam
darinya tidak tetap. Oleh karenanya hadits ini dha’if.”
Beliau
katakan juga dalam At-Tahdzib (3/301-302):
“Berkata
Imam Bukhari: Hadits yang diriwayatkan oleh ahlu Syam darinya sesungguhnya
merupakan hadits-hadits yang mungkar. Berkata Imam Abu Hatim: Kedudukannya
sebagai orang yang jujur, tetapi hafalannya buruk. Dan haditsnya yang ada di
Syam lebih mungkar dari haditsnya yang ada di Iraq. Berkata Al ‘Ajli: Ia tidak
mengapa, tetapi hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ahlu Syam darinya tidak
membuatku kagum.”
Kami
katakan: Hadits di atas termasuk di antara riwayat-riwayat ahlu Syam, karena
Al-Walid bin Muslim adalah seorang Dimasyqi
Syamii (yakni
penduduk Syam -ed). Lagi pula tambahan yang tersebut di dalam hadits di atas
adalah mungkar. Di mana ada tujuh sahabat yang meriwayatkan hadits ini, tetapi
mereka tidak menyebutkan adanya tambahan tersebut. Ketujuh sahabat tersebut
adalah: Ali bin Abi Thalib, Jabir bin Abdullah (riwayat Abu Zubair darinya),
Anas bin Malik, Abdullah bin ‘Amr, Abdullah ibnu Abbas, Buraidah Al-Aslami dan
Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu
‘anhum ajma’in. Tidak seorangpun dari ketujuh sahabat tersebut yang meriwayatkan
tambahan lafadz: “Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengkhitan
keduanya pada hari ketujuh”. Hanya saja dipersilisihkan dalam tambahan ini atas
Jabir radiyallahu
‘anhu.
Maka
Abu Zubair meriwayatkan hadits ini darinya tanpa tambahan, sehingga mencocoki
riwayat jama’ah shahabat yang lain, yaitu dengan lafadz: bahwasanya “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Al-Hasan dan Al-Husain”. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi
Syaibah di dalam Al-Mushannaf (8/46), Imam Abu Ya’la (1933), Imam
Thabrani di dalam Al-Kabir (2573). Diriwayatkan juga hadits ini
oleh Muhammad bin Munkadir dari Jabir dengan tambahan tersebut, sedangkan illah-nya
bukan darinya, karena ia sebagaimana dikatakan di dalam At-Tahdzib: Ia
seorang yang tsiqah dan utama. Akan tetapi illah tersebut dari rawi yang meriwayatkan
darinya sebagaiman penjelasan yang telah lalu.
2.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma ia
berkata:
سَبْعَةٌ مِنَ السُّنَّةِ فِي الصَّبِيِّ يَوْمَ السَّابِعِ يُسَمَّى وَيُخْتَنُ…” الحَدِثُ
“Tujuh perkara di antara
Sunnah pada anak bayi di hari ketujuh adalah: dinamai, dikhitan,…” Al-Hadits.
Diriwayatkan
oleh Imam Thabrani di dalam Al-Ausath (1/334-335) dari jalan sanad Rawwad
bin Jaraah dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Atha’ darinya.
Al
Hafidz di dalam At-Talkhis (4/84) berkata: Di dalam sanadnya ada
Rawwad bin Jaraah seorang yang dha’if.
Juga
beliau menyebutkan biografinya di dalam At-Taqrib dengan mengatakan: Ia seorang yang shaduq (jujur), tetapi kacau hafalannya di
akhir umurnya sehingga ditinggalkan.
Imam
Adz Dzahabi di dalam Diwanudh
Dhu’afa’ wal Matrukiin (1/293)
berkata: Ia dinyatakan tsiqah oleh Imam Ibnu Ma’in.
Imam
Abi Hatim berkata: Kedudukannya sebagai orang yang jujur. Imam Daraquthni
berkata: Ia dha’if.
Berkata
Imam Ibnu ‘Adi di dalam Al-Kamil (3/1039) berkata: Umumnya riwayat yang
ia riwayatkan dari gurunya tidak diikuti oleh orang lain. Ia seorang syaikh
yang shalih, akan tetapi di antara hadits orang-orang yang shalih ada hadits
yang mungkar. Hanya saja ia termasuk orang yang ditulis haditsnya.
Syaikh
Al-Albani di dalam Al-Irwa’ (4/385) berkata: Saya katakan: Orang
yang seperti itu keadaannya apakah haditsnya dianggap? Atau dijadikan hujjah?
Baik sebagai penguat atau pendukung? Maka menurut kami harus diteliti. Wallahu a’lam.
Akan
tetapi nampaknya syaikh Al-Albani memandang rajih untuk menjadikan hadits ini sebagai
pendukung. Karena beliau menyatakan di dalam Tamamul
Minnah (68)
tentang hadits Ibnu Abbas dan hadits Jabir radiyallahu
‘anhuma: “Akan tetapi salah satu di antara kedua hadits ini memperkuat yang
lain, karena makhrajnya berbeda dan di dalam sanad kedua hadits tersebut tidak
ada rawi yang tertuduh.”
Catatan:
Syaikh
Al-Albani di dalam Tamamul
Minnah tentang
hadits Jabir (yang pertama) berkata:
“Hadits
ini dinisbatkan oleh Al-Hafidz dalam Al-Fath (10/282) kepada Imam Abu Syaikh dan
Imam Baihaqi. Akan tetapi beliau mendiamkan saja. Barangkali hadits ini ada
pada beliau berdua dari jalan yang lain.”
Kami
katakan: Bahkan hadits tersebut diriwayatkan dari jalan sanad itu sendiri
sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Fath (11/343) oleh Al Hafizh: Dan hadits
ini dikeluarkan oleh Imam Abu Syaikh dari jalan sanad Al-Walid bin Muslim dari
Zuhair bin Muhammad dari Ibnul Munkadir atau yang lain dari Jabir.
Maka
hadits ini diriwayatkan dari jalan sanad Imam Thabrani sendiri, Imam Baihaqi
maupun Imam Ibnu ‘Adi.
3.
Dari Abu Ja’far ia berkata:
كَانَتْ فَاطِمَةُ تَعُقُّ عَنْ وَلَدِهَا يَوْمَ السَّابِعِ وَتخْتَنُهُ وَتَحْلِقُ شَعْرَ رَأْسهِ وَتَصَدَّقُ بِزِنَهِ وَرَقًا
“Dahulu
Fathimah mengaqiqahi anaknya pada hari ketujuh sekaligus mengkhitannya,
mencukur rambut kepalanya dan bershadaqah uang seberat timbangan rambutnya.”
Dikeluarkan
hadits ini oleh Imam Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannaf-nya
(8/53) dari jalan ‘Abduh bin Sulaiman dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari
Abdul Malik bin Al-Lahyan dari Abu Ja’far.
Berkata
Syaikh Muhammad ‘Id Al-‘Abasi: Abu Ja’far ini barangkali adalah Muhammad bin
Ali bin Husain. Karena beliau orang yang paling masyhur dengankuniyah tersebut. Demikian itu yang dituntut
oleh kaidah-kaidah ilmu hadits. Maka berarti sanad hadits ini terputus karena
Abu Ja’far tidak mendapati Fathimah radiyallanhu
‘anha.
Jadi
jelas hadits ini adalah dha’if,
hanya saja masih bisa dijadikan sebagai pendukung.
Ada
juga di dalam Musnad
Al-Firdaus karya
Imam Dailami dari hadits Ali sebagai pendukung keempat. Hanya saja di dalam
sanadnya ada seorangkadzdzab (pendusta besar), sehingga tidak bisa
dijadikan sebagai pendukung. Maka secara umum tiga hadits di atas dengan
keseluruhan jalannya menunjukkan bahwa hadits tersebut ada asalnya. Sehingga
jadilah hadits ini hasan. Wallahu
a’lam.
Hal
ini (pelaksanaan khitan pada hari ketujuh) merupakan perbuatan bersegera kepada
kebaikan sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman Allah Ta’ala:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ
“Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu.” (Ali Imran:
133)
Tidak
diragukan lagi bahwa bersegera melakukannya lebih utama bagi seorang anak, di
mana rasa sakitnya jelas lebih ringan. Berbeda dengan jika ditunda. Maka ketika
itu sakit lebih terasa. Dan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam apabila
dihadapkan kepada dua pilihan, maka tidaklah beliau memilih kecuali yang lebih
mudah/ringan. Dan juga di dalam khitan terdapat penyingkapan aurat. Sedangkan
penyingkapan aurat anak kecil lebih sedikit kejelekannya dari pada yang sudah
besar.
Di
samping itu terdapat sebuah atsar dari Ibnu Abbas ketika beliau ditanya:
“Berapa umurmu ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam wafat?”
Beliau menjawab: “Aku ketika itu sudah dikhitan. Dan dulu mereka tidak
mengkhitan seseorang hingga ia menjadi anak yang paham (baligh).”
Dikeluarkan
oleh Imam Bukhari (11/90-Al-Fath), Imam Ahmad (1/264-287-357), Imam Thabrani di
dalam Al-Kabir (10/10575-10578-10579). Akan tetapi
keduanya tidak mengeluarkan tambahan lafazh: Dan dulu mereka tidak mengkhitan….
Al-Isma’ili
menganggap cacat atsar ini dengan alasan goncang, hal ini karena adanya
perbedaan umur yang telah dicapai oleh Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu. Maka
beliau mengatakan: Sesungguhnya perkataan: “Dan dulu mereka tidak mengkhitan…”,
adalah perkataan yang dimasukkan ke dalam atsar ini. Akan tetapi disanggah
pernyataan beliau ini oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam Al-Fath (11/90), maka lihatlah kesana karena
pentingnya hal ini.
Maka
atsar ini menunjukkan atas bolehnya menunda khitan hingga anak tersebut
mencapai usia baligh.
Karena atsar tersebut menjelaskan tentang amalan kebanyakan para shahabat dalam
hal khitan ini dan menunda hingga anak mencapai usia baligh. Dan
tidak ragu lagi bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah
hidup bersama mereka. Maka kalau saja perbuatan mereka tersebut menyelisihi
syari’at, tentu beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah
menjelaskan hal ini kepada mereka. Sehingga hal ini merupakan indikasi yang
mengalihkan perintah tersebut dari bersegera melakukannya. Hanya saja masih
tetap ada wajibnya perintah ini, maka tidak boleh untuk menunda khitan tersebut
sampai melebihi usia baligh.
Al-‘Allamah
Al-Mawardi sebagaimana disebutkan di dalam Fathul
Bari (10/342)
berkata: Dalam hal khitan ada dua waktu; yaitu waktu wajib dan waktu sunnah.
Waktu wajib adalah ketika baligh dan waktu sunnah adalah sebelumnya. Yang
terbagus adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran. Dan disukai agar tidak
menunda dari waktu sunnah kecuali karena udzur.
Berkata
Al-Haitsami di dalam Az-Zawajir (2/163):
“Yang
benar bahwasanya jika kami menyatakan wajibnya khitan berarti meninggalkannya
tanpa udzur adalah suatu kefasikan. Maka pahamilah bahwa pembicaraan hal ini
hanyalah berkisar pada khitan bagi kaum pria bukan kaum wanita. Sehingga kaum
pria dikatakan melakukan perbuatan fasiq dengan meninggalkan khitan ini. Dan
jika perbuatan ini dikatakan sebagai kefasiqan, berarti itu merupakan dosa
besar.”
Hiburan
dalam Acara Khitanan
Dari
Ummu ‘Alqamah ia menceritakan:
Bahwa
keponakan perempuan ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha dikhitan.
Maka ada yang berkata kepada ‘Aisyah: “Bolehkah kami memanggil untuk mereka
orang-orang yang memberikan hiburan?”
Maka
beliau menjawab” Ya boleh.”
Lalu
aku menyuruh agar dipanggilkan ‘Udi. Karena ia adalah seorang yang memiliki
banyak sya’ir. Maka datanglah ia kepada mereka. Ketika ‘Aisyahradhiyallahu
‘anha lewat
di rumah kami, maka beliau melihat ‘Udi sedang bernyanyi seraya
menggoyang-goyangkan kepalanya dengan riang. Berkatalah ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha seketika
itu: “Ih! Syaithan itu! Usir dia! Usir dia!”
Hadits
hasan, dikeluarkan oleh Imam Bukhari di dalam Al-Adabul
Mufrad (1247).1
Maka
hadits ini menjelaskan kepada kita tentang disyari’atkannya hiburan untuk anak
yang dikhitan dalam acara khitanan, dengan tujuan agar ia melupakan rasa sakit
yang dirasakannya dengan sebab khitan tersebut. Dan ini merupakan kesempurnaan
perhatian syari’at kepadanya. Maka demikian itulah para salafush shalih radhiyallahu
‘anhum.
Akan
tetapi sebaliknya, tidak boleh berlebih-lebihan dalam hiburan ini seperti apa
yang dilakukan oleh sebagian orang yang beupa nyanyian dengan alat-alat music
dan melalukan walimah (makan-akan/pesta) maupun yang lain
yang tidak dibiarkan oleh syari’at kita yang toleran ini.
Walimah
Khitan
Tidak
disyari’atkan walimah (pesta/makan-makan) dalam acara
khitanan, karena tidak adanya nash yang enetapkannya. Bahkan ada atsar dari
seorang shahabat, yaitu ‘Utsman bin Abil ‘Ash radhiyallahu
‘anhu yang
mengingkari perbuatan ini. Dari Al-Hasan ia berkata:
دُعِيَ عُثْمَانُ بْنُ أَبِي الْعَاصِ إِلَى خِتَانٍ فَأَبِى أَنْ يُجِيبَ فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ إِنَّا كُنَّا لا نَأْتِي الْخِتَانَ عَلَى عَهدِ رَسُولِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلا نُدْعى لَهُ
‘Utsman
bin Abil ‘Ash pernah diundang untuk mendatangi acara khitanan. Maka beliau
tidak mau mendatanginya. Lalu ada yang menanyakan hal itu kepadanya. Maka
beliau menjawab: “Sesungguhnya kami dulu tidak pernah mendatangi acara khitanan
di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah pula beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam diundang (untuk mendatanginya).”
Hadits
ini dha’if,
diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya
(4/217) dan Imam Thabrani di dalam Al-Kabir (9/48). Juga dibawakan oleh
Al-Haitsami di dalam Al-Majma’ (4/60) dan beliau mengatakan: Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Thabrani di dalam Al-Kabir. Dan
di dalam sanadnya ada Ibnu Ishaq. Ia seorang yang tsiqah tetapi melakukan tadlis.
Meskipun
atsar di atas tidak tsabit (tidak pasti shahih) dari sisi sanad,
akan tetapi itulah hukum asalnya. Karena khitan adalah hukum syari’at. Maka
segala apa yang ditabahkan kepadanya (dikaitkan dengannya) harus ada dalil baik
dari Al-Qur’an atau As-Sunnah. Sedangkan walimah khitan (pesta/makan-makan yang berkaitan
dengan khitan) merupakan sesuatu yang ditambahkan kepada acara khitan dan
dikaitkan dengannya. Maka mengkaitkan acara ini butuh kepada dalil. Walahu a’lam.
Footnote:
1Berkata
syaikh kami dan ustadz kami Syaikh Muhammad ‘Id Al-‘Abbasi atsabahullah:
“Sanad hadits ini hasan, rawi-rawinya tsiqah kecuali Ummu ‘Alqamah yang bernama
Murjanah. Al-Hafidz di dalam At-Taqrib berkata: Ia maqbulah (diterima riwayatnya), yakni ketika
ada yang mengikuti. Akan tetapi ia seorang wanita tabi’iyah, di mana ada dua
orang tsiqah yang meriwayatkan darinya; yaitu
putranya sendiri ‘Alqamah dan Bakir bin Abdilah Al-Asyaj. Maka seorang rawi
yang demikian itu keadaannya dianggap hasan haditsnya. Sebagaimana amalan yang
telah berlaku pada kebanyakan ahli hadits seperti Al-Hafidz Ibnu Hajar dan
Syaikh Al-Albani.”
Kami
katakan: Sebelum mereka berdua adalah Al-Hafizh Imam Dzahabi dan Al-Hafizh Ibnu
Rajab maupun Al-Hafizh Ibnu Katsir.
Syaikh
Al-Albani berkata tentang hadits ini di dalam Ash-Shahihah (2/538): “Sanadnya masih mungkin untuk
dinyatakan hasan.
Karena rawi-rawinya tsiqah kecuali Ummu ‘Alqamah ini. Nama adalah Murjanah dan
dinyatakan tsiqah oleh Al-‘Ajli maupun Imam Ibnu Hibban.
Juga telah meriwayatkan darinya dua orang rawi yang tsiqah.”
Kami
katakana: “Sungguh Al-Hafizh telah menyebutkan bahwa Imam Bukhari menyebutkan
haditsnya di dalam bab haidh.
Akan tetapi Imam Dzahabi membawakannya di dalam Al-Mizan (747) termasuk di antaranya
wanita-wanita yang majhul (tidak dikenal).
Dari hadis di atas dapat
diketahui bahwa masyarakat Madinah terjadi suatu khitan perempuan. Nabi Muhmmad
saw. Memberikan wejangan kalau mengkhitan jngan terlalu menyakitkan karena hal
tersebut bias mengurangi nikmat seksual. Tidak dijelaskan siapa yang terlibat
dalam kegiatan khitan perempuan tersebut baik yang di khitan ataupun orang yang
mengkhitan.
Informasi lain didapatkan
bahwa khitan merupakan bagian dari fitrah manusia. Sedangkan fitrah manusia
yang lain adalah mencukur bulu di sekitar kemaluan, memotong kumis, memotong
kuku, dan mencabut bulu ketiak.
حدثنا
أحمد بن يونس: حدثنا إبراهيم بن سعد: حدثنا ابن شهاب، عن سعيد بن المسيَّب، عن أبي
هريرة رضي الله عنه:
سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (الفطرة خمس: الختان، والاستحداد، وقص الشارب، وتقليم الأظفار، ونتف الآباط).[14]
سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (الفطرة خمس: الختان، والاستحداد، وقص الشارب، وتقليم الأظفار، ونتف الآباط).[14]
Diceritakan
dari Ahmad ibn Yunus, diceritakan dari Ibrahim ibn Sa’id, diceritakan dari ibn
Syihab, dari Sa’id ibn Musayyab, dari Abu Hurairah r.a. mendengar bahwaswanya
Rasulullah saw berabda, fitrah itu ada lima macam yaitu, khitan, menvukur bulu
di sekitar kemaluan, memotong kumis, memotong kuku dan mencukur bulu ketiak.
Istilah khitan lazim
digunakan oleh fuqoha’ dalam berbagai term, khususnya jika dihubungkan dengan
masalah salah satu sebab yang menyebabkan seseorang mandi setelah berhubungan
badan. Jika telah bertemu dua khitan, maka telah wajib mandi. Hal tersebut
sesuai dengan hadis Nabi Muhammad saw:
أخبرنا مالك حدثنا الزهري عن سعيد بن المسيب:
أن عمر وعثمان وعائشة كانوا يقولون: إذا مس الختان الختان فقد وجب
الغسل [15]
Diceritakan dari Malik
diceritakan dari Zuhri dari Sa’id ibn Musayyab, sesungguhnya Umar, Usman dan
Aisyah ketiganya berkata jika telah bertemu dua khitan maka sungguh telah wajib
mandi.
Berdasarkan informasi
diatas, maka perlu untuk mengadakan penelitian secara jauh tentang keberdaan
hadis-hadis tentang khitan. Sebagaimana diketahui, bahwa hadis telah disepakati
oleh ulama sebagai dalil hukum. Sebagai sumber ke dua setelah Al-Qur’an, hadis
memiliki perbedaan dengan Al-Qur’an. Salah satu perbedaannya adalah terletak
dari periwayatannya. Al-Qur’an seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir
sedangkan tidak semua hadis diriwayatkan secara mutawatir.[16] Kecuali
terhadap hadis mutawatir, terhadap hadis ahad kritik tidak saja kepada sanad
tetapi juga terhadap matan. Di samping itu, dalam perspektif historis terngkap
tidak seluruh hadis tertulis di zaman Nabi Muhammad saw. Adanya pemalsuan hadis
yang disebabkan adanya perbedaan madzhab dan aliran. Proses penghimpunan hadis
memakan waktu yang lama, jumlah kitab hadis dan metode penyusunannya yang
beragam serta adanya periwayatan al-ma’na.[17]
Dari upaya di atas, akan di
dapatkan mana hadis yang di jadikanhujjah dan mana yang tidak .
dilakukan analisis tentang ada tidaknya khitan dalam Islam melalui hadis
tersebut dan dalil-dalil lain dengan di dukung kedokteran dan psikologis dari
masyarakat, upaya pemahaman hadis dalam konteks kini. Pemahaman tersebut perlu
dilakukan karena keberdaan khitan perempuan bukan merupakan suatu yang membawa
kemaslahatan bagi perempuan melainkan kesengsaraan. Terutama, jika khitan
tersebut dijadikan ajang sebagai pengebiran hasrat seksual perempuan. Hal
inilah yang menyalahi kodrat manusia yang diberi oleh tuhannya
mempunyai naluri seksual.
Istilah
khitan merupakan istilah yang
lazim dipakai dalam
masyarakat atas peristiwa atau prosesi pemotongan sebagian organ kelamin
laki-laki dan perempuan. Term khitan sendiri berasal dari bahasa Arab.
Secara etimologis, kata khitan mempunyai arti memotong. Sedangkan secara
istilah khitan merupakan suatu pemotongan pada bagian tertentu atas alat
kelamin laki-laki atau perempuan.[18]
Istilah-istilah
lain yang sering disandarkan dengan khitan adalah khifad dan ‘izar. Terdapat
perbedaan atas penggunan kedua istilah tersebut.[19] Term pertama khifad khusus
diperuntukkan bagi khitan perempuan sedangkan ‘izar digunakan
secara umum, tidak saja khitan perempuan melainkan juga atas khitan kaum
laki-laki.
Secara
kebahasan istilah khifad dapat diartikan dengan menurunkan
atau merendahkan. Makna tersebut dapat diasumsikn bahwa tujuan dari khitan
perempuan adalah adanya pnjagaan diri atas keperawanan perempuan sampai masa
pernikahannya.
Di
dalam dunia medis, istilah khitan tidak ditemukan. Khitan identik
dengan sirkumsisi. Demikian jug di dalam masyarakat jawa istilah khitan
lebih dikenal dengan tetes (netes) yang berarti menjelma, menyamai.
Istilah yang lazim di
gunakan di Sudan dan Mesir adalah khitan ala Fir’aun yang diadopsi dari
bentuk khitan yang
ada pada masa pemerintahan Ramses. Istilah lain yang acap kali ditemukan di
berbagai buku saat ini adalah Female Genital Mutlation (FGM)
atau female circumsision yang keduanya merujuk kepada arti
menghilangkan organ kelamin perempuan.
Orang
yang mengkhitan biasanya seorang dukun. Istilah tersebut dalam bahasa Melayu
dikenal dengan sebutan mudin, tukang sunat, dukun sunat. Adapun
dalam bahas Sunda dikenal dengan bengkong dan paradji. Sedangkan di Jawa
dikenal dengan calak, bong, dukun supit atau sekarang banyak juga ditangani
para medis seperti dokter.
Pengertian khitan
dapat diperoleh dalam gambaran pendapat-pendapat ualma
seperti Abd al Salam al-Sukari yang dimaksud dengan khitan laki-laki adalah
memotong seluruh kulit yang menutupi kepala penis sehingga tersingkat semuanya,
sedangkan khitan perempuan dalah memotong bagian terbawah kulit yang terletak
persis di vagina.
Sedangkan
khitan perempuan dalam pandangan menurut Imam Mawardi adalah memotong klit yang
berada di atas kemaluan perempun yang berada di atas tempat masuknya penis dan
bentuknya menyerupai biji-bijian atau jengger ayam. Pengertian senada juga
diungkap pemikir lainnya seperti Ibrahim Muhmmad Jalal. Lebih lanjut Mawardi
mengemukakan tentang
batasan yang harus dipotong
dalam khitan perempuan yaitu paling tidak adalah bagian kulit yang menggelembir
tanpa melenyapkan hingga akar-akarnya.[20]
Setelah
melihat berbagai pandangan tentang istilah khitan dan berbagai
pendapat ulama di atas, maka pada bagian lain dilaksanakan penelusuran secara
komprehensif masalah khitan perempuan sebagaimana yang tergambar dalam hadis
yang sedang di lakukan penelitian . Oleh karena itu, upaya ini berupaya
memahami pesan yang dibawa oleh Rasulullah saw. Dalam konteksnya pada masa
dahulu dengan tanpa memberikan interpretasi lain kecuali secara historis dan
sosiologisnya. Karena kedua hal tersebut merupakan suatu yang lazim dijadikan
pedoman dalam menyusun suatu hukum.
Hadis-hadis tentang khitan perempuan terdapat tema pokok
yang menjadi bahasan teks hadis. Ketiga pokok
bahasan hadis tentang khitan
perempuan adalah:
1. Gambaran atas
tradisi khitan perempuan pada masa Nabi Muhammad saw.
2. Khitan merupakan
bagian dari fitrah (kesucian).
3. Wajibnya mandi
jinabat karena bertemunya dua khitan.
Faedah dari khitan
Faedah khitan telah terbukti secara
klinis dan medis setelah tersebarnya hasil penelitian-penelitian yang
menjelaskan bahwa zakar yang tidak dikhitan dapat mendatangkan bermacam-macam
penyakit kelamin, seperti syphilis, kencing nanah (gonorrhea),
hingga kanker pucuk penis yang merupakan kanker paling ganas.
Penyakit-penyakit tersebut pada umumnya
timbul karena menggumpalnya kotoran-kotoran bakteri, amoeba, dan jamur di
antara pucuk kemaluan dan kulit yang menutupinya (yang biasanya disebut dengan
kulup). Kulup inilah yang oleh Rasulullah saw diperintahkan untuk dihilangkan
denga cara khitan ketika masa kecil. Karena kulup yang menutupi kepala penis
merupakan tempat berkumpulnya kotoran dn najis yang timbul dari keringat,
maupun cairan produksi kelenjar-kelenjar lemak dan sisa-sisa kencing yang sulit
dihilangkan. Kulup juga dapat menjadi tempat timbulnya gatal yang menjadi sebab
berbagai penyakit. Bahkan kulup juga menjadi tempat timbulnya bau yang tidak
sedap.
Virus penyebab sakit ini berpindah dari
kulup, pucuk kemaluan, saluran kencing (urethra), kemudian menuju
kandung kemih, dan berindah kebuah pinggang, atau melalui jalan lain yaitu dari
prostat menuju kedua buah pelir dan urung-urung (epididymis), kemudian
merusak keduanya hingga bias mengakibatkan kemandulan, bahkan dapat menimbulkan
rasa sakit dan nyeri yang hebat. Dan ketika orang yang terserang penyakit ini
menikah, ia dapat menularkan penyakitnya kepada isterinya dengan sangat mudah
sehingga dapat menyebabkan peradangan di rahim, leher rahim, dan kelenjar
Bartolin yang menyebabkan penyakit yang disebut radang Bartolintis. Ia kadang
bias sampai ke rahim dan menyebabkan kanker. Ia juga bias menyebabkan
kemandulan penuh pada wanita, disamping rasa sakit akibat radang yang kronis
dan hebat beserta penanahannya di bagian-bagian tubuh yang paling sensitive.
Oleh karena itu, khitan bagi suami
memiliki peran yang besar dalam melindunginya dari beragam penyakit, sekaligus
melindungi isteri dari berbagai macam radang pada organ reproduksi. Puncaknya,
radang-radang tersebut dapat menyebabkan penyakit-penyakit gawat, seperti
kanker rahim yang tersebar luas dikalangan wanita tunasusila dengan tingkat
epidemic yang mengerikan.
Hal-hal seperti itulah yang memaksa
para penderita penyakit untuk melakukan khitan, walaupun pada awalnya hanya
untuk mencari kesembuhan, bukan untuk mengikuti sunnah Nabi saw, seperti
orang-orang yang mengidap penyakit bawaan seperti sempit kulup atau melekatnya
kulup pada pucuk kemaluan yang dapat menyebabkan kesulitan buan air kecil. Para
dokter telah memperingatkan banyaknya penyakit pada organ reproduksi laki-laki
yang tidak dikhitan pada umumnya.[21]
Tradisi khitan
telah ditemukan jauh sebelum Islam datang.[22]Berdasarkan
penelitian etnolog menunjukan bahwa khitan sudah pernah
dilakukan masyarakat pengembala di Afrika dan
Asia Barat Daya, suku Semit ( Yahudi dan Arab )dan Hamit.[23] Mereka
yang dikhitan tidak hanya laki-laki, tetapi juga kaum perempuan, khususnya
kebanyakan dilakukan suku negro di Afrika Selatan dan Timur.[24]dengan
demikian, khitan merupakan sesuatu yang lazim dilaksanakan baik untuk laki-laki
maupun perempuan. Khitan bagi laki-laki dirasakan banyak manfaatnya. Namun, tidak dengan perempuan.
Khitan atas perempuan menyisakan kepedihan
karena merugikan perempuan. Bahkan, menurut kepala Rumah Sakit Islam Yordania
menghukuminya haram.
Lahirnya kebiasaan
tertentu di duga sebagai imbas atas
kebudayaan totemisme.[25] Dalam
kata lain, menurut Munawar Ahmad Anees, tradisi khitan di dalamnya terdapat
perpaduan antara mitologi dan keyakinan agama. Apa yang dikatakan Anees di atas ada benarnya, walaupun
dalam ritus agama Yahudi, khitan bukan mereupakan ajaran namun kebanyakan masyarakat
mempraktekannya. Hal senada juga sama dengan yang terjadi di masyarakat
Kristen.
Pendapat ulama
fuqoha tentang khitan
Sedangkan menurut redaksi yang lain
khitan secara umum adalah tradisi masa lalu.[26] Demikianlah
yang dikatakan oleh para sejarawan yang membahas peradaban Mesir. Seorang gadis
pada zaman Mesir kuno dikhitan sebagaimana dikatakan oleh sejarawan bernama
Strabo. Para gadis juga dikhitan di kalangan Arab sebelum Islam. Wanita yang
paling terkenal yang di khitan pada saat itu bernama Ummu Anwar sebagaimana
tercantum dalam shahih Bukhari dalam pembahasan terbunuhnya Hamzah.
Kesimpulan
pendapat para fuqaha terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai
berikut:
1. Khitan hukumnya sunnah yang berlaku
bagi laki-laki dan perempuan. Ini adalah pendapat imam Malik dalam sutu riwayat
dan Abu Hanifah. Diriwayatkan dari Abu Hanifah yang berkata: ‘hukumnya wajib
dan bukan fardlu’. Sebagaimana diriwayatkan dari Imam Malik bahwa hukumnya
fardhu. Beberapa pengikut Imam Syafi’I berpendapat fardhu juga.
2. Khitan hukumnya wajib yang berlaku bagi
laki-laki dan wanita semuanya. Ini adalah madzhab Imam Syafi’I dan banyak ulama.
Pendapat ini adalah pendapat Sahnun dari ulama Malikiyah dan sebuah riwayat
dari Imam Ahmad.
3. Khitan hukumnya wajib bagi laki-laki
dan sunnah bagi wanita. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa pengikut Imam
Syafi’i. ini juga pendapat madzhab Imam Ahmad. Dan ada yang mengatakan bahwa
bagi wanita, khitan merupakan suatu kemuliaan.
Dalil dari masing-masing pendapat telah
di dijelaskan dalam jilid keempat dalam ensiklopedia “keluarga dalam naungan
Islam” dengan mengambil berbagai refrensi. Setelah mengemukakan dalil-dalil dan
mendiskusikannya, jelas bahwa dalil yang mewajibkan khitan bagi wanita banyak
mendapatkan kritikan.
analisis Sosio-Historis
Dari tiga pokok tema diatas
hadis pertama yang menjelaskan tradisi khitan perempuan pada masa Nabi Muhammad
saw. Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa ada seorang perempuan yang di khitan
di Madinah. Melihat hal tersebut, maka Nabi Muhammad saw. Memberikan wejangan
agar kalau memotong/mengkhitan jangan terlalu banyak. Hal tersebut dapat
mengakibatkan kurangnya nikmat dalam hubungan seksual. Dengan demikian, secara
tidak langsung Nabi Muhammad saw. Melarang khitan perempuan yang tujunnya
adalah menyakiti perempuan seperti upaya pengebiran terhadap nafsu atau hasrat
seksual. Di lain sisi, Nabi Muhammad saw. Melakukan koreksi terhadap yang sudah
ada.[27]
Upaya Nabi Muhammad saw.
Tersebut merupakan suatu yang lazim dilakukan manakala Nabi Muhammad saw. Masih
hidup. Di mana, jika terjadi sebuah persoalan yang membutuhkan jawaban maka
Rasulullah saw. Memberikan jawabannya secara langsung. Dalam hal ini juga
berlaku terhadap masalah khitan perempuan. Walaupun Nabi Muhammad saw.
Mengangap persoalan khitan perempuan sebagai suatu kemuliaan namun kebiasan
khitan perempuan harus disesuaikan dengan sifat-sifat kemanusiaan yang harus
senantiasa dijaga yakni agar dapat memenuhi hasrat libidonya dengan baik tanpa
adanya pengekang dan pengebiran.
Melihat kualitas
hadis yang dha’if, yang disebabkan dengan adanya periwayat yang
tidak dapat dipertanggung jawabkan dalam kegiatan tranmisi hadis, maka apa yang
digambarkan dalam hadis tersebut belum tentu menjadi sebuah tradisi yang lazim
dilakukan pada masa itu. Apalagi jika dikaitkan dengan sosok siapa yang
melakukan khitan pan pengkhitannya tidak jelas dengan baik. Apakah
isteri-isteri Nabi Muhammad saw. Melakukan khitan ataukah putri beliau juga
demikian melakukan nya? Data-data tersebut tidak dapat dengan mudah diketahui
dengan hanya melihat hadis tersebut. Oleh karena itu, perlu eksplorasi lebih
jauh tentang sejarah social kemasyarakatan pada zaman Nabi Muhammad saw.
Termasuk di dalamnya tentang masalah khitan perempuan. Tidak ada data yang
mengungkapkan tentang khitan perempuan tersebut dilakukan di sekitar
orang-orang yang dekat dengan Nabi seperti anak-anak Nabi, isteri Nabi dan
sahabat terdekat Nabi Muhammad saw. Sebagaimana tergambar dalam hadis pertama
yang dijadikan penelitian tidak shahih atau bernilai da’if. Oleh karena itu, gambaran
adanya trdisi tersebut sangatlah minim untuk bisa menggambarkan tradisi khitan
perempuan pada masa Nabi Muhammad saw.
Analisis
Ensiklopedia
Hadis-hadis yang perlu
dicermati dalam masalah khitan perempuan adalah tentang sinyalemen Nabi Muhammad
saw. Yang mewajibkan umatnya untuk mandi jinabat (mandi wajib yang
disebabkan sesuadah bersenggama). Istilah yang digunakan dalam redaksi hadis
tersebut adalah bertemunya dua khitan (khitanani). Apakah secara tidak
langsung Nabi Muhammad saw. Mengatakan bahwa wanita melakukan khitan? Tidak ada
informasi yang mendukung atas kejadian diwahyukannya hadis tersebut. Pada hal,
masalah tersebut merupakan masalah yang penting untuk diungkapkan sebagai Nabi
Muhammad saw. Melarang juru khitan perempuan untuk tidak mengkhitan secara
berlebihan.
Redaksi khitanani tidak
serta merujuk dua-duanya dikhitan baik laki-laki maupun perempuan. Ungkapan
seperti itu lazim digunakan dalam bahasa Arab untuk menyebut sesuatu dari dua
perkara dengan nama yang popular dari salah satunya atas dasar yang biasa digunakan,
seperti istilah العمران yang berarti Abu Bakar dan Umar, المران yang berarti matahari dan bulan.
Demikian juga istilah yang merujuk kepada laki-lki lebih dimenangkan dari
perempuan seperti الأبواب yang artinya ayah dan ibu. Atau dapat
juga digunakan sesuatu yang lebih besar keadaannya, seperti dalam Q.S.Fatir
(35): 12:
وما يستوي
البحران هذا عذب فرات سائغ شرابه وهذا ملح أجاج ومن كل تأكلون لحما طريا وتستخرجون
حلية تلبسونها وترى الفلك فيه مواخر لتبتغوا من فضله ولعلكم تشكرون[28]
Dan
tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang
lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging
yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya,
dan pada masing-masingnya kamu lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya
kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur.
Dalam ayat tersebut
diungkap sungai (nahr) yang pertama dan yang kedua lautan yang
hakiki. Ungkapan tersebut juga ditemukan dalam bentuk pernyataan isteri Nabi
Muhammad saw. Umm al-Mu’min Aisyah r.a. sebagaimana disebutkan dalam Muwatta’
Imam Malik. Hadis tersebut dikenal dengan hadis mawquf. Di dalam
hadis tersebut lagi-lagi hanya menggambarkan pentingnya mandi jinabat ketika
seseorang telah melakukan hubungan intim dengan suaminya. Demikian juga tidak
diungkap tentang prilaku sahabat perempuan disekitar Nabi Muhammad saw. Apakah
melakukan khitan atau tidak. Dengan demikian, khitan perempuan ini bukan
merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan oleh setiap perempuan
sebagaimana yang sering dipahami oleh masyarakat awam yang terpelihara sampai
saat ini. Oleh karena itu , hadis tersebut walaupun sahih dari sanad dan
matannya namun tidak dapat dijadikan hujjah.
Informasi lainnya tentang
masalah khitan perempuan sebagaimana dimunculkan dalam hadis kedua dalam
penelitian diatas, maka istilah yang dipergunakan khitan bagian dari fitrah
masih terbilang umum dan abstrak. Istilah yang digunakan dalam hadis tersebut
tidak menunjukan adanya khitan perempuan secara spesifik. Adanya praktek khitan
perempuan pada masa Nabi Muhmmad saw.
DAFTAR PUSTAKA
M.Abdurrahman, Elan Sumarna, metode
kritik hadis, bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi AD
Damsyiqi, Asbabul Wurud 1Jakarta: Kalam Mulia, 2006.
Zaghlul An-Najjar, sains dalam
hadis, Jakarta:Amzah, 2011.
Abdullah Nasih Ulwan,
pendidikan anak dalam islam, Jakarta: pustaka Amani, 1999.
Jalaluddin, telaah
pendidikan terhadap sunah Rasulullah saw, Jakarta:grafindo persada, 2000.
Abu Dawud, Bab ma ja,a fil khitan,
Beirut: maktabah syamilah.
Sahih Bukhari, Bab Taqlimul
Adfar,beirut:maktabah syamilah.
Imam Malik, Bab Idzal Taqol
Khitan, Beirut: maktabah syamilah.
M. Syuhudi Ismail, metode penelitian
hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
M. Alfatih Suryadilaga, Aplikasi
Penelitian Hadis Dari Teks dan Konteks, Yogyakarta:teras 2009.
Syeikh Athiyah Shaqr, fatwa
kontemporer seputar dunia remaja, Jakarta: Amzah, 2003.
0 komentar:
Posting Komentar