Kamis, 10 Maret 2016

Makalah dan Dalil Tentang Khitan

Makalah Dalil Tentang Khitan

PENDAHULUAN
Sumber ajaran Islam yang paling pokok adalah Al-Qur’an dan hadis. Keduanya memiliki peranan yang penting dalam kehidupan Islam. Walaupun terdapat perbedaan dari segi penfsiran dan aplikasi, namun setidaknya ulama sepakat bahwa keduanya dijadikan rujukan. Dari keduanya ajaran Islam diambil dan dijadikan pedoman.[1]
penulisan Al-Qur’an sudah dilakukan sejak zaman Rasulullahsaw. Secara teratur dan terarah, serta pra sahabat selalu mendapat bimbingan langsung dari padanya. Kodifikasi Al-Qur’an dalam satu mushf dilakukan sejak zaman khalifah Rasulullah saw. Abu Bakar Al-Shidiq, dan selanjutnya dilakukan oleh Utsman bin Affan, r.a. dibantu oleh para sahabat yang hafal Al-Qur’an atau yang pernah menjadi penulis wahyu pada zaman Rasul saw.[2]
Sebagai sumber pewahyuaan ayat-yat Al-Qur’an adalah Allah sekaligus sebagai otoritas tunggal. Maha besar Tuhan jika menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai ondisi masyarakat pada waktu itu. Namun berbeda dengan A-Qur’an, hadis sumbernya bias dari Allah dan bias juga melali Rasulullah saw. Sendiri, bahkan bias juga dilakukan melalui pendidikn kepada para sahabatnya. Oleh karena itu, dalam hadis dikenal adanya hadis Qudsi, dimana lafalnya dari Rasulullah saw. Dan isinya dari Allah.
Disatu sisi Rasulullah saw. Juga menetapkan hukum dengan berdiskusi melalui sahabtanya. Terdapat sebuah riwayat yang menceritakan persoalan perang Badar. Rasulullah saw. Lebih memilih pendapat Abu Bakar yang menyarankan agar tawanan dimintai tebusan dengan mengabaikan pendapat Umar ibn al-Khatab yang menyarankan agar tawanan tersebut dibunuh. Masalah ini dapat diselesaikan dengan turunnya wahyu QS. al-Anfal (8):67.
ما كان لنبي أن يكون له أسرى حتى يثخن في الأرض تريدون عرض الدنيا والله يريد الآخرة والله عزيز حكيم
Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[3]
Khitan merupakan anggapan masyarakat sebagai tradisi. Di dalam Islam khitan adalah anjuran seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim as. Khitan bagi laki-laki adalah suatu kewajaran atau hal yang sudah biasa di dengar oleh masyarakat kita. Tetapi bagaimana kalau khitan itu bagi perempuan? Di dalam makalah saya di bawah ini saya akan mencoba membahas tentang khitan bagi laki-laki atau khitan bagi perempuan.
Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan khitan
2.      Sejarah tentang khitan
3.      Bagaimana Khitan bagi perempuan
4.      Bagaimana Pendapat fuqoha tentang khitan
5.      Bagaimana Khitan dilihat dari segi sosio-historis
6.      Bagaimana Khitan dilihat dari segi ensiklopedia

  
KHITAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HADIS NABI

Asbabul wurud
الق عنك شعرالكفر ثم ختتن
Artinya:
“Buanglah rambut kafir darimu kemudian berkhitanlah!”
Diriwayatkan oleh : Imam Ahmad dan Abu Daud dari Ibnu Kulaib r.a. Al Hafidzh Ibnu Hajar berkata: sanad hadis ini Dhaif.
Sababul wurud
Abu Daud meriwayatkan dari Utsman bin Kulaib dar ayahnya dari kakeknya bahwa kakeknya itu dating kepada Nabi SAW, lalu berkata: “Aku masuk islam” mka Rasuulullah Saw bersabda kepadanya: “buanglah rambut kafir darimu kemudian berkhitanlah!..
Diriwayatkan oleh Abu Na’m dalam Ma’rifatus shahabah” secara muttasil dari dua jalan ‘Utsaim da kemudian diterjemahkan oleh al Hafidh al Muzi. Tentang hal itu Ibnu Hibban menyebutnya dalam ats Tsiqat.[4]
Takhrij Hadis
a)      Kitab Sahih Bukhari bab taqlimul adfar no:5550
b)      Kitab  Sahih an-Nas’I bab zinah wa sunan no:5
c)      Kitab Sahih ibn Hiban bab zinah wa tatyibu no:5479
  
I’tibar Sanad
الكتاب:صحيح البخارى
5552 - حدثنا أحمد بن يونس: حدثنا إبراهيم بن سعد: حدثنا ابن شهاب، عن سعيد بن المسيَّب، عن أبي هريرة رضي الله عنه:
سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (الفطرة خمس: الختان، والاستحداد، وقص الشارب، وتقليم الأظفار، ونتف الآباط).
الكتاب:صحيح ابن  حبان  
[ 5479 ] أخبرنا عمر بن محمد الهمداني حدثنا محمد بن عبد الأعلى قال حدثنا معتمر قال سمعت معمرا عن الزهرى عن سعيد بن المسيب عن أبى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم خمس من الفطرة قص الشارب ونتف الإبط وتقليم الأظافر والاستحداد والختان
                                                                                                                                                  الكتاب: سنن النسائى
أخبرنا حميد بن مسعدة عن بشر قال: حدثنا عبد الرحمن بن إسحاق، عن سعيد المقبري، عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
-(خمس من الفطرة: الختان، وحلق العانة، ونتف الضبع، وتقليم الظفر، وتقصير الشارب).


Biografi periwayat
Abu Hurairah
Meriwayatkan hadis sebanyak: 5374 hadis
Abu Hurairah memeluk Islam pada tahun 7 H, tahun terjadinya perang Khibar, Rasulullah sendirilah yang memberi julukan “Abu Hurairah”, ketika beliau sedang melihatnya membawa seekor kucing kecil. Julukan dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam itu semata karena kecintaan beliau kepadanya. Ia wafat pada tahun 57 H di Aqiq.[5]
Said bin al-Musayyab
Nama lengkapnya Sa’id bin al-Musayyab bin Hazn al-Quraisy al-Makhzumi, ayahnya dan kakeknya adalah sahabat Nabi Shallallahu alaihi wassalam, ia dilahirkan sebelum Umar menjadi khalifah, sejak muda telah melakukan perjalanan siang dan malam untuk mendapatkan hadist Nabi. Ia wafat pada tahun 94 H.
Ibn syihab
Nama sebenarnya adalah Muhammad bin Muslim bin Abdullah, alim dan ahli fiqh.
Al-Laits bin Sa’ad berkata: “Aku belum pernah melihat seorang alimpun yang lebih mumpuni dari pada az-Zuhri, kalau ia berbicara untuk memberi semangat, tidak ada yang lebih baik dari pada dia, bila dia berbicara tentang sunnah dan al-Qur’an pembicaraanya lengkap“.

Ibnu Syihab az-Zuhri tinggal di Ailah sebuah desa antara Hijaz dan Syam, reputasinya menyebar sehingga ia menjadi tempat berpaling bagi para ulama Hijaz dan Syam.
Selama delapan tahun Ibnu Syihab az-Zuhri ia tinggal bersama Sa’id bin Al-Musayyab di sebua desa bernama Sya’bad di pinggir Syam. Disana pula ia wafat.
Ia wafat di Sya’bad pada tahun 123 H, ada yang mengatakan ia wafat tahun 125 H.
Imam Bukhari
Nasab kelengkapan dari tokoh yang sedang kita bincangkan ini adalah sebagai berikut: Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah. Kakek (Zoroaster) sebagai agama asli orang-orang Persia yang menyembah api. Sang kakek tersebut meninggal dalam keadaan masih beragama Majusi. Putra dari Bardizbah yang bernama Al-Mughirah kemudian masuk Islam di bawah bimbingan gubernur negeri Bukhara Yaman Al-Ju’fi sehingga Al-Mughirah dengan segenap anak cucunya dinisbatkan kepada kabilah Al-Ju’fi. Dan ternyata cucu dari Al-Mughirah ini di kemudian hari mengukir sejarah yang agung, yaitu sebagai seorang Imam Ahlul Hadits. [6]

Al-Imam Al-Bukhari lahir pada hari Jum’at tanggal 13 Syawal 194 H di negeri Bukhara di tengah keluarganya yang cinta ilmu sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam. Karena ayah beliau bernama Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah adalah seorang ulama Ahli hadits yang meriwayatkan hadits-hadits Nabi dari Imam Malik bin Anas, Hammad bin Zaid, dan sempat pula berpegang tangan dengan Abdullah bin Mubarak. Riwayat-riwayat Ismail bin Ibrahim tentang hadits Nabi tersebar di kalangan orang-orang Iraq.
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al-Bukhari yang lahir pada tahun 194 Hijriyah dan wafat pada tahun 256 H di sebuah desa bernama Khortanak menuju arah Samarkan.

Pengertian khitan                                 
Kata Al-Khitan merupakan mashdar dari fi’il (kata kerja) “khatana” yang bermakna qatha’a (memotong), kata Al-Khitan dan Al-Khatnu bermakna memotong bagian tertentu dari anggota tubuh tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan khitan disini adalah memotong kelebihan yang ada pada organ seks, seperti kulit yang menutupi helm (pucuk) kemaluan laki-laki, atau kelebihan yang muncul dari klentit perempuan, sehingga kedua alat kelamin tersebut bias bersih dari bekas air seni.[7]
Rasulullah saw dalam hadis ini telah mewasiati (mewajibkan) kita melakukan khitan, dan juga dalam hadis yang lain seperti sabda Nabi saw: khitan adalah kesunnahan bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan.
Dengan demikian, khitan adalah tradisi kaum muslimin yang dianggap wajib oleh mayoritas ulama. Ulama syafi’iyah mensunahkan pelaksanaan pada hari ketujuh kelahiran bayi, apalagi Nabi saw dalam sebuah riwayat Al-Baihaqi konon mengakhikahi Hasan dan Husen dan mengkhitan keduanya ketika berumur tujuh hari.


Sejarah khitan
Sunat atau khitan telah dilakukan sejak jaman prasejarah, dilihat dari gambar-gambar di gua yang berasal dari Zaman Batu dan makam Mesir purba. Alasan tindakan ini masih belum jelas pada masa itu tetapi teori-teori memperkirakan bahwa tindakan ini merupakan bagian dari ritual pengorbanan atau persembahan, tanda penyerahan padaYang Maha Kuasa, langkah menuju kedewasaan, tanda kekalahan atau perbudakan, atau upaya untuk mengubah estetika atau seksualitas.Khitan dalam ajaran agama sudah ada dalam syariat Nabi Ibrahim AS.[8]
Dalam kitab Mughni Al Muhtajdikatakan bahwa laki-laki yang pertama melakukan khitan adalah Nabi Ibrahim AS. Kemudian Nabi Ibrahim mengkhitan anaknya Nabi Ishaq AS pada hari ketujuh setelah kelahirannya dan mengkhitan Nabi Ismail AS pada saat aqil baligh. Tradisi khitan ini diteruskan sampai pada masa kelahiran Arab pra Islam saa tkelahiran Nabi Muhammad SAW. mengenai khitan Nabi Muhammad SAW para ulama berbeda pendapat yakni pertama, sesungguhnya Jibril mengkhitan Nabi MuhammadSAW pada saat membersihkan hatinya.[9]
Dan kedua, bahwa yang mengkhitan NabiMuhammad adalah kakek beliau, yakni Abdul Muthalib yang mengkhitan NabiMuhammad pada hari ketujuh kelahirannya dengan berkorban dan memberi nama Muhammad. Kemudian Nabi mengkhitankan cucunya Hasan dan Husain pada hari kelahirannya. Pada hari tersebut banyak acara yang dilakukan antara lain aqiqah,mencukur rambut, memberi nama anak (tasmiyah).
Bangsa Arab membanggakan dirinya sebagai umat yang berkhitan. Abu Sufyan meriwayatkan bahwa pada suatu hari, Heraklius (Raja Romawi) sangat sedih. Pasalnya, pada suatu malam ia melihat bintang di langit membentuk satu gugusan yang menuruttafsiran para ahli Nujum merupakan isyarat kejatuhan bangsa Romawi dan berpindahnya kekuasaan mereka kepada bangsa yang berkhitan. Melihat raja mereka bersedih para pembesar istana Romawi merasa gelisah dan akhirnya menanyakan permasalahan yangdihadapi oleh raja. Heraklius mengisahkan “pada suatu malam, saya melihat suatu gugusan bintang yang menjadi pertanda bahwa raja dari umat yang berkhitan, akanmuncul dan meraih kemenangan”. Lalau ia bertanya, “siapakah diantara rakyatku yang berkhitan?” mereka menjawab, “tidak ada yang berkhitan selain kaum Yahudi. Janganlah engkau gundah karena mereka.
Tulislah surat kepada para pembesar negeri agar merekamembunuh kaum Yahudi.” Heraklius pun melaksanakan anjuran tersebut sehingga banyak orang Yahudi yang menjadi korban. Ketika itulah seorang utusan Raja Ghassan(dari Basrah) mendatangi Heraklius dan memberitahu tentang munculnya seorang Nabi(Muhammad SAW).[10]
Heraklius segera mengutus beberapa orang ke Arab untuk mencari informasi apakah Nabi tersebut berkhitan. Orang-orang yang diutus itu kemudian melaporkan kepada Heraklius bahwa Nabi Muhammad memang berkhitan. Selanjutnya Heraklius menayakan apakah bangsa yang dipimpin Nabi tersebut berkhitan,. Mereka menjawab, “ Ya”. Dalam akhir cerita ini Heraklius berkomenatar, “ inilah Raja dari umat yang berkhitan. Ia telah datang dan akan menang”.Khitan atau sunnat merupakan tradisi yang sudah ada dalam sejarah. Tradisi itu sudah dikenal oleh penduduk kuno Meksiko, demikian juga oleh suku-suku bangsa Benua Afrika.
Sejarah menyebutkan, tradisi khitan sudah berlaku di kalangan Bangsa Mesir Kuno. Tujuannya, sebagai langkah untuk memelihara kesehatan dari baksil-baksil yang dapat menyerang alat kelamin, karena adanya kulup yang bisa di hilangkan kotorannya dengan khitan. Berbagai suku bangsa dipedalaman Afrika seperti sukuMusawy (Afrika Timur) dan suku Nandi menjadikan khitan sebagai inisiasi (upacara aqil baligh) bagi para pemuda mereka. Setelah khitan barulah para pemuda diakui secara adatdan berstatus sebagai orang dewasa. Para pemuda yang dikhitan akan di kalungkan potongan qulfah hingga sembuh. Khitan sangat erat kaitannya dengan budaya Semitik (Yahudi, Kristen dan Islam).
Sampai saat ini khitan masih dilaksanakan oleh penganut Yahudi dan sebagian penganut Kristen dari Sekte Koptik. Dengan ada khitan ini bangsa Yahudi berpindah jejak pada jejak lain. Mereka telah keluar dari Negara Palestina dan mengembara ke berbagaikawasan dunia dan hidup dengan berbagai manusia. Untuk membedakan dengan yanglain, mereka lestarikan tradisi khitan itu sebagai kewajiban dan rasa setia kepada bangsa mereka. Khitan menjadi identitas mereka dengan yang lain. Menurut Islam maupun Koptik Kristen maupun Yahudi, khitan bermula pada tradisi Nabi Ibrahim AS. Patriarkh Ibrahim as. Melakukannya sebagai simbol dan pertanda perjanjian suci (Covenant ) atau dalam bahasa Islammitsaq, antara Ibrahim dengan Allah SWT.
 Para antropolog menemukan, budaya khitan pada perempuan telah populer dimasyarakat semenjak pra-Islam yang dibuktikan dengan ditemukannya mumi perempuan di Mesir Kuno abad ke-16 SM yang memiliki tanda clitoridectomy (pemotongan alat kelamin). Praktek khitan pada mumi tersebut justru ditemukan pada kalangan kaya dan berkuasa, bukan pada rakyat jelata. Menurut Hassan Hathout, pelaksanaan khitan perempuan telah berlangsung lama sebelum kedatangan Islam terutama di lembah Nilyakni Sudan, Mesir, dan Ethiopia. Pada abad ke-2 SM, khitan perempuan dijadikan ritual dalam prosesi perkawinan.[11]
Khitan bagi perempuan
Adapun khitan perempuan oleh syara’ disebut Al-Khifadzh yang merupakan bentuk ketundukan terhadap perintah Nabi saw yang telah mendeskripsikannya sebagai kemuliaan bagi perempuan. Sebab bagian yang dipotong dalam proses khitan perempuan adalah organ tubuh wanita yang paling sensitive. Jika organ ini timbul secara jelas maka dapat merangsang gairah seksual yang sangat melelahkan, khususnya sebelum pernikahan. Bahkan hal ini juga sering dianggap sebagai sebab salah satu penyebab hengkang dan menyingkirnya suami setelah pernikahan karena tidak mampu memenuhi kewajiban suami-isteri.
Jika organ ini tidak muncul secara jelas barangkali tidak akan ada anjuran khitan, wallahu ta’ala a’lam. Oleh karena itu, khitan perempuan merupakan kesunnahan (kewajiban) bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan.
Sedangkan di dalam Islam, dalam teks ajaran Islam tidak secara tegas menyinggung masalah khitan ini. Sebagaimana disebut dalam Qs. An-Nahl (6): 123-124, umat Nabi Muhammad saw. Agar mengikuti Nabi Ibrahim sebagai bapaknya nabi, termasuk di dalamnya adalah tradisi khitan. Dalam perspektif ushul fiqh hal tersebut dikenal dengan istilah syar’u man qablana.[12]
Hal tersebut secara tidak langsung muncul anggapan khitan merupakan suatu keharusan. Karena Nabi Ibrahim a.s. adalah bapak para nabi dan agama Islam merupakan agama yang bersumber darinya. Asumsi tersebut juga didukung oleh informasi dari hadis Nabi Muhammad saw. Yang menyebutkan adanya tradisi khitan perempuan di Madinah.
حدثنا سليمان بن عبد الرحمن الدمشقي وعبد الوهاب بن عبد الرحيم الأشجعي قالا ثنا مروان ثنا محمد بن حسان قال عبد الوهاب الكوفي عن عبد الملك بن عمير عن أم عطية الأنصارية
 : أن امرأة كانت تختن بالمدينة فقال لها النبي صلى الله عليه و سلم " لا تنهكي ( أي لا تبالغي في الخفض يعني ختان النساء . هامش د ) فإن ذلك أحظى للمرأة وأحب إلى البعل " [13]
Diceritakan dari Sulaiman ibn Abd Rahman al-Damsaqi dan Abd alWahab ibn Abd Rahim al-Asyja’I berkata diceritakan dari Marwan menceritakan kepada Muhammad ibn Hassan berkata Abd al-Wahhab al-Kufi dari Abd al-Malik ibn Umair dari Ummi Atiyah al-Anshari sesunggihnya adaseorang juru khitan perempuan di Madinah, maka Nabi Muhammad saw. Bersabda jangan berlebih-lebihan dalam memotong organ kelamin perempuan, sesungguhnya hal tersebut akan dapat memuaskan perempuan dan akan lebih menggairahkan dalam bersetubuh. (H.R. Abu Dawud)
                            
Dalil-Dalil Lain

Telah pasti di dalam banyak hadits tentang disyari’atkannya khitan, di antaranya:
1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْفِرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ اْلأَظْفَارِ وَنَتْفُ اْلآبَاطِ
“Fitrah itu ada lima, yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.”
Hadits shahih, dikeluarkan oleh Imam Bukhari (6297-Al–Fath, Imam Muslim (3/27- Imam Nawawi), Imam Malik di dalam Al-Muwattha’ (1927), Imam Abu Dawud (4198), Imam Tirmidzi (2756), Imam Nasa’i (I/14-15), Imam Ibnu Majah (292), Imam Ahmad di dalam Al-Musnad (2/229) dan Imam Baihaqi (8/323).
2. Dari ‘Utsaim bin Kulaib dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya ia pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan:
قَدْ أَسْلَمْتُ فَقَالَ لَهُ النَِّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
“Sungguh saya telah masuk Islam.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Buanglah darimu bulu (rambut) kekufuran dan berkhitanlah.”
Hadits hasan, dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (356) dan Imam Baihaqi dari beliau (1/172) juga Imam Ahmad (3/415.
Berkata Syaikh Al-Albani di dalam Al-Irwa’ (79): Ini adalah hadits hasan, karena hadits ini memiliki dua pendukung. Salah satunya dari Qatadah dan Abu Hisyam, sedangkan yang satu dari Wa’ilah bin Asqa’. Dan sungguh saya telah membicarakan tentang keduanya. Telah saya jelaskan juga di dalam Shahih Sunan Abu Dawud (no. 1383) bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berhujjah dengan hadits ini.
3. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِخْتَتَنَ إِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَنِ بَعْدَ ماَ أَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً
“Ibrahim Khalilur Rahman berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun.”
Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (6298-Al-Fath), Imam Muslim (2370), Imam Baihaqi (8/325) dan Imam Ahmad (2/322-418) dan lafadz hadits ini ada pada beliau.
Di dalam hadit-hadits di atas terdapat keterangan tentang disyari’atkannya khitan. Dan bahwasanya orang tuapun tetap diperintah untuk melaksanakannya, jika ia belum pernah berkhitan.
Khitan bagi Wanita
Adapun tentang disyari’atkannya khitan bagi para wanita, maka dalam hal ini ada beberapa hadits, di antaranya sebagai berikut ini:
1. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha (seorang wanita juru khitan):
أُخْفُضِي وَلا تُنْهِكِي فَإِنَّه أَنْظَرُ لِلْوَجْهِ أَحْظَى لِلْزَوْجِ
“Khitanlah (anak-anak perempuan), tetapi jangan dipotong habis! Karena sesungguhnya khitan itu membuat wajah lebih berseri dan membuat suami lebih menyukainya.”
Hadits shahih, dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (5271), Imam Al-Hakim (3/525), Imam Ibnu ‘Adi di dalam Al-Kamil (3/1083) dan Imam Al-Khatib di dalam Tarikh-nya (12/291).
2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila dua khitan (khitan laki-laki dan khitan perempuan) sudah bertemu, maka sudah wajib mandi.”
Hadits shahih, dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi (108-109), Imam Syafi’i (1/36), Imam Ibnu Majah (608), Imam Ahmad (6/161), Imam Abdurrazzaq (1/245-246) dan Imam Ibnu Hibban (1173-1174-Al-Ihsan).
Di dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menisbatkan khitan untuk para wanita. Maka ini menjadi dalil tentang disyari’atkan juga khitan ini bagi mereka.
3. Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha secara marfu’:
اِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila seorang lelaki telah berada di atas empat bagian tubuh istrinya, dan khitannya telah menyentuh dengan khitan istrinya, maka sudah wajib mandi.”
Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (1/291-Al-Fath), Imam Muslim (349-Imam Nawawi), Imam Abu ‘Awanah (1/289), Imam Abdurrazzaq (939-940), Imam Ibnu Abi Syaibah (1/85) dan Imam Baihaqi (1/164).
Di dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengisyaratkan adanya dua tempat khitan, yaitu pada seorang lelaki dan pada seorang perempuan. Maka hal ini menunjukkan bahwa seorang perempuan juga dikhitan.
Imam Ahmad rahimahullah berkata: Di dalam hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa para wanita dahulu juga dikhitan.
Hendaklah diketahui bahwa khitan wanita merupakan hal yang ma’ruf (dikenal umum, red) di kalangan para salaf. Barangsiapa yang ingin menambah panjang lebar penjelasan tentang hal ini, silakan melihat kitab Silsilatul Ahaditsush Shahihah (2/353). Karena sesungguhnya Syaikh Al-Albani -semoga Allah melimpahkan pahala untuk beliau- telah menyebutkan banyak hadits dan atsar yang berkaitan dengan hal ini di dalam kitab tersebut.
Hukum Khitan
Pendapat yang rajih (kuat) adalah wajib. Dan itulah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil yang ada maupun kebanyakan pendapat para ulama. Dan telah pasti pula perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang yang baru masuk Islam untuk berkhitan. Kata beliau kepadanya:
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
“Buanglah darimu rambut/bulu kekufuran dan berkhitanlah.”
Maka perintah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang itu untuk berkhitan ini merupakan dalil terkuat yang menunjukkan tentang wajibnya.
Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah (hal. 69) berkata:
“Adapun hukum khitan, maka yang rajih menurut kami adalah wajib. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i maupun Imam Ahmad. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Imam Ibnu Qayyim rahimahullah. Beliau membawakan lima belas sisi dalam berdalil untuk mendukung pendapat ini. Meskipun masing-masing sisi tidak kokoh (dukungannya terhadap pendapat ini) ketika berdiri sendiri. Akan tetapi secara keseluruhan tidak diragukan lagi kuatnya sisi-sisi pendalilan tersebut. Hanya saja di sini bukan tempatnya untuk membicarakan semuanya, tetapi kami cukupkan di sini untuk menyebutkan dua sisi saja, yaitu:
1. Firman Allah Ta’ala:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّتَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفَا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian Kami wahyukan…kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim yang hanif dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” (An-Nahl: 123)
Khitan termasuk di antara millah (ajaran) Ibrahim sebagaimana terdapat di dalam hadits Abu Hurairah yang akan disebutkan setelah ini. Dan ini merupakanhujjah yang terbaik sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Baihaqi yang juga disadur oleh Al-Hafidz di dalam Al-Fath (10/281).
2. Bahwa khitan itu merupakan syi’ar-syi’ar Islam yang paling nampak, yang membedakan antara seorang muslim dengan nashrani. Hingga kaum muslimin hampir-hampir menganggap orang yang tidak berkhitan itu tidak termasuk dari kalangan mereka (kaum muslimin).
Kami tambahkan pula sisi yang ketiga untuk mendukung dalil wajibnya hukum khitan, yaitu yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam Al-Fath(10/417) dari Abu Bakr Ibnul Arabi ketika beliau membicarakan tentang hadits:
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ
“Fitrah itu ada lima, yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan,…”
Kata beliau: “Menurut pandangan saya bahwasanya kelima cabang yang disebutkan di dalam hadits ini semuanya wajib. Karena apabila seseorang meninggalkannya, niscaya tidak tersisa penampilannya sebagai seorang bani Adam, lalu mana mungkin ia (penampilannya) termasuk dari kalangan kaum muslimin.”
Hukum khitan ini umum untuk kaum pria maupun kaum wanita. Hanya saja tidak ada pada sebagian kaum wanita bagian tubuh yang dipotong untuk dikhitan, yaitu apa yang dinamakan dengan clitoris. Maka tidak masuk akal kalau kita perintahkan kepada mereka untuk dipotong (dikhitan), sedangkan hal itu tidak ada padanya.
Ibnu Hajj di dalam Al-Madkhal (3/396) berkata: “Diperselisihkan hukum khitan ini pada para wanita. Apakah mereka dikhitan secara mutlak ataukah dibedakan antara wanita Timur dengan wanita Barat. Adapun para wanita timur, maka mereka diperintahkan karena adanya bagian kemaluannya (untuk dipotong), yang lebih dari asal penciptaannya. Sedangkan para wanita barat, maka tidak diperintahkan kepada mereka keterangan tidak adanya hal itu pada mereka. Sehingga hal ini kembalinya kepada tuntutan ‘illah (sebab yang menetapkan hukum).
Waktu Khitan
Sungguh telah berlalu penjelasan tentang hukum khitan yaitu wajib. Dan termasuk di antara hal-hal yang telah diketahui di dalam ilmu ushul fiqh; bahwasanya suatu kewajiban menuntut agar dilakukannya perintah tersebut dengan segera. Sesungguhnya telah ada di dalam sebagian hadits penentuan waktu khitan, yaitu pada hari ketujuh.
Terdapat di dalam masalah ini tiga hadits yang menunjukkan bahwa khitan itu dilakukan pada hari ketujuh. Dan hadits-hadits tersebut tidak ada yang terluput dari perbincangan para ulama. Dan kami bawakan keterangan rinci tentang hal ini di dalam pembahasan berikut ini:
1. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:
أنّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ (وَخَتَنَهُمَا لِسَبْعَتِ أَيَّامٍ)
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Al-Hasan dan Al-Husain (dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhitan keduanya pada hari ketujuh).
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu ‘Adi di dalam Al-Kamil (3/1075), Imam Thabrani di dalam Ash-Shaghir (2/122), Imam Baihaqi di dalam Al-Kubra (8/324) dan di dalam Asy-Syu’ab (6/394) dari jalan sanad Muhammad bin Abis Sarii Al-Atsqalani mengatakan: Telah bercerita kepadaku Al-Walid bin Muslim dari Zuhair bin Muhammad dari Muhammad bin Munkadir darinya. Dan berkata Imam Thabrani: Tidak ada yang meriwayatkan dari Muhammad bin Munkadir kecuali Zuhair bin Muhammad. Akan tetapi tak seorang pun yang meriwayatkan hadits ini yang menambahkan lafadz:
وَخَتَنَهُمَا لِسَبْعَتِ أَيَّامٍ
“Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhitan keduanya pada hari ketujuh.”
Kami katakan: Ini adalah sanad yang lemah, padanya ada cacat yang beruntun:
·         Pertama, Muhammad bin Abis Sarii -Abu ‘Ashim Al-Atsqalani. Al-Hafidz di dalam At-Taqrib berkata: Ia seorang yang shaduq dan ‘arif, tetapi banyak keliru (dalam periwayatan). Maka kami khawatir bahwa hadits ini termasuk di antara kekeliruannya.
·         Kedua, Al-Walid bin Muslim telah melakukan tadlis taswiyah dan menyebutkan riwayatnya dengan ‘an dari gurunya terus ke atas.
·         Ketiga, Zuhair bin Muhammad. Al-Hafidz di dalam At-Taqrib berkata: “Periwayatan ahlu Syam darinya tidak tetap. Oleh karenanya hadits ini dha’if.”
Beliau katakan juga dalam At-Tahdzib (3/301-302):
“Berkata Imam Bukhari: Hadits yang diriwayatkan oleh ahlu Syam darinya sesungguhnya merupakan hadits-hadits yang mungkar. Berkata Imam Abu Hatim: Kedudukannya sebagai orang yang jujur, tetapi hafalannya buruk. Dan haditsnya yang ada di Syam lebih mungkar dari haditsnya yang ada di Iraq. Berkata Al ‘Ajli: Ia tidak mengapa, tetapi hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ahlu Syam darinya tidak membuatku kagum.”
Kami katakan: Hadits di atas termasuk di antara riwayat-riwayat ahlu Syam, karena Al-Walid bin Muslim adalah seorang Dimasyqi Syamii (yakni penduduk Syam -ed). Lagi pula tambahan yang tersebut di dalam hadits di atas adalah mungkar. Di mana ada tujuh sahabat yang meriwayatkan hadits ini, tetapi mereka tidak menyebutkan adanya tambahan tersebut. Ketujuh sahabat tersebut adalah: Ali bin Abi Thalib, Jabir bin Abdullah (riwayat Abu Zubair darinya), Anas bin Malik, Abdullah bin ‘Amr, Abdullah ibnu Abbas, Buraidah Al-Aslami dan Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Tidak seorangpun dari ketujuh sahabat tersebut yang meriwayatkan tambahan lafadz: “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhitan keduanya pada hari ketujuh”. Hanya saja dipersilisihkan dalam tambahan ini atas Jabir radiyallahu ‘anhu.
Maka Abu Zubair meriwayatkan hadits ini darinya tanpa tambahan, sehingga mencocoki riwayat jama’ah shahabat yang lain, yaitu dengan lafadz: bahwasanya “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Al-Hasan dan Al-Husain”. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf (8/46), Imam Abu Ya’la (1933), Imam Thabrani di dalam Al-Kabir (2573). Diriwayatkan juga hadits ini oleh Muhammad bin Munkadir dari Jabir dengan tambahan tersebut, sedangkan illah-nya bukan darinya, karena ia sebagaimana dikatakan di dalam At-Tahdzib: Ia seorang yang tsiqah dan utama. Akan tetapi illah tersebut dari rawi yang meriwayatkan darinya sebagaiman penjelasan yang telah lalu.
2. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata:
سَبْعَةٌ مِنَ السُّنَّةِ فِي الصَّبِيِّ يَوْمَ السَّابِعِ يُسَمَّى وَيُخْتَنُ…” الحَدِثُ
Tujuh perkara di antara Sunnah pada anak bayi di hari ketujuh adalah: dinamai, dikhitan,…” Al-Hadits.
Diriwayatkan oleh Imam Thabrani di dalam Al-Ausath (1/334-335) dari jalan sanad Rawwad bin Jaraah dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Atha’ darinya.
Al Hafidz di dalam At-Talkhis (4/84) berkata: Di dalam sanadnya ada Rawwad bin Jaraah seorang yang dha’if.
Juga beliau menyebutkan biografinya di dalam At-Taqrib dengan mengatakan: Ia seorang yang shaduq (jujur), tetapi kacau hafalannya di akhir umurnya sehingga ditinggalkan.
Imam Adz Dzahabi di dalam Diwanudh Dhu’afa’ wal Matrukiin (1/293) berkata: Ia dinyatakan tsiqah oleh Imam Ibnu Ma’in.
Imam Abi Hatim berkata: Kedudukannya sebagai orang yang jujur. Imam Daraquthni berkata: Ia dha’if.
Berkata Imam Ibnu ‘Adi di dalam Al-Kamil (3/1039) berkata: Umumnya riwayat yang ia riwayatkan dari gurunya tidak diikuti oleh orang lain. Ia seorang syaikh yang shalih, akan tetapi di antara hadits orang-orang yang shalih ada hadits yang mungkar. Hanya saja ia termasuk orang yang ditulis haditsnya.
Syaikh Al-Albani di dalam Al-Irwa’ (4/385) berkata: Saya katakan: Orang yang seperti itu keadaannya apakah haditsnya dianggap? Atau dijadikan hujjah? Baik sebagai penguat atau pendukung? Maka menurut kami harus diteliti. Wallahu a’lam.
Akan tetapi nampaknya syaikh Al-Albani memandang rajih untuk menjadikan hadits ini sebagai pendukung. Karena beliau menyatakan di dalam Tamamul Minnah (68) tentang hadits Ibnu Abbas dan hadits Jabir radiyallahu ‘anhuma: “Akan tetapi salah satu di antara kedua hadits ini memperkuat yang lain, karena makhrajnya berbeda dan di dalam sanad kedua hadits tersebut tidak ada rawi yang tertuduh.”
Catatan:
Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah tentang hadits Jabir (yang pertama) berkata:
“Hadits ini dinisbatkan oleh Al-Hafidz dalam Al-Fath (10/282) kepada Imam Abu Syaikh dan Imam Baihaqi. Akan tetapi beliau mendiamkan saja. Barangkali hadits ini ada pada beliau berdua dari jalan yang lain.”
Kami katakan: Bahkan hadits tersebut diriwayatkan dari jalan sanad itu sendiri sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Fath (11/343) oleh Al Hafizh: Dan hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Syaikh dari jalan sanad Al-Walid bin Muslim dari Zuhair bin Muhammad dari Ibnul Munkadir atau yang lain dari Jabir.
Maka hadits ini diriwayatkan dari jalan sanad Imam Thabrani sendiri, Imam Baihaqi maupun Imam Ibnu ‘Adi.
3. Dari Abu Ja’far ia berkata:
كَانَتْ فَاطِمَةُ تَعُقُّ عَنْ وَلَدِهَا يَوْمَ السَّابِعِ وَتخْتَنُهُ وَتَحْلِقُ شَعْرَ رَأْسهِ وَتَصَدَّقُ بِزِنَهِ وَرَقًا
“Dahulu Fathimah mengaqiqahi anaknya pada hari ketujuh sekaligus mengkhitannya, mencukur rambut kepalanya dan bershadaqah uang seberat timbangan rambutnya.”
Dikeluarkan hadits ini oleh Imam Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannaf-nya (8/53) dari jalan ‘Abduh bin Sulaiman dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Abdul Malik bin Al-Lahyan dari Abu Ja’far.
Berkata Syaikh Muhammad ‘Id Al-‘Abasi: Abu Ja’far ini barangkali adalah Muhammad bin Ali bin Husain. Karena beliau orang yang paling masyhur dengankuniyah tersebut. Demikian itu yang dituntut oleh kaidah-kaidah ilmu hadits. Maka berarti sanad hadits ini terputus karena Abu Ja’far tidak mendapati Fathimah radiyallanhu ‘anha.
Jadi jelas hadits ini adalah dha’if, hanya saja masih bisa dijadikan sebagai pendukung.
Ada juga di dalam Musnad Al-Firdaus karya Imam Dailami dari hadits Ali sebagai pendukung keempat. Hanya saja di dalam sanadnya ada seorangkadzdzab (pendusta besar), sehingga tidak bisa dijadikan sebagai pendukung. Maka secara umum tiga hadits di atas dengan keseluruhan jalannya menunjukkan bahwa hadits tersebut ada asalnya. Sehingga jadilah hadits ini hasan. Wallahu a’lam.
Hal ini (pelaksanaan khitan pada hari ketujuh) merupakan perbuatan bersegera kepada kebaikan sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman Allah Ta’ala:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu.” (Ali Imran: 133)           
Tidak diragukan lagi bahwa bersegera melakukannya lebih utama bagi seorang anak, di mana rasa sakitnya jelas lebih ringan. Berbeda dengan jika ditunda. Maka ketika itu sakit lebih terasa. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila dihadapkan kepada dua pilihan, maka tidaklah beliau memilih kecuali yang lebih mudah/ringan. Dan juga di dalam khitan terdapat penyingkapan aurat. Sedangkan penyingkapan aurat anak kecil lebih sedikit kejelekannya dari pada yang sudah besar.
Di samping itu terdapat sebuah atsar dari Ibnu Abbas ketika beliau ditanya: “Berapa umurmu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat?” Beliau menjawab: “Aku ketika itu sudah dikhitan. Dan dulu mereka tidak mengkhitan seseorang hingga ia menjadi anak yang paham (baligh).”
Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (11/90-Al-Fath), Imam Ahmad (1/264-287-357), Imam Thabrani di dalam Al-Kabir (10/10575-10578-10579). Akan tetapi keduanya tidak mengeluarkan tambahan lafazh: Dan dulu mereka tidak mengkhitan….
Al-Isma’ili menganggap cacat atsar ini dengan alasan goncang, hal ini karena adanya perbedaan umur yang telah dicapai oleh Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu. Maka beliau mengatakan: Sesungguhnya perkataan: “Dan dulu mereka tidak mengkhitan…”, adalah perkataan yang dimasukkan ke dalam atsar ini. Akan tetapi disanggah pernyataan beliau ini oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam Al-Fath (11/90), maka lihatlah kesana karena pentingnya hal ini.
Maka atsar ini menunjukkan atas bolehnya menunda khitan hingga anak tersebut mencapai usia baligh. Karena atsar tersebut menjelaskan tentang amalan kebanyakan para shahabat dalam hal khitan ini dan menunda hingga anak mencapai usia baligh. Dan tidak ragu lagi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah hidup bersama mereka. Maka kalau saja perbuatan mereka tersebut menyelisihi syari’at, tentu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal ini kepada mereka. Sehingga hal ini merupakan indikasi yang mengalihkan perintah tersebut dari bersegera melakukannya. Hanya saja masih tetap ada wajibnya perintah ini, maka tidak boleh untuk menunda khitan tersebut sampai melebihi usia baligh.
Al-‘Allamah Al-Mawardi sebagaimana disebutkan di dalam Fathul Bari (10/342) berkata: Dalam hal khitan ada dua waktu; yaitu waktu wajib dan waktu sunnah. Waktu wajib adalah ketika baligh dan waktu sunnah adalah sebelumnya. Yang terbagus adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran. Dan disukai agar tidak menunda dari waktu sunnah kecuali karena udzur.
Berkata Al-Haitsami di dalam Az-Zawajir (2/163):
“Yang benar bahwasanya jika kami menyatakan wajibnya khitan berarti meninggalkannya tanpa udzur adalah suatu kefasikan. Maka pahamilah bahwa pembicaraan hal ini hanyalah berkisar pada khitan bagi kaum pria bukan kaum wanita. Sehingga kaum pria dikatakan melakukan perbuatan fasiq dengan meninggalkan khitan ini. Dan jika perbuatan ini dikatakan sebagai kefasiqan, berarti itu merupakan dosa besar.”
Hiburan dalam Acara Khitanan
Dari Ummu ‘Alqamah ia menceritakan:
Bahwa keponakan perempuan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dikhitan. Maka ada yang berkata kepada ‘Aisyah: “Bolehkah kami memanggil untuk mereka orang-orang yang memberikan hiburan?”
Maka beliau menjawab” Ya boleh.”
Lalu aku menyuruh agar dipanggilkan ‘Udi. Karena ia adalah seorang yang memiliki banyak sya’ir. Maka datanglah ia kepada mereka. Ketika ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha lewat di rumah kami, maka beliau melihat ‘Udi sedang bernyanyi seraya menggoyang-goyangkan kepalanya dengan riang. Berkatalah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha seketika itu: “Ih! Syaithan itu! Usir dia! Usir dia!”
Hadits hasan, dikeluarkan oleh Imam Bukhari di dalam Al-Adabul Mufrad (1247).1
Maka hadits ini menjelaskan kepada kita tentang disyari’atkannya hiburan untuk anak yang dikhitan dalam acara khitanan, dengan tujuan agar ia melupakan rasa sakit yang dirasakannya dengan sebab khitan tersebut. Dan ini merupakan kesempurnaan perhatian syari’at kepadanya. Maka demikian itulah para salafush shalih radhiyallahu ‘anhum.
Akan tetapi sebaliknya, tidak boleh berlebih-lebihan dalam hiburan ini seperti apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang beupa nyanyian dengan alat-alat music dan melalukan walimah (makan-akan/pesta) maupun yang lain yang tidak dibiarkan oleh syari’at kita yang toleran ini.
Walimah Khitan
Tidak disyari’atkan walimah (pesta/makan-makan) dalam acara khitanan, karena tidak adanya nash yang enetapkannya. Bahkan ada atsar dari seorang shahabat, yaitu ‘Utsman bin Abil ‘Ash radhiyallahu ‘anhu yang mengingkari perbuatan ini. Dari Al-Hasan ia berkata:
دُعِيَ عُثْمَانُ بْنُ أَبِي الْعَاصِ إِلَى خِتَانٍ فَأَبِى أَنْ يُجِيبَ فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ إِنَّا كُنَّا لا نَأْتِي الْخِتَانَ عَلَى عَهدِ رَسُولِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلا نُدْعى لَهُ
‘Utsman bin Abil ‘Ash pernah diundang untuk mendatangi acara khitanan. Maka beliau tidak mau mendatanginya. Lalu ada yang menanyakan hal itu kepadanya. Maka beliau menjawab: “Sesungguhnya kami dulu tidak pernah mendatangi acara khitanan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah pula beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diundang (untuk mendatanginya).”
Hadits ini dha’if, diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya (4/217) dan Imam Thabrani di dalam Al-Kabir (9/48). Juga dibawakan oleh Al-Haitsami di dalam Al-Majma’ (4/60) dan beliau mengatakan: Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Thabrani di dalam Al-Kabir. Dan di dalam sanadnya ada Ibnu Ishaq. Ia seorang yang tsiqah tetapi melakukan tadlis.
Meskipun atsar di atas tidak tsabit (tidak pasti shahih) dari sisi sanad, akan tetapi itulah hukum asalnya. Karena khitan adalah hukum syari’at. Maka segala apa yang ditabahkan kepadanya (dikaitkan dengannya) harus ada dalil baik dari Al-Qur’an atau As-Sunnah. Sedangkan walimah khitan (pesta/makan-makan yang berkaitan dengan khitan) merupakan sesuatu yang ditambahkan kepada acara khitan dan dikaitkan dengannya. Maka mengkaitkan acara ini butuh kepada dalil. Walahu a’lam.
Footnote:
1Berkata syaikh kami dan ustadz kami Syaikh Muhammad ‘Id Al-‘Abbasi atsabahullah: “Sanad hadits ini hasan, rawi-rawinya tsiqah kecuali Ummu ‘Alqamah yang bernama Murjanah. Al-Hafidz di dalam At-Taqrib berkata: Ia maqbulah (diterima riwayatnya), yakni ketika ada yang mengikuti. Akan tetapi ia seorang wanita tabi’iyah, di mana ada dua orang tsiqah yang meriwayatkan darinya; yaitu putranya sendiri ‘Alqamah dan Bakir bin Abdilah Al-Asyaj. Maka seorang rawi yang demikian itu keadaannya dianggap hasan haditsnya. Sebagaimana amalan yang telah berlaku pada kebanyakan ahli hadits seperti Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Syaikh Al-Albani.”
Kami katakan: Sebelum mereka berdua adalah Al-Hafizh Imam Dzahabi dan Al-Hafizh Ibnu Rajab maupun Al-Hafizh Ibnu Katsir.
Syaikh Al-Albani berkata tentang hadits ini di dalam Ash-Shahihah (2/538): “Sanadnya masih mungkin untuk dinyatakan hasan. Karena rawi-rawinya tsiqah kecuali Ummu ‘Alqamah ini. Nama adalah Murjanah dan dinyatakan tsiqah oleh Al-‘Ajli maupun Imam Ibnu Hibban. Juga telah meriwayatkan darinya dua orang rawi yang tsiqah.”
Kami katakana: “Sungguh Al-Hafizh telah menyebutkan bahwa Imam Bukhari menyebutkan haditsnya di dalam bab haidh. Akan tetapi Imam Dzahabi membawakannya di dalam Al-Mizan (747) termasuk di antaranya wanita-wanita yang majhul (tidak dikenal).

Dari hadis di atas dapat diketahui bahwa masyarakat Madinah terjadi suatu khitan perempuan. Nabi Muhmmad saw. Memberikan wejangan kalau mengkhitan jngan terlalu menyakitkan karena hal tersebut bias mengurangi nikmat seksual. Tidak dijelaskan siapa yang terlibat dalam kegiatan khitan perempuan tersebut baik yang di khitan ataupun orang yang mengkhitan.
Informasi lain didapatkan bahwa khitan merupakan bagian dari fitrah manusia. Sedangkan fitrah manusia yang lain adalah mencukur bulu di sekitar kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.
حدثنا أحمد بن يونس: حدثنا إبراهيم بن سعد: حدثنا ابن شهاب، عن سعيد بن المسيَّب، عن أبي هريرة رضي الله عنه:
سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (الفطرة خمس: الختان، والاستحداد، وقص الشارب، وتقليم الأظفار، ونتف الآباط).[14]
Diceritakan dari Ahmad ibn Yunus, diceritakan dari Ibrahim ibn Sa’id, diceritakan dari ibn Syihab, dari Sa’id ibn Musayyab, dari Abu Hurairah r.a. mendengar bahwaswanya Rasulullah saw berabda, fitrah itu ada lima macam yaitu, khitan, menvukur bulu di sekitar kemaluan, memotong kumis, memotong kuku dan mencukur bulu ketiak.
Istilah khitan lazim digunakan oleh fuqoha’ dalam berbagai term, khususnya jika dihubungkan dengan masalah salah satu sebab yang menyebabkan seseorang mandi setelah berhubungan badan. Jika telah bertemu dua khitan, maka telah wajib mandi. Hal tersebut sesuai dengan hadis Nabi Muhammad saw:
أخبرنا مالك حدثنا الزهري عن سعيد  بن المسيب: أن عمر وعثمان وعائشة كانوا يقولون: إذا مس  الختان الختان فقد وجب الغسل [15]
Diceritakan dari Malik diceritakan dari Zuhri dari Sa’id ibn Musayyab, sesungguhnya Umar, Usman dan Aisyah ketiganya berkata jika telah bertemu dua khitan maka sungguh telah wajib mandi.

Berdasarkan informasi diatas, maka perlu untuk mengadakan penelitian secara jauh tentang keberdaan hadis-hadis tentang khitan. Sebagaimana diketahui, bahwa hadis telah disepakati oleh ulama sebagai dalil hukum. Sebagai sumber ke dua setelah Al-Qur’an, hadis memiliki perbedaan dengan Al-Qur’an. Salah satu perbedaannya adalah terletak dari periwayatannya. Al-Qur’an seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir sedangkan tidak semua hadis diriwayatkan secara mutawatir.[16] Kecuali terhadap hadis mutawatir, terhadap hadis ahad kritik tidak saja kepada sanad tetapi juga terhadap matan. Di samping itu, dalam perspektif historis terngkap tidak seluruh hadis tertulis di zaman Nabi Muhammad saw. Adanya pemalsuan hadis yang disebabkan adanya perbedaan madzhab dan aliran. Proses penghimpunan hadis memakan waktu yang lama, jumlah kitab hadis dan metode penyusunannya yang beragam serta adanya periwayatan al-ma’na.[17]
Dari upaya di atas, akan di dapatkan mana hadis yang di jadikanhujjah dan mana yang tidak . dilakukan analisis tentang ada tidaknya khitan dalam Islam melalui hadis tersebut dan dalil-dalil lain dengan di dukung kedokteran dan psikologis dari masyarakat, upaya pemahaman hadis dalam konteks kini. Pemahaman tersebut perlu dilakukan karena keberdaan khitan perempuan bukan merupakan suatu yang membawa kemaslahatan bagi perempuan melainkan kesengsaraan. Terutama, jika khitan tersebut dijadikan ajang sebagai pengebiran hasrat seksual perempuan. Hal inilah yang menyalahi  kodrat manusia yang diberi oleh tuhannya mempunyai naluri seksual.
Istilah khitan merupakan istilah yang lazim dipakai dalam masyarakat atas peristiwa atau prosesi pemotongan sebagian organ kelamin laki-laki dan perempuan. Term khitan sendiri berasal dari bahasa Arab. Secara etimologis, kata khitan mempunyai arti memotong. Sedangkan secara istilah khitan merupakan suatu pemotongan pada bagian tertentu atas alat kelamin laki-laki atau perempuan.[18]
Istilah-istilah lain yang sering disandarkan dengan khitan adalah khifad dan ‘izar. Terdapat perbedaan atas penggunan kedua istilah tersebut.[19] Term pertama khifad khusus diperuntukkan bagi khitan perempuan sedangkan ‘izar digunakan secara umum, tidak saja khitan perempuan melainkan juga atas khitan kaum laki-laki.
Secara kebahasan istilah khifad dapat diartikan dengan menurunkan atau merendahkan. Makna tersebut dapat diasumsikn bahwa tujuan dari khitan perempuan adalah adanya pnjagaan diri atas keperawanan perempuan sampai masa pernikahannya.
Di dalam dunia medis, istilah khitan tidak ditemukan. Khitan identik dengan sirkumsisi. Demikian jug di dalam masyarakat jawa istilah khitan lebih dikenal dengan tetes (netes) yang berarti menjelma, menyamai. Istilah yang lazim di gunakan di Sudan dan Mesir adalah khitan ala Fir’aun yang diadopsi dari bentuk khitan yang ada pada masa pemerintahan Ramses. Istilah lain yang acap kali ditemukan di berbagai  buku saat ini adalah Female Genital Mutlation (FGM) atau female circumsision yang keduanya merujuk kepada arti menghilangkan organ kelamin perempuan.
Orang yang mengkhitan biasanya seorang dukun. Istilah tersebut dalam bahasa Melayu dikenal dengan sebutan mudin, tukang sunat, dukun sunat. Adapun dalam bahas Sunda dikenal dengan bengkong dan paradji. Sedangkan di Jawa dikenal dengan calak, bong, dukun supit atau sekarang banyak juga ditangani para medis seperti dokter.
Pengertian khitan dapat diperoleh dalam gambaran  pendapat-pendapat ualma seperti Abd al Salam al-Sukari yang dimaksud dengan khitan laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang menutupi kepala penis sehingga tersingkat semuanya, sedangkan khitan perempuan dalah memotong bagian terbawah kulit yang terletak persis di vagina.
Sedangkan khitan perempuan dalam pandangan menurut Imam Mawardi adalah memotong klit yang berada di atas kemaluan perempun yang berada di atas tempat masuknya penis dan bentuknya menyerupai biji-bijian atau jengger ayam. Pengertian senada juga diungkap pemikir lainnya seperti Ibrahim Muhmmad Jalal. Lebih lanjut Mawardi mengemukakan tentang batasan yang harus dipotong dalam khitan perempuan yaitu paling tidak adalah bagian kulit yang menggelembir tanpa melenyapkan hingga akar-akarnya.[20]
Setelah melihat berbagai pandangan tentang istilah khitan dan berbagai pendapat ulama di atas, maka pada bagian lain dilaksanakan penelusuran secara komprehensif masalah khitan perempuan sebagaimana yang tergambar dalam hadis yang sedang di lakukan penelitian . Oleh karena itu, upaya ini berupaya memahami pesan yang dibawa oleh Rasulullah saw. Dalam konteksnya pada masa dahulu dengan tanpa memberikan interpretasi lain kecuali secara historis dan sosiologisnya. Karena kedua hal tersebut merupakan suatu yang lazim dijadikan pedoman dalam menyusun suatu hukum.
Hadis-hadis tentang khitan perempuan terdapat tema pokok yang menjadi bahasan  teks hadis. Ketiga pokok bahasan hadis tentang khitan perempuan adalah:
1.      Gambaran atas tradisi khitan perempuan pada masa Nabi Muhammad saw.
2.      Khitan merupakan bagian dari fitrah (kesucian).
3.      Wajibnya mandi jinabat karena bertemunya dua khitan.

Faedah dari khitan
Faedah khitan telah terbukti secara klinis dan medis setelah tersebarnya hasil penelitian-penelitian yang menjelaskan bahwa zakar yang tidak dikhitan dapat mendatangkan bermacam-macam penyakit kelamin, seperti syphilis, kencing nanah (gonorrhea), hingga kanker pucuk penis yang merupakan kanker paling ganas.
Penyakit-penyakit tersebut pada umumnya timbul karena menggumpalnya kotoran-kotoran bakteri, amoeba, dan jamur di antara pucuk kemaluan dan kulit yang menutupinya (yang biasanya disebut dengan kulup). Kulup inilah yang oleh Rasulullah saw diperintahkan untuk dihilangkan denga cara khitan ketika masa kecil. Karena kulup yang menutupi kepala penis merupakan tempat berkumpulnya kotoran dn najis yang timbul dari keringat, maupun cairan produksi kelenjar-kelenjar lemak dan sisa-sisa kencing yang sulit dihilangkan. Kulup juga dapat menjadi tempat timbulnya gatal yang menjadi sebab berbagai penyakit. Bahkan kulup juga menjadi tempat timbulnya bau yang tidak sedap.
Virus penyebab sakit ini berpindah dari kulup, pucuk kemaluan, saluran kencing (urethra), kemudian  menuju kandung kemih, dan berindah kebuah pinggang, atau melalui jalan lain yaitu dari prostat menuju kedua buah pelir dan urung-urung (epididymis), kemudian merusak keduanya hingga bias mengakibatkan kemandulan, bahkan dapat menimbulkan rasa sakit dan nyeri yang hebat. Dan ketika orang yang terserang penyakit ini menikah, ia dapat menularkan penyakitnya kepada isterinya dengan sangat mudah sehingga dapat menyebabkan peradangan di rahim, leher rahim, dan kelenjar Bartolin yang menyebabkan penyakit yang disebut radang Bartolintis. Ia kadang bias sampai ke rahim dan menyebabkan kanker. Ia juga bias menyebabkan kemandulan penuh pada wanita, disamping rasa sakit akibat radang yang kronis dan hebat beserta penanahannya di bagian-bagian tubuh yang paling sensitive.
Oleh karena itu, khitan bagi suami memiliki peran yang besar dalam melindunginya dari beragam penyakit, sekaligus melindungi isteri dari berbagai macam radang pada organ reproduksi. Puncaknya, radang-radang tersebut dapat menyebabkan penyakit-penyakit gawat, seperti kanker rahim yang tersebar luas dikalangan wanita tunasusila dengan tingkat epidemic yang mengerikan.
Hal-hal seperti itulah yang memaksa para penderita penyakit untuk melakukan khitan, walaupun pada awalnya hanya untuk mencari kesembuhan, bukan untuk mengikuti sunnah Nabi saw, seperti orang-orang yang mengidap penyakit bawaan seperti sempit kulup atau melekatnya kulup pada pucuk kemaluan yang dapat menyebabkan kesulitan buan air kecil. Para dokter telah memperingatkan banyaknya penyakit pada organ reproduksi laki-laki yang tidak dikhitan pada umumnya.[21]
Tradisi khitan telah ditemukan jauh sebelum Islam datang.[22]Berdasarkan penelitian etnolog menunjukan bahwa khitan sudah pernah dilakukan masyarakat pengembala di Afrika dan Asia Barat Daya, suku Semit ( Yahudi dan Arab )dan Hamit.[23] Mereka yang dikhitan tidak hanya laki-laki, tetapi juga kaum perempuan, khususnya kebanyakan dilakukan suku negro di Afrika Selatan dan Timur.[24]dengan demikian, khitan merupakan sesuatu yang lazim dilaksanakan baik untuk laki-laki maupun perempuan. Khitan bagi laki-laki dirasakan banyak manfaatnya. Namun, tidak dengan perempuan. Khitan atas perempuan menyisakan kepedihan karena merugikan perempuan. Bahkan, menurut kepala Rumah Sakit Islam Yordania menghukuminya haram.
Lahirnya kebiasaan tertentu di duga sebagai imbas atas kebudayaan totemisme.[25] Dalam kata lain, menurut Munawar Ahmad Anees, tradisi khitan di dalamnya terdapat perpaduan antara mitologi dan keyakinan agama. Apa yang dikatakan Anees di atas ada benarnya, walaupun dalam ritus agama Yahudi, khitan bukan mereupakan ajaran namun kebanyakan masyarakat mempraktekannya. Hal senada juga sama dengan yang terjadi di masyarakat Kristen.

Pendapat ulama fuqoha tentang khitan
Sedangkan menurut redaksi yang lain khitan secara umum adalah tradisi masa lalu.[26] Demikianlah yang dikatakan oleh para sejarawan yang membahas peradaban Mesir. Seorang gadis pada zaman Mesir kuno dikhitan sebagaimana dikatakan oleh sejarawan bernama Strabo. Para gadis juga dikhitan di kalangan Arab sebelum Islam. Wanita yang paling terkenal yang di khitan pada saat itu bernama Ummu Anwar sebagaimana tercantum dalam shahih Bukhari dalam pembahasan terbunuhnya Hamzah.
Kesimpulan pendapat para fuqaha terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:
1.      Khitan hukumnya sunnah yang berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Ini adalah pendapat imam Malik dalam sutu riwayat dan Abu Hanifah. Diriwayatkan dari Abu Hanifah yang berkata: ‘hukumnya wajib dan bukan fardlu’. Sebagaimana diriwayatkan dari Imam Malik bahwa hukumnya fardhu. Beberapa pengikut Imam Syafi’I berpendapat fardhu juga.
2.      Khitan hukumnya wajib yang berlaku bagi laki-laki dan wanita semuanya. Ini adalah madzhab Imam Syafi’I dan banyak ulama. Pendapat ini adalah pendapat Sahnun dari ulama Malikiyah dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad.
3.      Khitan hukumnya wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi wanita. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa pengikut Imam Syafi’i. ini juga pendapat madzhab Imam Ahmad. Dan ada yang mengatakan bahwa bagi wanita, khitan merupakan suatu kemuliaan.
Dalil dari masing-masing pendapat telah di dijelaskan dalam jilid keempat dalam ensiklopedia “keluarga dalam naungan Islam” dengan mengambil berbagai refrensi. Setelah mengemukakan dalil-dalil dan mendiskusikannya, jelas bahwa dalil yang mewajibkan khitan bagi wanita banyak mendapatkan kritikan.

analisis Sosio-Historis
Dari tiga pokok tema diatas hadis pertama yang menjelaskan tradisi khitan perempuan pada masa Nabi Muhammad saw. Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa ada seorang perempuan yang di khitan di Madinah. Melihat hal tersebut, maka Nabi Muhammad saw. Memberikan wejangan agar kalau memotong/mengkhitan jangan terlalu banyak. Hal tersebut dapat mengakibatkan kurangnya nikmat dalam hubungan seksual. Dengan demikian, secara tidak langsung Nabi Muhammad saw. Melarang khitan perempuan yang tujunnya adalah menyakiti perempuan seperti upaya pengebiran terhadap nafsu atau hasrat seksual. Di lain sisi, Nabi Muhammad saw. Melakukan koreksi terhadap yang sudah ada.[27]
Upaya Nabi Muhammad saw. Tersebut merupakan suatu yang lazim dilakukan manakala Nabi Muhammad saw. Masih hidup. Di mana, jika terjadi sebuah persoalan yang membutuhkan jawaban maka Rasulullah saw. Memberikan jawabannya secara langsung. Dalam hal ini juga berlaku terhadap masalah khitan perempuan. Walaupun Nabi Muhammad saw. Mengangap persoalan khitan perempuan sebagai suatu kemuliaan namun kebiasan khitan perempuan harus disesuaikan dengan sifat-sifat kemanusiaan yang harus senantiasa dijaga yakni agar dapat memenuhi hasrat libidonya dengan baik tanpa adanya pengekang dan pengebiran.
Melihat  kualitas hadis yang dha’if, yang disebabkan dengan adanya periwayat yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dalam kegiatan tranmisi hadis, maka apa yang digambarkan dalam hadis tersebut belum tentu menjadi sebuah tradisi yang lazim dilakukan pada masa itu. Apalagi jika dikaitkan dengan sosok siapa yang melakukan khitan pan pengkhitannya tidak jelas dengan baik. Apakah isteri-isteri Nabi Muhammad saw. Melakukan khitan ataukah putri beliau juga demikian melakukan nya? Data-data tersebut tidak dapat dengan mudah diketahui dengan hanya melihat hadis tersebut. Oleh karena itu, perlu eksplorasi lebih jauh tentang sejarah social kemasyarakatan pada zaman Nabi Muhammad saw. Termasuk di dalamnya tentang masalah khitan perempuan. Tidak ada data yang mengungkapkan tentang khitan perempuan tersebut dilakukan di sekitar orang-orang yang dekat dengan Nabi seperti anak-anak Nabi, isteri Nabi dan sahabat terdekat Nabi Muhammad saw. Sebagaimana tergambar dalam hadis pertama yang dijadikan penelitian tidak shahih atau bernilai da’if. Oleh karena itu, gambaran adanya trdisi tersebut sangatlah minim untuk bisa menggambarkan tradisi khitan perempuan pada masa Nabi Muhammad saw.



Analisis Ensiklopedia
Hadis-hadis yang perlu dicermati dalam masalah khitan perempuan adalah tentang sinyalemen Nabi Muhammad saw. Yang mewajibkan umatnya untuk mandi jinabat (mandi wajib  yang disebabkan sesuadah bersenggama). Istilah yang digunakan dalam redaksi hadis tersebut adalah bertemunya dua khitan (khitanani). Apakah secara tidak langsung Nabi Muhammad saw. Mengatakan bahwa wanita melakukan khitan? Tidak ada informasi yang mendukung atas kejadian diwahyukannya hadis tersebut. Pada hal, masalah tersebut merupakan masalah yang penting untuk diungkapkan sebagai Nabi Muhammad saw. Melarang juru khitan perempuan untuk tidak mengkhitan secara berlebihan.
Redaksi khitanani tidak serta merujuk dua-duanya dikhitan baik laki-laki maupun perempuan. Ungkapan seperti itu lazim digunakan dalam bahasa Arab untuk menyebut sesuatu dari dua perkara dengan nama yang popular dari salah satunya atas dasar yang biasa digunakan, seperti istilah العمران  yang berarti Abu Bakar dan Umar, المران yang berarti matahari dan bulan. Demikian juga istilah yang merujuk kepada laki-lki lebih dimenangkan  dari perempuan seperti الأبواب yang artinya ayah dan ibu. Atau dapat juga digunakan sesuatu yang lebih besar keadaannya, seperti dalam Q.S.Fatir (35): 12:
وما يستوي البحران هذا عذب فرات سائغ شرابه وهذا ملح أجاج ومن كل تأكلون لحما طريا وتستخرجون حلية تلبسونها وترى الفلك فيه مواخر لتبتغوا من فضله ولعلكم تشكرون[28]
Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur.
Dalam ayat tersebut diungkap sungai (nahr) yang pertama dan yang kedua lautan yang hakiki. Ungkapan tersebut juga ditemukan dalam bentuk pernyataan isteri Nabi Muhammad saw. Umm al-Mu’min Aisyah r.a. sebagaimana disebutkan dalam Muwatta’ Imam Malik. Hadis tersebut dikenal dengan hadis mawquf. Di dalam hadis tersebut lagi-lagi hanya menggambarkan pentingnya mandi jinabat ketika seseorang telah melakukan hubungan intim dengan suaminya. Demikian juga tidak diungkap tentang prilaku sahabat perempuan disekitar Nabi Muhammad saw. Apakah melakukan khitan atau tidak. Dengan demikian, khitan perempuan ini bukan merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan oleh setiap perempuan sebagaimana yang sering dipahami oleh masyarakat awam yang terpelihara sampai saat ini. Oleh karena itu , hadis tersebut walaupun sahih dari sanad dan matannya namun tidak dapat dijadikan hujjah.
Informasi lainnya tentang masalah khitan perempuan sebagaimana dimunculkan dalam hadis kedua dalam penelitian diatas, maka istilah yang dipergunakan khitan bagian dari fitrah masih terbilang umum dan abstrak. Istilah yang digunakan dalam hadis tersebut tidak menunjukan adanya khitan perempuan secara spesifik. Adanya praktek khitan perempuan pada masa Nabi Muhmmad saw.

  
DAFTAR PUSTAKA
M.Abdurrahman, Elan Sumarna, metode kritik hadis, bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.

Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi AD Damsyiqi, Asbabul Wurud 1Jakarta: Kalam Mulia, 2006.

Zaghlul An-Najjar, sains dalam hadis, Jakarta:Amzah, 2011.

Abdullah Nasih Ulwan, pendidikan anak dalam islam, Jakarta: pustaka Amani, 1999.

Jalaluddin, telaah pendidikan terhadap sunah Rasulullah saw, Jakarta:grafindo persada, 2000.

Abu Dawud, Bab ma ja,a fil khitan, Beirut: maktabah syamilah.

Sahih Bukhari, Bab Taqlimul Adfar,beirut:maktabah syamilah.
Imam Malik, Bab Idzal Taqol Khitan, Beirut: maktabah syamilah.

M. Syuhudi Ismail, metode penelitian hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

M. Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis Dari Teks dan Konteks, Yogyakarta:teras 2009.

Syeikh Athiyah Shaqr, fatwa kontemporer seputar dunia remaja, Jakarta: Amzah, 2003.


0 komentar:

Posting Komentar