SELAMAT DATANG DI BLOG GURU NGAJI YGNI

Guru Ngaji YGNI ada untuk pengembangan dakwah lewat pendidikan Diniyah Formal dan Formal serta pemberdayaan masyarakat.

GURU NGAJI YGNI DAN LAZISWAQ YGNI

Anda Peduli Pendidikan Diniyah buat anak anak di desa dan kampung-kampung salurkan bantuan ke LAZISWAQ YGNI BRI : 6602-01-007030-53-9 AN.Yayasan YGNI.

SAVE PALESTINE-SYURIAH-AFGHANISTAN

Indonesia dicap Sebagai Negara Kafir tapi Paling Giat Membela Palestina Merdeka, Arab Diakui Sebagai Pusat Manhaj Sunnah tapi lembek Membla Saudaranya.

ANDA MUSLIM REAKTIF ? KENAPA TIDAK AKTIF ? KALAU ADA PEMURTADAN BARU RIBUT

Kalau ada non muslim peduli terhadap permasalahan lingkungan baik pendidikan ,Sosial ekonomi dan lainnya anda katakan sebagai pemurtadan tapi anda sendiri tidak peduli terhadap mereka, Itulah Islam Reaktif

KAPAN ANDA PEDULI TERHADAP DAKWAH DAN DHUAFA ?

Uang dan harta anda sering digunakan secara berlebihan bahkan mubazir kenapa tidak untuk menolong sesama.

Selasa, 27 Januari 2015

Bacaan Niat Zakat

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri … sebagai makanan bagi orang miskin ….” (Hr. Abu Daud; dinilaihasan oleh Syekh Al-Albani)

Ketentuan :
  1. Besarnya zakat fitrah adalah 2.5 kg
    Atau menurut Abu Hanifah, boleh membayarkan sesuai dengan harga makanan pokok
  2. Orang yang wajib membayar zakat fitrah
    Semua muslim tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, bayi, anak-anak dan dewasa, kaya atau miskin (yang mempunyai makanan pokok lebih dari sehari)
  3. Waktu mengeluarkan zakat fitrah :
    Boleh diberikan awal bulan Ramadhan, tetapi wajibnya zakat fitrah diberikan menjelang Sholat Idul Fitri atau tenggelamnya matahari di akhir bulan Ramadhan
1. Niat zakat Fitrah untuk diri sendiri

    نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِىْ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

    NAWAITU AN-UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI ‘ANNAFSII FARDHAN LILLAHI TA’AALAA
    Sengaja saya mengeluarkan zakat fitrah atas diri saya sendiri, Fardhu karena Allah Ta’ala

    2. Niat zakat Fitrah untuk Istri 

   نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ زَوْجَتِيْ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

    NAWAITU AN-UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI ‘AN ZAUJATII FARDHAN LILLAHI TA’AALAA
    Sengaja saya mengeluarkan zakat fitrah atas istri saya, Fardhu karena Allah Ta’ala

    3. Niat zakat Fitrah untuk anak laki-laki atau perempuan

    نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ وَلَدِيْ… / بِنْتِيْ… فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

    NAWAITU AN-UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI ‘AN WALADII… / BINTII… FARDHAN LILLAHI TA’AALAA
    Sengaja saya mengeluarkan zakat fitrah atas anak laki-laki saya (sebut namanya) / anak perempuan saya (sebut namanya), Fardhu karena Allah Ta’ala

    4. Niat zakat Fitrah untuk orang yang ia wakili

    نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ (…..) فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

    NAWAITU AN-UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI ‘AN (……) FARDHAN LILLAHI TA’AALAA
    Sengaja saya mengeluarkan zakat fitrah atas…. (sebut nama orangnya), Fardhu karena Allah Ta’ala

    5. Niat zakat Fitrah untuk diri sendiri dan untuk semua orang yang ia tanggung nafkahnya

    نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنِّىْ وَعَنْ جَمِيْعِ مَا يَلْزَمُنِىْ نَفَقَاتُهُمْ شَرْعًا فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

   NAWAITU AN-UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI ‘ANNII WA ‘AN JAMII’I MAA YALZAMUNII NAFAQAATUHUM SYAR’AN FARDHAN LILLAHI TA’AALAA
    Sengaja saya mengeluarkan zakat atas diri saya dan atas sekalian yang saya dilazimkan (diwajibkan) memberi nafkah pada mereka secara syari’at, fardhu karena Allah Ta’aala.(*)

Selasa, 20 Januari 2015

Syarat Wajib Zakat

ZAKAT merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.
Salah satu pilar penting Islam adalah zakat, karena ia bukan semata ibadah yang berdimensi individual namun juga sosial. Ia merupakan instrumen penting pemerataan pendapatan, jika zakat dikelola dengan baik dan profesional. Karena dengan zakat, harta akan beredar dan tidak berakumulasi di satu tangan orang-orang kaya (Al-Hasyr: 7) Artinya: “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.
Kewajiban mengeluarkan zakat disebutkan sebanyak 36 kali dalam Al-Quran, dua puluh kali diantaranya digandengkan dengan kewajiban menunaikan shalat. Secara kebahasaan, zakat berasal dari kata zaka yang berarti tumbuh dan berkembang. Bisa juga zakat itu berarti suci, bertambah, berkah, dan terpuji. Secara terminologi, zakat berarti: Sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak, di samping berarti mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri (Hukum Zakat: Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Litera Antar Nusa dan Mizan, 1996).
Zakat merupakan sarana paling tepat dan paling utama untuk meminimalisir kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, sebagai satu bentuk sikap dari saling membantu (takaful) dan solidaritas di dalam Islam (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Zuhaili, Daarul Fikr, jilid II, hal.732).
Diantara hikmah zakat menurut Al-Qaradhawi adalah sebagai bentuk pembersihan dan penyucian, baik material maupun spiritual, bagi pribadi orang kaya dan jiwanya, atau bagi harta dan kekayaannya (Hukum Zakat, hal 848). Zakat adalah refleksi keimanan seseorang kepada Allah swt. dan sebagai ungkapan syukur atas nikmat yang dikaruniakan Allah kepadanya (Ibrahim: 7).
Ia juga menjadi sarana penolong dan pembantu bagi para mustahiq ke arah kehidupan yang lebih baik dan sebagai pilar amal bersama antara pejuang yang tidak mampu dengan orang-orang kaya (Al-Baqarah : 278). Surat Al Baqarah Ayat 278: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”.
Zakat merupakan sumber dana bagi pembangunan sarana dan prasarana yang harus dimiliki oleh umat Islam. Seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan maupun sosial dan ekonomi kaum muslimin. Dalam zakat terdapat dimensi sosialisasi cara berbisnis yang benar. Sebab, zakat bukanlah memberikan harta yang kotor, akan tetapi mengeluarkan harta hak orang lain dari harta kita yang kita usahakan dan peroleh dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan dan hukum Allah (Al-Baqarah: 267).
Surat Al Baqarah Ayat 267: Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
Dalam zakat ada indikasi bahwa Islam mendorong umatnya untuk bekerja keras mendapatkan harta. Sebab, hanya mereka yang memiliki harta yang bisa mengeluarkan zakat. Zakat yang dikelola dengan baik akan mampu membuka lapangan kerja dan usaha yang luas sekaligus penguasaan aset-aset umat Islam (Zakat dalam Perekonomian Modern, Dr. Didin Hafidhuddin, Gema Insana Press, 2002).
Dalam pandangan Al-Qardhawi, zakat merupakan ibadah maliyah ijtimaiyyah, yaitu ibadah di bidang harta benda yang memiliki fungsi strategis, penting, dan menentukan dalam membangun kesejahteraan masyakarat. Zakat akan melahirkan dermawan yang suka memberi, bukan sosok yang menggerogoti. Seorang muzakki akan terhindar dari sifat kikir yang merupakan “virus ganas” dan penghambat paling utama lahirnya kesejahteraan masyarakat.
Zakat akan menjadi obat paling mujarab untuk tidak menjadi hamba dunia dalam kadar yang melewati batas. Ia akan mengingatkan kita bahwa harta itu adalah sarana dan bukan tujuan hidup kita.
Para muzakki akan memiliki kekayaan batin yang sangat tinggi, sehingga dia akan menjadi manusia yang sebenarnya. Manusia yang suka meringankan beban orang lain, yang memiliki kedalaman cinta pada sesama dan simpati pada manusia. Tentunya, zakat pasti akan membuat harta kita berkembang dan penuh berkah.
Bagi si penerima (mustahiq), zakat memiliki arti yang penting. Karena dengan zakat, dia menjadi terbebas dari kesulitan-kesulitan ekonomi yang sering kali menjerat langkah dan geraknya. Dengan zakat, akan muncul rasa persaudaraan yang semakin kuat dari mereka yang menerima. Sebab, mereka merasa “diakui” sebagai bagian dari “keluarga besar” kaum muslimin yang tidak luput dari mata kepedulian kaum muslimin lain, yang Allah beri karunia berupa harta.
Dengan demikian, tidak akan muncul sifat dengki dan benci yang mungkin saja muncul jika orang yang kaya menjelma menjadi sosok apatis dan tidak peduli kepada orang-orang yang secara ekonomis tidak beruntung. Ini adalah praktik langsung dari apa yang Rasulullah saw. sabdakan, “bahwa seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya” (HR. Bukhari-Muslim)
Tak ada yang menyangkal bahwa zakat memiliki dampak sosial yang sangat penting dan akan mampu menjadikan masyarakat terberdayakan. Karena zakat merupakan salah satu bagian dari aturan Islam yang tidak dikenal di Barat, kecuali dalam lingkup yang sempit, yaitu jaminan pekerjaan. Jaminan pekerjaan dengan menolong kelompok orang yang lemah dan fakir.
Zakat bukan hanya memberikan jaminan kepada orang-orang miskin kaum muslimin, namun ia juga bisa disalurkan kepada semua warga negara apa saja yang berada di bawah naungan Islam. Seperti yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Saat itu, zakat diberikan oleh Umar kepada orang-orang Yahudi yang meminta-minta dan berkeliling dari pintu ke pintu. Umar memerintahkan agar dipenuhi kebutuhannya dengan mengambil dari Baitul Mal kaum muslimin (Hukum Zakat: 880).
Dengan zakat, akan lahir manusia-manusia mandiri, manusia-manusia suka bekerja, dan tidak suka meminta-minta. Zakat akan mempersempit kelompok manusia miskin dan akan menumbuhkan gairah manusia untuk menjadi muzakki dan bukan mustahiq. Kesadaran untuk berzakat, akan mendorong setiap muslim bekerja dalam batas optimal, dan akan memposisikan diri sebagai “sumber kebaikan” bagi yang lain.
Munculnya lembaga-lembaga zakat profesional di Indonesia saat ini, telah memberikan harapan besar bagi usaha pemerataan distribusi harta kekayaan dan meminimalisasi kemiskinan dan penderitaan yang banyak diderita masyarakat. Munculnya Rumah Zakat, Dompet Dhuafa’ (DD) Republika, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), Dompet Sosial Ummul Qura (DSUQ), Baitula Maal Muamalat telah terbukti memberikan seberkas cahaya penyelamatan berarti untuk beberapa orang tak mampu.
Harapan pemberdayaan dan keberdayaan ini akan semakin cerah dan terbuka, jika kita umat Islam semakin sadar untuk mengeluarkan zakat. Bulan Ramadhan kali ini, merupakan saat yang tepat untuk melipatgandakan kesadaran itu. Semoga kita berhasil. Amien.
Setiap individu yang ingin membayar zakat harus di ambil kira syarat wajib zakat yang perlu difahami dan dipenuhi sebelum membuat taksiran. Syarat-syarat tersebut ialah:
  1. ISLAM-Zakat hanya dikenakan kepada orang-orang Islam saja.
  2. MERDEKA-Syarat ini tetap dikekalkan sebagai salah satu syarat wajib.
  3. SEMPURNA MILIK-Harta yang hendak dizakat hendaklah dimiliki dan dikawal sepenuhnya oleh orang Islam yang merdeka. Bagi harta yang berkongsi antara orang Islam dengan orang bukan Islam, hanya bahagian orang Islam sahaja yang diambil kira di dalam pengiraan zakat.
  4. HASIL USAHA YANG BAIK SEBAGAI SUMBER ZAKAT-Para Fuqaha’ merangkumi semua pendapatan dan penggajian sebagai “Mal Mustafad” iaitu perolehan baru yang termasuk dalam taksiran sumber harta yang dikenakan zakat.
  5. CUKUP NISAB-Nisab adalah paras minimum yang menentukan sesuatu harta itu wajib dikeluarkan atau tidak. Nisab menggunakan nilai emas harga semasa iaitu 20 misqal emas bersamaan 85 gram emas atau 196 gram perak.
  6. CUKUP HAUL-Bermaksud genap setahun yaitu selama 354 hari mengikut tahun Hijrah atau 365 hari mengikut tahun Masihi. Dalam zakat pendapatan, jangka masa setahun merupakan jangkamasa mempersatukan hasil-hasil pendapatan untuk pengiraan zakat pendapatan.
sumber rujukan

Selasa, 13 Januari 2015

Cara dan Niat Sholat Ied

Cara Mengerjakan Shalat Hari Raya Idul Fitri:

1. Pada pagi hari tanggal 1 Syawal, sesudah kita menunaikan shalat subuh dan sesudah kita mandi sunah Hari Raya, lalu berangkat lah menuju masjid atau tanah lapang dengan memperbanyak mengucapkan takbir.
2. Setelah tiba di masjid, maka sebelum duduk shalat tahiyatul-masjid dua raka’at. Kalau di tanah lapangan tidak ada tahyatul masjid, hanya duduklah dengan ikut mengulang ulang bacaan takbr,sampai mulai shalat ‘Id
3. Lafazh niatnya sebagai berikut:
“Ushallii sunnatal-’iidiil-fitri rak’ataini lillahi ta’alaa”
Jika shalat ‘Idul Adha:
“Ushalii sunnatal-’iidiil-Adha rak’ataini lillahi ta’alaa
4. Pada raka’at pertama: sesudah niat mula mula membaca takbiratul ihram kemudian membaca doa iftitah. Selanjutnya takbir 7 kali da setiap habis takbir disunahkan membaca:
“Subhaanallah wal-hamdu liillaah wa laa ilaaha illallaah wallaahu akbar”
Setelah takbir 7 kali dan membaca tasbih tersebut. Kemudian membaca surat Al-Fatihah dan disambung dengan membaca surat yang disukai, dan lebih utama membaca surat Qaf atau surat Al-A’la (Sabbihisma Rabbikal-a’laa)
5. Pada raka’at ke dua,sesudah berdiri untuk raka’at kedua membaca seperti tersebut pada raka’at pertama, Kemudian membaca surat Al-Fatiah dan diteruskan dengan bacaan surat yang kita kehendaki, tetapi lebih utama membaca surat Al-Ghasyiah. Bacaan itu dengan suara nyaring . Imam menyaringkan yakni mengeraskan suaranya pada waktu membaca surat Al-Fatihah dan surat surat lainnya, sedangkan makmum tidak nyaring.
6. Shalat ini dikerjakan dua raka’at dan di lakukan sebagaimana shalat shalat yang lain.
7. Khutbah dilakukan sesudah shalat ‘Id dua kali, yaitu pada khutbah pertama membaca takbir 9 kali dan pada khutbah kedua membaca takbir 7 kali dan pembacaannya harus berturut-turut.
8. Hendaknya dalam khutbah ‘Idul Fitri berisi penerangan tentang zakat fitrah pada hari raya Haji berisi penerangan tentang ibadah Haji dan hukum kurban.

Rabu, 07 Januari 2015

Gerakan Telunjuk pada Duduk Tasyahud

Gerakan Telunjuk dalam Tasyahud
Gerakan dan Bacaan Shalat (Tasyahud Awal Dan Tasyahud Akhir)

Tasyahud Awal adalah duduk setelah sujud kedua pada raka’at kedua. Sedangkan Tasyahud Akhir adalah duduk sebelum salam pada raka’at terakhir.
a) Cara Duduk Tasyahud Awal

Pada tasyahud awal, duduknya adalah secara Iftirasy, yaitu: duduk dengan melipat kaki kiri, meletakkan pantat di atas kaki kiri, menegakkan telapak kaki kanan serta menghadapkan jari-jari kaki kanan ke arah kiblat. Cara duduk seperti ini dilakukan oleh Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah.
“Beliau menjelaskan bahwa bila duduk dalam tasyahud awal, hendaklah dilakukan dengan thuma’ninah dan membentangkan paha kiri, lalu bertasyahud.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad jayyid)
Dari Abi Humaid As-Sa’idiy, dia berkata:
“Maka apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di raka’at kedua (tasyahud awal) beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. Dan apabila duduk di raka’at yang terakhir (tasyahud akhir), beliau memajukan kaki kirinya dan menegakkan kaki (kaki kanan) dan duduk di atas tempat duduknya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

b) Cara Duduk Tasyahud Akhir

Pada tasyahud akhir, duduknya adalah secara tawaruk, yaitu: duduk dengan menghamparkan kaki kiri ke samping kanan, mendudukkan pantat di atas lantai, menegakkan kaki kanan serta menghadapkan jari-jari kaki kanan ke arah kiblat. Cara duduk seperti ini dilakukan oleh Imam Syafi’i.
# Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhu, dia berkata:
“Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalatnya, meletakkan kaki kirinya di antara paha dan betisnya, dan meluruskan posisi kaki kanannya tepat di atas paha kanannya sambil mengangkat jari telunjuknya.” (HR. Muslim)
# “Di dalam tasyahud akhir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dengan duduk tawaruk.” (HR. Bukhari)
# “Duduk tawaruk yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan cara membentangkan paha sebelah kiri di atas lantai, lalu mengeluarkan kedua telapak kaki dari arah yang sama.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi)
# “Duduk tawaruk tersebut yaitu meletakkan kaki kiri di bawah paha dan betisnya.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
# “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan kaki kanannya.” (HR. Bukhari)
# “Beliau terkadang membentangkannya.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
c) Letak Duduk Tasyahud Awal Dan Tasyahud Akhir Dalam Shalat Dua Raka’at

Para ulama berbeda pendapat tentang letak duduk tasyahud dalam shalat dua raka’at, seperti shalat Shubuh, shalat Jum’ah, dan shalat sunnah rawatib. Sebahagian ada yang menyatakan bahwa duduk yang harus dilakukan adalah duduk iftirasy sebagaimana halnya ketika duduk dalam tasyahud awal, karena duduk tersebut dilaksanakan di raka’at yang kedua.
1) Duduk Iftirasy Di Raka’at Kedua Dan Dalam Shalat Dua Raka’at

# Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk tasyahud setelah raka’at kedua. Bila shalat yang dilakukannya hanya dua raka’at, seperti shalat Shubuh, beliau duduk iftirasy (HR. An-Nasa’i dengan sanad shahih), yaitu seperti ketika duduk antara dua sujud. Begitulah keadaan duduk pada tasyahud awal (HR. Bukhari dan Abu Dawud) dalam shalat tiga raka’at atau empat raka’at.
# Pendapat ini diperkuat dengan hadits yang menceritakan orang yang salah dalam melaksanakan shalatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya:
“Dan apabila kamu duduk dipertengahan shalat, maka tuma’ninahlah dan duduklah di atas paha kirimu kemudian bertasyhadudlah” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad jayyid)
Pendapat ini dipegang oleh ulama Hanabilah, mereka menyatakan bahwa seseorang tidak diperbolehkan melakukan duduk tawaruk kecuali di raka’at yang terakhir dari shalat yang di dalamnya dilakukan dua kali tasyahud. Mereka berlandaskan dalil dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata:
# “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Setiap dua raka’at; tasyahud dan beliau biasa membentangkan kaki kirinya dan menegakkan yang kanan.” (HR. Muslim)
Dan dalam tasyahud kedua, pelaksanaan duduk tawaruk tiada lain adalah bertujuan untuk membedakan dua macam tasyahud, dan setiap shalat yang hanya memiliki satu tasyahud tidak ada kesamaran (keserupaan) lagi, maka tidak perlu ada pembeda lagi (duduk tawaruk tidak perlu dilakukan).
2) Duduk Tawaruk Setiap Tasyahud Yang Diakhiri Dengan Salam

Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa disunnahkan untuk melakukan duduk tawaruk setiap tasyahud yang diakhiri dengan salam meskipun bukan tasyahud yang kedua (akhir) sebagaimana halnya tasyahud Shubuh dan shalat Jum’ah, karena ia merupakan tasyahud yang disunnahkan untuk dipanjangkan pelaksanaannya sehingga disunnahkan untuk melakukan duduk tawaruk sebagaimana halnya ketika tasyahud kedua (tasyahud akhir). (Mausu’ah Fiqhiyyah XV/268)
d) Cara Meletakkan Tangan Ketika Duduk Tasyahud

Baik pada tasyahud awal maupun tasyahud akhir, tangan kanan diletakkan di atas paha dan lutut kanan dan tangan kiri di atas paha dan lutut kiri dengan cara berikut:
1) Menggenggam Jari-Jari Tangan Kanan Dengan Meletakkan Ibu Jari Di Bagian Tengah Di Bawah Jari Telunjuk

# Dari Ibnu Umar, katanya:
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila duduk tasyahud, beliau meletakkan tangan kirinya di atas lututnya yang kiri dan meletakkan tangan kanannya di atas lututnya yang kanan dan beliau membuat ikatan nomor 53 (Menggenggam jari-jarinya dan menaruh ibu jarinya pada pergelangan tengah di bawah jari telunjuk) serta menunjuk dengan jari telunjuknya. Dan dalam riwayat lain dikatakan: Dan beliau menggenggam semua jarinya dan menunjuk dengan anak jari yang ada di samping ibu jari.” (HR. Muslim)
2) Menggenggam Jari-Jari Tangan Kanan Hingga Menyerupai Lingkaran (Meletakkan Ibu Jari Di Atas Jari Tengah)

# Dari Wail bin Hujr radhiyallahu anhu, dia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangan dan sikunya di atas pahanya, dan meletakkan kedua ujung jarinya di atas kedua lututnya, dengan posisi menggenggam jarinya dan membentuk lingkaran. Kemudian beliau mengangkat jari telunjuknya dan berdo’a sambil menggerakkannya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ad-Darimi, Ibnul Jarud, Ath-Thabarani, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Bahaqi dan Ibnul Jauzi)
# Dari Zubair, dia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk tasyahud, meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya dan tangan kirinya di atas paha kirinya, dan beliau berisyarat dengan telunjuknya, dan beliau meletakkan ibu jarinya pada jari tengahnya, dan beliau menutupkan telapak tangan kirinya pada lutut kirinya.” (HR. Muslim)
# “Ketika beliau mengacungkan telunjuknya, ibu jarinya memegang jari tengah.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
# “….Ibu jari dan jari tengahnya membentuk bulatan.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Jarud, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dengan sanad shahih)
# “Beliau menunjuk dengan jari telunjuknya, dan meletakkan ibu jarinya di atas jari tengahnya.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
# “Beliau melebarkan telapak tangan kirinya di atas pahanya yang sebelah kiri, dan menggenggamkan jari-jari telapak tangannya yang sebelah kanan di atas pahanya yang sebelah kanan, sambil mengarahkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah kiblat, sementara pandangan mata tertuju pada jari telunjuk tersebut.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Ibnu Khuzaimah)
3) Tangan Kanan Diletakkan Tanpa Digenggam

# Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhu, dia berkata:
“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk tasyahhud, maka beliau meletakkan tangan kanannya di atas paha yang kanan dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya yang kiri serta memberi isyarat dengan telunjuknya, sedangkan pandangan matanya tidak melampaui telunjuknya tersebut.” (HR. Ahmad, Muslim dan an-Nasa’i)
# Dari Ibnu Umar, ia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila duduk di dalam shalat meletakkan dua tangannya pada dua lututnya dan mengangkat telunjuk yang kanan lalu berdo’a dengannya sedang tangannya yang kiri diatas lututnya yang kiri, beliau hamparkan padanya.” (HR. Muslim dan An-Nasa’i)
# “Apabila duduk tasyahud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanannya -dalam riwayat lain disebutkan: pada lutut kanannya- dan meletakkan telapak tangan kirinya pada paha kirinya -pada riwayat lain disebutkan pada lutut kirinya-.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
e) Pandangan Mata Ketika Duduk Tasyahud

Baik pada tasyahud awal maupun tasyahud akhir, pandangan mata tertuju pada jari telunjuk tangan kanan yang sedang memberikan isyarat, dimana pandangan matanya tidak melampaui jari telunjuknya tersebut, yaitu berdasarkan hadits:
# “Beliau melebarkan telapak tangan kirinya di atas pahanya yang sebelah kiri, dan menggenggamkan jari-jari telapak tangannya yang sebelah kanan di atas pahanya yang sebelah kanan, sambil mengarahkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah kiblat, sementara pandangan mata tertuju pada jari telunjuk tersebut.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Ibnu Khuzaimah)
# Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhu, dia berkata:
“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk tasyahhud, maka beliau meletakkan tangan kanannya di atas paha yang kanan dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya yang kiri serta memberi isyarat dengan telunjuknya, sedangkan pandangan matanya tidak melampaui telunjuknya tersebut.” (HR. Ahmad, Muslim dan an-Nasa’i)
f) Cara Dan Saat Memberi Isyarat Dengan Jari Telunjuk

Isyarat selama duduk tasyahud awal maupun tasyahud akhir, hanya dilakukan dengan satu jari tangan saja, yaitu jari telunjuk tangan kanan dengan sedikit membungkukkannya.
# “Nabi pernah melihat seorang sahabat berdo’a sambil mengacungkan dua jarinya, lalu sabdanya kepada orang itu: ‘Satu saja! Satu saja!’ [Seraya mengacungkan jari telunjuk].” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan An-Nasa’i disahkan oleh Hakim dan disetujui Dzahabi)
# Dari Numeir al-Khuza’i, katanya:
“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang duduk dalam shalat, beliau meletakkan tangan kanannya di atas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari telunjuknya, dengan membungkukkannya sedikit ketika berdoa.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang cukup baik)
Tentang bagaimana cara dan saat memberi isyarat dengan jari telunjuk tangan kanan tersebut, terdapat beberapa pendapat. Sebagian mengatakan bahwa jari telunjuk itu digerak-gerakkan, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa jari telunjuk itu tidak digerak-gerakkan. Sebagian mengatakan bahwa jari telunjuk tersebut digerak-gerakan secara terus menerus, sedangkan yang lain mengatakan hanya digerak-gerakkan pada saat tertentu saja.
1) Memberi Isyarat Dengan Menggerakkan Jari Telunjuk

Mereka yang berpendapat harus menggerakkan jari telunjuk, berdalil dengan hadits:
# Dari Wail bin Hujr radhiyallahu anhu, dia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangan dan sikunya di atas pahanya, dan meletakkan kedua ujung jarinya di atas kedua lututnya, dengan posisi menggenggam jarinya dan membentuk lingkaran. Kemudian beliau mengangkat jari telunjuknya dan berdo’a sambil menggerakkannya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ad-Darimi, Ibnul Jarud, Ath-Thabarani, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Bahaqi dan Ibnul Jauzi)
# “(Gerakan jari telunjuk) lebih ditakuti setan daripada (pukulan) besi. (HR. Ahmad, Bazzar, Abu Ja’far, Bukhtari, Ath-Thabarani, Abdul Ghani Al-Muqaddasi, Rauyani dan Baihaqi)
# “Sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mengetahui perbuatan ini meniru perbuatan sahabat yang mengetahuinya, yaitu menggerakkan telunjuknya sambil mengucapkan do’a.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad hasan)
# “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggerakkan jari telunjuknya seraya berdo’a dengannya.” (HR. An-Nasa’i)
# “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbuatan ini dalam dua tasyahudnya -tasyahud awal dan tasyahud akhir-.” (HR. An-Nasa’i dan Baihaqi dengan sanad shahih)
i) Menggerakkan Secara Terus Menerus Dari Awal Tasyahud

Dalam kitabnya Fi Shifat Ash-Shalat, Syaikh Al-Albani berkata: “Disunnahkan untuk terus berisyarat dengan telunjuk dan menggerak-gerakannya sampai salam karena do’a dilaksanakan sebelum salam dan ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan yang lainnya,.”
Dalam madzhab Imam Maliki, jari telunjuk digerakkan ke kiri dan ke kanan ketika duduk tasyahud hingga selesai shalat.
ii) Menggerakkan Pada Waktu Berdoa

Sebagian ulama berpendapat bahwa menggerakkan jari telunjuk tidak dimulai dari awal tasyahud, akan tetapi dimulai dari awal do’a. Pendapat ini juga dipegang oleh Syaikh Ibnu Utsaimin.

Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam bukunya Fatawa Arkanul Islam:
Menggerakkan jari telunjuk dilakukan pada waktu berdoa, bukan di semua waktu tasyahud. Jika kamu berdoa di waktu tasyahud, maka gerakkan jari telunjukmu, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits, “Menggerakkannya seraya berdoa dengannya….”
….Tempat-tempat berdoa dalam tasyahud adalah:
“Assalamu ‘alaika ayyuha an-nabiyu wa rahmatullah wa barakatuhu. Assalamu ‘alaina wa ‘ala ibadillahi Ash-Shalihin. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad. Allahumma barik ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad. A’udzu billahi min ‘Adzabi Jahannam, wa min ‘adzabi al-qabr, wa min fitnati al-mahya wa al-mamat, wa min fitnati masihi ad-dajjal.”
Di delapan tempat itulah yang perlu kita gerakkan jari telunjuk kita ke arah langit. Di sunnahkan juga ketika berdoa di selain delapan tempat itu untuk mengangkatnya; karena kaidah umumnya adalah disunnahkan mengangkat jari telunjuk pada setiap doa.
2) Memberi Isyarat Dengan Tidak Menggerakkan Jari Telunjuk

Yang berpendapat tidak menggerakkan jari telunjuk berpegangan pada hadits:
# Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhu, dia berkata:
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk dengan jari saat berdo’a dan tidak menggerakkannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban, hadits ini didhaifkan oleh syaikh Al-Albani)
Dalam kitab Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abdullah bin Az-Zubair, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuknya ketika berdo’a dan tidak menggerakkannya. Tambahan hadits ini (dan tidak menggerakkannya) masih perlu ditinjau keshahihannya.”
Syaikh Muhammad Bayumi dalam kitab Akhthaa’ Al-Mushallin min At-Takbir ilaa At-Taslim, berasumsi bahwa tambahan tersebut (dan tidak menggerakkannya) menyimpang. Ini bisa dilihat dari:
Pertama, Muhammad bin ‘Ijlan tidak menetapkan hadits yang menyatakan, “Tidak adanya gerakan.”
Kedua, pendapat Ibnu ‘Ijlan berseberangan dengan riwayat mereka yang tidak menyebutkan redaksi “Tanpa gerakan”. Mereka itu adalah Utsman bin Hakim, dan ‘Ashim bin Kulaib. ‘Ashim lebih tsiqah daripada Muhammad bin ‘Ijlan, seperti terlihat dari hasil terjemahannya dalam At-Tahzib.
Syaikh Muhammad Bayumi juga melihat bahwa pendapat Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad, kemudian riwayat Abu Dawud yang tidak menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu dalam shalat, maka secara umum argumentasinya menjadi batal dengan riwayat dari Wail bin Hujr.
Syaikh Al-Albani dalam kitab Fi Shifat Ash-Shalat, “Hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggerakkannya tidak bisa ditetapkan, ditinjau dari segi sanadnya. Kalaupun hadits ini ditetapkan, akan tetapi bertentangan (nafi’), sedangkan hadits utama tetap (mustbit), yaitu hadits Wail bin Hujr. Dan seperti yang lazim terjadi dikalangan ulama, yang mutsbit didahulukan dari yang nafi’.
3) Memilih Antara Menggerakkan Atau Tidak Menggerakkan

Ada lagi pendapat yang ketiga, yaitu kita disuruh memilih antara menggerakkan atau tidak, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang menggerakkan telunjuknya dan terkadang tidak menggerakkannya. (Lihat: Subulus Salam dan Nailul Authar).
Adapun pendapat pertama yang mengatakan bahwa telunjuk selalu digerakkan adalah berdasarkan hadits shahih seperti yang telah disebutkan di atas, sedangkan hadits yang menjelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggerakkan telunjuknya ketika shalat adalah hadits dhaif, juga berdasarkan sebuah kaidah yang berbunyi: al-mutsbat muqaddamun ‘alal manfi’, yaitu nash yang menetapkan (menunjukkan adanya perbuatan) didahulukan dari nash yang menafikan (menolak adanya suatu perbuatan). Maksudnya, dalil yang menunjukkan adanya gerakan telunjuk didahulukan dari pada dalil yang menunjukkan tidak adanya gerakan telunjuk.
Kalau terdapat dua dalil yang seolah-olah bertentangan, seperti riwayat tentang menggerakkan telunjuk, yaitu menggerakkanya atau tidak menggerakkannya, maka cara pertama yang harus kita lakukan adalah menggabungkan antara kedua dalil tersebut. Kalau kedua dalil tersebut kita gabungkan maka yang dimaksud adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggerakkan namun tidak terus menerus, bahkan dilakukan hanya sekali, yaitu ketika berdo’a, ini pemahaman yang terbaik seperti yang dikatakan imam Baihaqi, yaitu bahwa yang dimaksud dengan menggerakkan jari telunjuk adalah bukan dengan cara menggerak-gerakkannya naik turun, melainkan dari semula menggenggam kemudian menunjuk ke arah kiblat.
Kalau ini tidak bisa dilakukan baru kita memakai kaidah seperti yang disebutkan di atas, yaitu dalil yang menunjukkan adanya gerakan telunjuk didahulukan dari pada dalil yang menunjukkan tidak adanya gerakan telunjuk. Namun seperti yang telah dijelaskan di atas, hadits yang menunjukkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggerakkan telunjuknya adalah hadits dhaif.
4) Memberi Isyarat Hanya Pada Bacaan Tertentu Saja

Madzhab Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa memberi isyarat dengan jari telunjuk hanya dilakukan sekali saja, yaitu waktu membaca “Illallahu” ketika syahadah. Sementara Madzhab Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mengangkat jari telunjuk itu ketika dalam syahadah, yaitu ketika membaca “La Ilaha” dan meletakkannya kembali ketika membaca “Illallahu”. Sedangkan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat memberi isyarat dengan jari telunjuk ketika menyebut nama Allah tanpa menggerakkannya.
Sebagian orang cukup mengangkat jari telunjuk hanya pada saat mengucapkan dua kalimat syahadat dalam tahiyyat. Hal ini tidak ada dasarnya dalam sunnah (Syaikh Muhammad Bayumi dalam kitab Akhthaa’ Al-Mushallin min At-Takbir ilaa At-Taslim & Sayyid Sabiq dalam buku Fiqh as-Sunnah)
g) Bacaan Pada Tasyahud

Dalam hadits-hadits yang menjelaskan tentang bacaan tasyahud, tidak dibedakan antara do’a tasyahud awal dan tasyahud akhir, seperti yang terdapat dalam hadits berikut:
# Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami tasyahud sebagaimana beliau mengajari kami surat Al-Qur’an.” (HR. Jama’ah)
# Abdullah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Apabila di antara kamu duduk tahiyyat, maka hendaknya ia membaca “At-Tahiyyatu lillah…” kemudian hendaknya ia memilih doa sesukanya yang berkaitan dengan persoalan yang sedang dihadapi.” (HR. Muslim)
Hadits-hadits di atas menunjukkan tidak adanya perbedaan doa dalam duduk tasyahud, baik pada tasyahud awal dan tasyahud akhir, sebagaimana juga dikatakan oleh Ibnu Hazm [Muhammad Nashiruddin Al-Albani, "Sifat Shalat Nabi]. Hanya saja nanti, pada tasyahud akhir ada doa-doa tertentu yang disarankan oleh Nabi untuk dibaca.
Berdasarkan beberapa hadis Nabi, inti bacaan yang harus dibaca dalam tasyahud awal dan akhir adalah: bacaan tahiyyat dan bacaan syahadat
Yang menjadi perbedaan di kalangan ulama hanyalah redaksi bacaannya. Ada yang berdasarkan riwayat Umar Bin Khattab, riwayat Ibnu Mas’ud, riwayat Ibnu Abbas dan lain-lainnya.
1) Menurut Riwayat Umar Bin Khatab

“ATTAHIYYAATU LILLAAHIZ ZAKIYYATU LILLAAHITH THAYYIBAATUSH SHALAWAATU LILLAAH. ASSALAAMU’ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WA RAHMATULLAAHI WA BARAKAATUH. ASSALAAMU’ALAINA WA ‘ALAA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN. ASYHADU ANLAA ‘ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUHU.”
[Artinya]: “Segala penghormatan bagi Allah, segala kesucian bagi Allah, segala kebaikan dan kesejahteraan bagi Allah. Semoga keselamatan, rahmat dan barakah Allah senantiasa dilimpahkan kepadamu wahai Nabi (Muhammad). Semoga juga dilimpahkan kepada kami dan kepada semua hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” (HR. Malik dalam Muwaththa dengan sanad yang shahih)
Tahiyyat ini dipraktekkan oleh Imam Malik. Menurut Ibnu Abdil Barr sungguhpun hadis ini mauquf, tetapi dihukumi mar’fu’ [Muhammad Nashiruddin Al-Albani, "Sifat Shalat Nabi].
2) Menurut Riwayat Ibnu Abbas

“ATTAHIYYAATUL MUBAARAKAATUSH SHALAWAATUTH THAYYIBAATU LILLAAH. ASSALAAMU’ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WA RAHMATULLAAHI WA BARAKAATUH. ASSALAAMU’ALAINA WA ‘ALAA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN. ASYHADU ANLAA ‘ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUHU.”
[Artinya]: “Segala penghormatan, keberkahan, kesejahteraan dan kebaikan bagi Allah. Semoga keselamatan, rahmat dan barakah Allah senantiasa dilimpahkan kepadamu wahai Nabi (Muhammad). Semoga juga dilimpahkan kepada kami dan kepada semua hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan-Nya.” (HR. Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ad-Daruqutni, Ahmad, dan Syafi’i). Bacaan ini dipraktikkan oleh Imam Syafi’i dan para pengikutnya.
3) Menurut Riwayat Ibnu Umar

“AT-TAHIYYAATU LILLAHI WASH SHALAWAATU WATH THAYYIBAATU. ASSALAAMU’ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WA RAHMATULLAAHI WA BARAKAATUH. ASSALAAMU’ALAINA WA ‘ALAA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN. ASYHADU ANLAA ‘ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUHU.”
[Artinya]: “Segala penghormatan bagi Allah, segala kesejahteraan dan kebaikan bagi Allah. Semoga keselamatan, rahmat dan barakah Allah senantiasa dilimpahkan kepadamu wahai Nabi (Muhammad). Semoga juga dilimpahkan kepada kami dan kepada semua hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” (HR. Bukhari, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Bacaan ini dipraktekkan Imam Ats-Tsauri, Ulama Kufah dan para ahli Hadits.
h) Shalawat Nabi

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca shalawat Nabi dalam Shalat. Sebagian mengatakan wajib, di antaranya adalah Imam Syafi’i. Beliau mengatakan bahwa membaca shalawat Nabi dalam shalat hukumnya wajib. Beliau beralasan dengan firman Allah berikut:
# “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)
Imam Syafi’i berkata, “kewajiban membaca shalawat tidak ada tempat yang lebih tepat kecuali dalam shalat.” [Asy-Syafi’i, Al-Umm]. Maka orang yang tidak membaca shalawat dalam tasyahudnya, shalatnya tidak sah, ia harus mengulang.
Namun sebagian besar ulama yang lain mengatakan bahwa membaca shalawat hukumnya sunnah. Di antaranya ialah Ibnu Mundzir, Imam Malik, Sufyan Ats-Tsauri dan ulama Madinah serta kalangan rasionalis.
Alasan mereka adalah berdasarkan tidak adanya hadits yang secara eksplisit memerintahkan seorang yang shalat membaca shalawat Nabi.
Beberapa hadits yang ada hanya seputar persoalan pertanyaan sahabat mengenai bagaimana mereka membaca salawat ketika shalat, dan kemudian Nabi mengajarkannya. Menurut ulama yang berpendapat shalawat hukumnya sunnah, penjelasan tentang shalawat ini sangat berbeda dengan ketika nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan tasyahud. Pada saat mengajarkan tasyahud para sahabat bersaksi:

# Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ia berkata,
 “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami tasyahud sebagaimana beliau mengajari kami surat Al-Qur’an. (HR. Jama’ah)
Bahkan apa yang dipraktekkan oleh Nabi dalam mengajarkan tasyahud juga dipraktekkan oleh Abu Bakar dan Umar. Dan dalam pengajaran itu baik Nabi maupun para sahabat sama sekali tidak mengajarkan shalawat. Karena itulah para ulama ini menyimpulkan bahwa hukum membaca shalawat ketika tasyahud adalah sunnah [Al-Qurthubi]
1) Letak Shalawat Nabi Pada Tasyahud

Semua ulama sepakat bahwa Shalawat Nabi dibaca pada tasyahud akhir, tetapi ada perbedaan pendapat tentang apakah Shalawat Nabi dibaca/tidak dibaca pada tasyahud pertama (tasyahud awal).
i) Shalawat Nabi Tidak Dibaca Pada Tasyahud Pertama

Para ulama yang berpendapat bahwa Shalawat Nabi tidak dibaca pada tasyahud pertama, maka bacaan mereka pada tasyahud pertama dibatasi hanya sampai bacaan dua kalimat syahadat saja, kemudian berdiri. Hal ini didasarkan hadits Ibnu Mas’ud yang berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk setelah dua raka’at pertama seperti duduk di atas radhf.
Berdasarkan hadits dari Ibnu Mas’ud tersebut, Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam kitab Zaadul Ma’ad berpendapat, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat membatasi bacaan tasyahudnya, sehingga (ketika beliau duduk tasyahud) seperti duduk di atas radhf -yaitu batu panas- dan tidak ada satu hadits pun yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bershalawat untuknya dan keluarganya dalam tasyahud ini (setelah dua raka’at pertama).”
Hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi’i, Ahmad dan imam yang empat, Imam Al-Hakim dari riwayat Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud dari bapaknya tersebut lemah menurut Ibnu Daqiqil Ied dalam At-Talkhis 1/163. Hadits ini terputus sanadnya (munqathi’), karena Abu Ubaidah tidak mendengar langsung dari bapaknya. Dan Imam An-Nawawi berkata dalam Al-Majmu’, diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i. At-Tirmidzi berkata, “Hadits tersebut hasan.” Hal ini kontradiktif (bertolak belakang) dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Daqiqil Ied, karena Abu Ubaidah tidak mendengar dari bapaknya, dan juga tidak bertemu dengannya. Ini merupakan hadits yang terputus sanadnya.
Imam Al-Albani berkata, “Dalil yang tidak bisa dijadikan landasan hukum, tidak bisa digunakan untuk membatasi keumuman dan kemutlakan yang ditunjukkan pada tasyahud pertama, keumuman hadits ini sangat layak. Adapun dalil terkuat yang dijadikan argumentasi oleh mereka yang menentang ini adalah hadits Ibnu Mas’ud. Hadits ini tidak tergolong shahih karena terputus sanadnya.
ii) Shalawat Nabi Dibaca Juga Pada Tasyahud Pertama

Para ulama yang berpendapat bahwa Shalawat Nabi juga dibaca pada tasyahud pertama berdasarkan pada:
# Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca shalawat untuk dirinya pada tasyahud awal dan lainnya. (HR. Abu ‘Awanah dalam Shahihnya dan An-Nasa’i)
# Keumuman hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk para sahabat ketika mereka bertanya,
“Ya Rasulullah, kami telah mengetahui bagaimana memberi salam kepadamu, tetapi bagaimana kami bershalawat atasmu?” Maka beliau bersabda, “Ucapkanlah Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad…” dan seterusnya hingga selesai. (HR. Muttafaq ‘alaih)
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara tasyahud pertama dan tasyahud kedua. Karena itu, maka dibolehkan bershalawat atas Nabi pada tasyahud yang pertama. Pendapat ini dinyatakan oleh Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm 1/102, ia berkata, “Bacaan tasyahud dan shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dipisahkan satu dengan lainnya. Pendapat inilah yang sah di kalangan murid-murid beliau seperti dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ 3/460 dan yang dengan jelas dinyatakan dalam kitab Raudhah 1/263.
Ini juga merupakan pendapat Ibnul Daqiqil Ied dalam kitab Talkhis Al-Habir 1/236. Dia dikenal dengan nama Al-Wazir bin Hubairah Al-Hambali dalam kitab Al-Ifshah. Begitu pula yang dikutip oleh Ibnu Rajab dalam kitab Zail Ath-Thabaqat 1/280 dan dalam hal ini menjadi ketetapan.
2) Bacaan Shalawat Nabi

Riwayat tentang bacaan shalawat ada bermacam-macam, di antaranya sebagai berikut:
i) Riwayat Imam Syafi’i Dari Ka’ab Bin Ajrah

“ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALAA MUHAMMAD, WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD. KAMAA SHALLAITA ‘ALAA IBRAAHIIM, WA ‘ALAA AALI IBRAAHIIM. WA BAARIK ‘ALAA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD. KAMAA BAARAKTA ‘ALAA IBRAAHIIM, WA ‘ALAA AALI IBRAAHIIM. INNAKA HAMIIDUM MAJIID.”
[Artinya]: “Ya Allah limpahkanlah kebahagiaan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberi kebahagiaan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dan limpahkanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberi keberkahan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” (HR. Imam Syafi’i)
ii) Riwayat Imam Ahmad

“ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALAA MUHAMMAD, WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD. KAMAA SHALLAITA ‘ALAA AALI IBRAAHIIM, INNAKA HAMIIDUM MAJIID. WA BAARIK ‘ALAA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD. KAMAA BAARAKTA ‘ALAA AALI IBRAAHIIM, INNAKA HAMIIDUM MAJIID.”
[Artinya]: “Ya Allah limpahkanlah kebahagiaan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberi kebahagiaan kepada Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Dan limpahkanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberi keberkahan kepada: keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Enkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” (Musnad Imam Ahmad)
3) Kata Sayyidina Dalam Shalawat Nabi

# Para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Ya Rasulullah, kami telah mengetahui bagaimana memberi salam kepadamu, tetapi bagaimana kami bershalawat atasmu?” Maka beliau bersabda, “Ucapkanlah Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad…” dan seterusnya hingga selesai. (HR. Muttafaq ‘alaih)
Dalam konteks shalat, lafal Shalawat Nabi dalam hadits di atas (tanpa lafal sayyidina) sudah baku sebagaimana yang telah di ajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan bagian dari praktek shalat Rasulullah.
Sedangkan di luar konteks shalat, tidak ada larangan bahwa lafal itu harus persis dengan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai ummatnya, kita boleh saja menyapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sebutan yang baik-baik, termasuk memberikan tambahan gelar “sayyidina” sebagai rasa penghormatan dan penyanjungan kepada beliau.
Dan penggunaan lafal “sayyidina” kepada sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum tidak bertentangan dengan posisi beliau sendiri, karena beliau memang junjungan kita. Bahkan beliau sendiri menyebutkan dirinya dengan “sayyidu waladi Adam”, junjungan anak-anak Adam (umat manusia).
i) Berdo’a Sebelum Salam [Dan Berdzikir Setelah Salam]

Adanya do’a sebelum salam didasarkan pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyuruh orang yang shalat untuk berdo’a setelah membaca tasyahud:
# “Setelah membaca do’a ta’awudz, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada orang-orang yang shalat untuk memilih do’a-do’a yang dikehendakinya sebelum mengucapkan salam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
# Dari Ibnu Mas’ud tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya tasyahud, beliau bersabda:
“Kemudian hendaklah seseorang itu memilih do’a yang paling disenanginya, dan berdo’a [dalam suatu lafal: kemudian hendaklah ia memilih dari permohonan yang ia kehendaki]” (Muttafaq ‘alaih)
# Dari Aisyah, ia berkata,
““Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dalam shalatnya, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab qubur, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah Dajjal, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan hutang.” (HR. Bukhari)
# Dari Abu Umamah,
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang do’a yang paling didengar oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau menjawab: “Di pertengahan malam yang akhir dan dubur shalat-shalat fardhu (dubura ash-shalawatil maktubah).” (HR. At-Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani).
Arti kata dubur dalam kamus Almu’jam Al Wasid adalah: akhir dari sesuatu (penghujungnya) dan bukan setelah, sebab setelah dalam bahasa arab adalah ba’da.
Arti kata dubur jika dikaitkan dengan shalat (Fatwa Syaikh Ibnu Baz dalam Tuhfatul ikhwan biajwibatin muhimmbatin tata’allaqu bi arkanil Islam, Syaikhul Islam dalam majmu’ fatawa dan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam majmu’ fatawa wa rasail):
# Apabila berkaitan dengan pembacaan do’a, maka arti kata dubur shalat adalah penghujung shalat sebelum salam,
# Dan apabila berkaitan dengan pembacaan dzikir, maka arti kata dubur shalat adalah penghujung shalat setelah salam.
Berdasarkan hadits-hadits di atas, maka para ulama yang beraliran tekstual (ahli dzahir) menganggap bahwa berdo’a sebelum salam hukumnya wajib. Sedangkan menurut jumhur ulama hukumnya sunnah.
Adapun materi do’a, menurut jumhur ulama adalah sesuka orang yang shalat, baik persoalan dunia maupun akhirat, sebagaimana dikatakan dalam hadits. Tetapi menurut Imam Hanafi, hanya dengan do’a yang ada di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits (Nail al-Authar). Sedangkan ahli dzahir menyatakan bahwa do’a yang harus dibaca haruslah mengandung kewajiban berlindung dari empat perkara, yaitu: siksa kubur, siksa neraka, fitnah Dajjal, dan fitnah hidup dan mati (Ibnu Rusyd).
1) Berdo’a Memohon Perlindungan Allah (Ta’awudz) Dari Empat Perkara

# “Apabila seseorang telah selesai membaca tasyahud akhir maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari empat perkara, yaitu:

“ALLAAHUMMA INNII A’UUDZUBIKA MIN ‘ADZAABI JAHANNAMA WA MIN ‘ADZAABIL QABRI WA MIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAATI WA MIN SYARRI FITNATIL MASIIHID DAJJAAL.”
[Artinya]: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka jahannam, siksa kubur, fitnah kehidupan dan kematian dan dari fitnah dajjal. [Selanjutnya, hendaklah ia berdo’a memohon kebaikan untuk dirinya sesuai kepentingan].” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah, An-Nasa’i dan Ibnul Jarud)
# Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila kamu telah selesai bertasyahud maka hendaklah berlindung kepada Allah dari empat (4) hal, yaitu:

“ALLAAHUMMA INNII A’UUDZUBIKA MIN ‘ADZAABI JAHANNAMA WA MIN ‘ADZAABIL QABRI WA MIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAATI WA MIN SYARRI FITNATIL MASIIHID DAJJAAL.”
[Artinya]: “Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari siksa jahannam, siksa kubur, fitnah hidup dan mati serta fitnah Al-Masiihid Dajjaal.” (HR. Bukhari dan Muslim dengan lafadhz Muslim)
# Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a tersebut dalam tasyahudnya.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad dengan sanad shahih)
# Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan do’a tersebut kepada sahabat-sahabatnya seperti halnya beliau mengajarkan suatu surah Al-Qur’an kepada mereka.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
# Dari Aisyah, ia berkata,
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dalam shalatnya,

“ALLAAHUMMA INNII A’UUDZUBIKA MIN ‘ADZAABIL QABRI, WA A’UUDZUBIKA MIN FITNATIL MASIIHID DAJJAAL, WA A’UUDZUBIKA MIN FITNATIL MAHYAA, WA FITNATIL MAMAATI ALLAAHUMMA INNII A’UUDZUBIKA MINAL MAATS TSAMI WAL MAKHRAM.”
[Artinya]: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab qubur, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah Dajjal, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan hutang.” (HR. Bukhari)
2) Do’a-Do’a Sebelum Salam Lainnya
# Dari Muadz bin Jabal, ia berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tanganku, kemudia beliau berkata, ‘Hai Muadz! Demi Allah sungguh aku menyukaimu.’ Kemudian Muadz berkata, Demi Bapak dan Ibuku, ya Rasulullah, saya sungguh mencintaimu.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Aku berwasiat kepadamu ya Muadz, engkau jangan sekali-kali meninggalkan di setiap akhir shalat untuk berdo’a:

“ALLAAHUMMA A’INNII ‘ALA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIKA.”
[Artinya]: Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa ingat kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan bagus ibadah kepada-Mu.” (Dalam Mustadrak ‘ala Shahihaini)
# Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang sahabatnya:
“Apa yang engkau ucapkan dalam shalat?” Ujarnya: Aku bertasyahud, kemudian aku memohon surga kepada Allah dan berlindung dari siksa neraka. (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda): “Demi Allah, alangkah baiknya permohonan yang kamu ucapkan dan diucapkan oleh Mua’dz.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “(Kami selalu mengucapkan kalimat-kalimat tersebut).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad shahih)
# Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seorang sahabat dalam tasyahudnya membaca:

“ALLAAHUMMA INNII AS-ALUKA YAA ALLAHUL (BILLAAHIL) [WAAHID] AHADITSH-SHAMADI LLADZII LAM YALID WALAM YUU LAD, WALAM YAKUL LAHU KUFUWAN AHAD, AN TAGHFIRLII DZUNUBII, INNAKA ANTAL GHAFUURUR RAHIIM. “
[Artinya]: “Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu, ya Allah, [Tuhan Yang Mahatunggal], tempat makhluk bergantung, tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, tiada sesuatu apapun yang menyamai-Nya, ampunilah segala dosaku, karena Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersada:
“(Orang ini telah diampuni, orang ini telah diampuni).” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Ahmad dan Ibnu Khuzaimah. Disahkan oleh Hakim dan disetujui oleh Dzahabi)
# Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar sahabat lain dalam tasyahudnya berdo’a:

“ALLAAHUMMA INNI AS-ALUKA BIANNA LAKAL HAMDA, LAA ILAAHA ILLA ANTA #WAKHDAKA LA SYARIIKA LAKA#, #AL-MANNAANU# [YA] BADII ’AS SAMAAWAATI WAL ARDHI, YA DZAAL JALAALI WAL IKRAAMI, YAA HAYYU YAA QAYYUUMU, [INNII AS-ALUKA] [AL-JANNATA, WA A’UDZUBIKA MINAN NAARI].”
[Artinya]: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu bahwa segala puji adalah milik-Mu, tiada tuhan kecuali Engkau, [tiada sekutu bagi-Mu], [Maha Pemberi karunia], [wahai] Penciapta langit dan bumi. Wahai Tuhan Yang Mahaagung dan Maha Pemurah. Wahai Tuhan Yang Mahahidup, wahai Tuhan Yang Mahaberdiri sendiri, [sesungguhnya aku memohon] [surga kepada-Mu dan berlindung kepada-Mu dari siksa neraka].”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya:
“Tahukah engkau apa yang dimohon orang ini?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Sabdanya: [Demi Tuhan yang menggenggam jiwaku], sesungguhnya orang ini telah memohon kepada Allah dengan menyebut nama-Nya yang agung, yang bila orang memohon dengan menyebut keagungan-Nya itu, Dia akan mengabulkan dan bila orang itu meminta sesuatu, Dia akan memberinya.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Ahmad, Bukhari, Ath-Thabrani, Ibnu Mandah dengan sanad-sanad shahih)
# Do’a antara tasyahud dan salam yang terakhir kali dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:

“ALLAAHUMMAGH FIRLII MAA QADDAMTU, WAMAA AKH KHARTU, WA MAA ASRARTU, WA MAA A’LANTU, WA MAA ASRAFTU, WAMAA ANTA A’LAMU BIHI MINNII. ANTAL MUQADDIMU, WA ANTAL MUAKH KHIRU, LAA ILAAHA ILLA ANTA.”
[Artinya]: “Ya Allah, ampunilah segala dosaku, baik yang lampau maupun yang akan datang, baik yang tersembunyi maupun yang terang, serta dosa-dosaku yang berlebihan, juga dari semua yang Engkau lebih mengetahui daripada aku. Engkaulah yang terdahulu dan Engkaulah yang terkemudian, tidak adaTtuhan kecuali Engkau.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)sumberhttp://romantikag40.blogspot.com/