Kamis, 03 April 2014

Tarbiyah, Ta’lim dan Ta’dib dalam Al Qur’an dan As Sunnah


Penulis : Nanang Wahyudi A.H.[1]
I. Pendahuluan
Pendidikan merupakan hal yang sangat strategis dalam membangun sebuah peradaban, khususnya peradaban yang Islami. Bahkan, ayat pertama[2] diturunkan oleh Allah sangat berhubungan dengan pendidikan. Proses dakwah Rasulullahpun dalam menyebarkan Islam dan membangun peradaban tidak lepas dari pendidikan Rasul terhadap para sahabat. Dimulai dari sebuah rumah kecil “Darul Arqom” sampai membentang ke seberang benua. Diawali beberapa sahabat sampai tersebar ke jutaan umat manusia di penjuru dunia. Sebuah proses yang pernah menorehkan sejarah peradaban yang membanggakan bagi umat Islam, Madinah Al Munawarah. Sejarahpun mencatat banyak Negara yang memperkokoh bangsanya ataupun bisa segera bangkit dari keterpurukan dengan upaya membangun pendidikan. Wajar, karena dari pendidikanlah lahir sebuah generasi yang diharapkan mampu membangun peradaban tersebut. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kemajuan pendidikan akan menjadi salah satu pengaruh kuat terhadap kemajuan atau kegemilangan sebuah peradaban.
Namun, konsep atau teori pendidikan mengalami sebuah perdebatan hangat bagi para pakar atau ilmuwan. Peran pendidikan yang semakin disadari pentingnya dalam melahirkan sebuah generasi tidaklah cukup tanpa disertai oleh konsep yang benar. Apabila kita menerima teori ilmiah empiris sebagai sebuah paradigma dalam teori pendidikan, maka disadari atau tidak berarti kita telah meninggalkan hal-hal yang bersifat metafisis dalam Al Qur’an dan Sunnah[3]. Metode ilmiah dalam membangun sebuah teori harus dapat diamati oleh panca indera. Sebuah teori yang belum bisa dibuktikan secara empiris tidak bisa dijadikan dasar dalam menyusun sebuah teori termasuk didalamnya teori pendidikan. Padahal, Al Qur’an yang diwahyukan melalui Nabi Muhammad SAW, dari masa ke masa selalu berkembang pembuktian terhadap mukjizat Ilmiahnya, mulai dari masa lampau sampai masa yang akan datang.Menyesuaikan dengan kemampuan manusia dalam membaca mukjizat tersebut[4]. Dalam Surat Al-An’am ayat 38:
… Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”
Ditegaskan juga dalam ayat lain, yaitu surat An Nahl ayat 89
“… kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
Untuk itu menjadi hal yang sangat penting dan mendasar bagi para muslim untuk memahami konsep pendidikan menurut Al Qur’an dan Al Sunnah. Konsep dasar yang perlu untuk dikaji berawal dari definisi atau pengertian pendidikan yang disandarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah[5].
II. Pengertian Pendidikan dalam Pandangan AlQur’an dan As Sunnah
Sangat penting jika di awal kita memastikan pengertian pendidikan yang didasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah. Karena berangkat dari pengertian inilah akan menjadikan pondasi yang akan menyangkut konsep bangunan pendidikan itu sendiri. Istilahpun akan memberikan pemahaman yang utuh, mengingat istilah tidaklah bebas nilai akan tetapi sarat akan nilai-nilai yang mengikutinya[6]. Dalam hal pendidikan, bersandar pada Al Qur’an dan Hadith dikenal beberapa istilah yang dianggap mewakili pengertian tersebut. Hal ini disebabkan istilah pendidikan tidak disebutkan secara langsung dalam Al Qur’an dan Al Hadith[7]. Sebenarnya, banyak istilah yang dianggap mendekati makna pendidikan, diantaranya Al Tansyi’ah, al Islah, Al Ta’dib atau al Adab, Al Tahzib, Al Tahir, Al Tazkiyyah, Al Ta’lim, Al Siyasah, Al Nash wa Al Irsyad dan al Akhlaq[8] bahkan sumber lain menambahkan dengan istilah at Tabyin dan at Tadris[9].Namun, dalam persidangan dunia pertama mengenai pendidikan islam pada tahun 1977, menegaskan bahwa pendidikan didefinisikan sebagai Al Tarbiyah, Al Ta’lim dan Al Ta’dib secara bersama-sama[10].
2.1
Tarbiyah
Konsep tarbiyyah ( ) merupakan salah satu konsep pendidikan Islam yang penting. Perkataan “tarbiyyah” berasal dari bahasa Arab yang dipetik dari fi’il (kata kerja) seperti berikut :
a. Rabba, yarbu yang berarti tumbuh, bertambah, berkembang.
b. Rabbi, yarba yang berarti tumbuh menjadi lebih besar, menjadi lebih dewasa
c. Rabba, yarubbu yang berarti memperbaiki, mengatur, mengurus dan mendidik[11], menguasai dan memimpin, menjaga dan memelihara[12]
Melalui pengertian tersebut, konsep tarbiyyah merupakan proses mendidik manusia dengan tujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia ke arah yang lebih sempurna. Ia bukan saja dilihat proses mendidik saja tetapi merangkumi proses mengurus dan mengatur supaya perjalanan kehidupan berjalan dengan lancar[13].
Berdasarkan penafsiran pada surat Al Fatihah ayat 2,
Segala puji bagi Allah, Rabb[14] semesta alam” .
Terdapat penafsiran terhadap ayat tersebut yaitu Allah itu Pendidik semesta alam tak ada suatu juga dari makhluk Allah itu terjauh dari didikan-Nya. Allah mendidik makhluk-Nya dengan seluas arti kata itu. Sebagai pendidik, Dia menumbuhkan, menjaga, memberikan daya (tenaga) dan senjata kepada makhluk itu guna kesempurnaan hidupnya masing-masing.[15]
Selain daripada Allah sebagai Pendidik, manusia juga boleh menjadi pendidik berdasarkan firman Allah[16]:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil”.
Walaupun ayat ini dalam beberapa tafsir banyak menitikberatkan pembahasan pada kewajiban anak terhadap orang tua, namun kata “Rabba” yang diartikan mendidik memberikan pembentukan istilah darinya yaitu tarbiyyah yang berarti diartikan sebagai pendidikan.
Kata Al Rabb juga berasal dari kata tarbiyyah yang berarti mengantarkan sesuatu kepada kesempurnaan dengan bertahap atau membuat sesuatu untuk mencapai kesempurnaannya secara bertahap[17].
Didalam Al Qur’an, kata rabba diartikan mengasuh seperti pada surat Al Syu’ara, ayat 18
“Fir’aun menjawab: “Bukankah kami Telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu.”
kan proses tarbiyah terhadap Nabi, sehingga ungkapan tersebut lebih menegaskan pada proses pengasuhan atau membesarkan.
Penggunaan kata tarbiyah, secara bahasa juga banyak digunakan oleh masyarakat Arab untuk makhluk hidup selain manusia (hewan dan tumbuhan) yang membawa maksud memelihara, memelihara dan menernak[20].
Al Jauhari mengatakan bahwa tarbiyah dan beberapa bentuk lainnya secara makna memiliki arti memberi makan, memelihara; yakni dari akar kata ghadza atau ghadzw yang mengacu kepada segala sesuatu yang tumbuh seperti anak-anak, tanaman dan sebagainya.
Tentu saja dari makna tersebut dan didasarkan pada penjelasan lainnya memberikan pengertian bahwa istilah tersebut mencakup pada segala hal yang bisa ditumbuhkan, dipelihara dan dikembangkan tidak hanya terbatas pada manusia, padahal seperti yang telah ditunjukkan Al Attas bahwa pendidikan dalam arti Islam adalah sesuatu yang khusus untuk manusia.
Menurut Al Attas, secara semantik istilah tarbiyah tidak tepat dan tidak memadai untuk membawakan konsep pendidikan dalam pengertian Islam, sebagaimana dipaparkan[21] :
1. Istilah tarbiyah yang dipahami dalam pengertian pendidikan sebagaimana dipergunakan di masa kini tidak bisa ditemukan dalam leksikon-leksikon bahasa Arab besar.
2. Tarbiyah dipandang sebagai pendidikan, dikembangkan dari penggunaan Al Qur’an dengan istilah raba dan rabba yang berarti sama, tidak secara alami mengandung unsur-unsur esensial pengetahuan, intelegensi dan kebajikan yang pada hakikatnya merupakan unsur-unsur pendidikan yang sebenarnya.
3. Jika sekiranya dikatakan bahwa suatu makna yang berhubungan dengan pengetahuan disusupkan ke dalam konsep rabba, maka makna tersebut mengacu pada pemilikan pengetahuan dan bukan penanamannya.
Dari beberapa penjelasan tersebut proses tarbiyah tidak mencakup langsung keterlibatan ilmu sebagai aspek penting dalam pendidikan. Tarbiyyah lebih menekankan pada proses memberikan kasih sayang. Walaupun tentu saja proses pengasuhan dan kasih sayang merupakan bagian yang sangat penting dalam pendidikan.
Tarbiyyah sebagai proses pengembangan (penumbuhan) diri sebagai pengembangan potensipun sangat diperlukan dalam proses pendidikan meskipun bersifat materi. Keahlian dan ketangkasan fisik sangat diperlukan disesuaikan untuk mengoptimalkan potensi masing-masing yang dididik, apalagi untuk menghadapi kondisi kehidupan modern yang semakin kompleks, namun setidaknya hal tersebut tidak mempersempit atau mengaburkan dari proses atau konsep utama pendidikan dalam islam itu sendiri.
Firman Allah,
“ Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi ….”
Ta’lim
Perkataan ta’lim ( ) pula dipetik dari kata dasar ‘allama ((علّم, yu‘allimu ( يعلّم) dan ta’lim (تعليم)
Dalam surat Al Jum’ah ayat 2,
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”
Dalam surat yang diturunkan di Madinah tersebut menggunakan yu’allimu, yang merupakan salah satu kata dasar yang membentuk istilah ta’limYu’allimu diartikan dengan mengajarkan, untuk itu istilah ta’lim diterjemahkan dengan pengajaran (instruction)[22].
Dari ayat tersebut juga bisa dimaknai bahwa Rasulullah juga seorang mu’allim[23], hal ini memperkuat sungguh dari beliau adanya keteladanan[24], termasuk bagaimana seharusnya menjadi seorang muallim[25]. Bahkan hal tersebut merupakan nikmat Allah bagi orang-orang mukmin, sebagaimana firmanNya[26],
“Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
Dalam surat yang lain[27], Allah berfirman,
“Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
Dari 2 ayat tersebut juga didapatkan penggunaan yu’allimu yang diartikan mengajarkan dan membentuk kata ta’lim yang berarti bisa diartikan sebagai pengajaran.
… padahal Sulaiman tidak kafir (Tidak mengerjakan sihir), Hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat[78] di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami Hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya[79]. dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka Telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka Mengetahui.”
Diriwayatkan bahwa kaum Yahudi bertanya kepada Nabi SAW beberapa kali tentang beberapa hal dalam Taurat. Semua pertanyaan mengenai isi Taurat, dijawab oleh Allah dengan menurunkan ayat. Ketika itu mereka menganggap bahwa ayat tersebut dirasakan sebagai bantahan terhadap mereka. Mereka berkata dengan sesamanya: “Orang ini lebih mengetahui daripada kita tentang apa yang diturunkan kepada kita.” Di antara masalah yang ditanyakan kepada Nabi SAW ialah tentang sihir[28].
Allah SWT. berfirman[29],
Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
Allah SWT. berfirman[30],
“Yang Telah mengajarkan Al Quran”.
Allah SWT. berfirman[31],
“Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan.”
Allah SWT. berfirman[32],
“…. Sesungguhnya dia benar-benar pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu Maka kamu nanti pasti benar-benar akan mengetahui (akibat perbuatanmu); Sesungguhnya Aku akan memotong tanganmu dan kakimu dengan bersilangan dan Aku akan menyalibmu semuanya”.
Allah SWT. berfirman[33],
“…. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. … “.
Allah SWT. berfirman[34],
“Musa Berkata kepada Khidhr: “Bolehkah Aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang Telah diajarkan kepadamu?”
Allah SWT. berfirman[35],
“Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau Telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan Telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. …”
Allah SWT. berfirman[36],
“Dan tatkala mereka masuk menurut yang diperintahkan ayah mereka, Maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan tetapi itu Hanya suatu keinginan pada diri Ya’qub yang Telah ditetapkannya. dan Sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, Karena kami Telah mengajarkan kepadanya. akan tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui.”
Allah SWT. berfirman[37],
“… dan (juga karena) Allah Telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan Telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.”
Allah SWT. berfirman[38],
“…. akan tetapi (Dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
Allah SWT. berfirman[39],
“Dan Allah akan mengajarkan kepadanya Al Kitab, hikmah, Taurat dan Injil.”
Al Kitab pada ayat tersebut ada yang menafsirkan dengan pelajaran menulis, dan ada pula yang menafsirkannya dengan kitab-kitab yang diturunkan Allah sebelumnya selain Taurat dan Injil[40].
Allah SWT. berfirman[41],
“ …. Kemudian apabila kamu Telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah Telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
Allah SWT. berfirman[42],
31. Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”
32. Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dari dua ayat tersebut, M. Tholib memberikan pengertian bahwa ketika malaikat enggan mematuhi perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Adam dengan alasan mereka merupakan makhluk yang baik[43], sedangkan manusia merupakan makhluk yang masih dipertanyakan kebaikannya, maka Allah SWT memberikan keistimewaan kepada Adam dengan memberitahukan nama-nama benda yang terdapat dihadapan Adam. Setelah itu Allah SWT memperlihatkan benda-benda tersebut kepada para Malaikat agar mereka menyebutkan nama-namanya, ternyata Malaikat tidak dapat menyebutnya. Hal ini disebabkan karena mereka tidak tahu nama-namanya walaupun mereka melihat benda-benda tersebut, sebab mereka tidak diberitahu oleh Allah SWT nama-nama benda itu. Para Malaikat dengan jujur menjawab bahwa mereka tidak tahu, mereka pun menjelaskan alasannya yaitu belum diberitahu oleh Allah SWT. Adam as kemudian diperintahkan oleh Allah SWT menyebutkan nama-nama benda yang telah Allah SWT beritahukan dihadapan para Malaikat, para Malaikat menyadari kekurangannya dihadapan Adam as dan disaksikan oleh Allah SWT.
Selanjutnya Thalib mengatakan bahwa Ta’lim memiliki arti memberitahukan sesuatu kepada seseorang yang belum tahu[44].
Allah SWT. berfirman[45],
“ Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
Allah SWT. berfirman[46],
“Yusuf berkata: “Tidak disampaikan kepada kamu berdua makanan yang akan diberikan kepadamu melainkan Aku Telah dapat menerangkan jenis makanan itu, sebelum makanan itu sampai kepadamu. yang demikian itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan kepadaku oleh Tuhanku. …”
Allah SWT. berfirman[47],
“Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang Telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang Telah diajarkan Allah kepadamu[48][399]. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu[400], dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya)[401]. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.”
Sedangkan penggunaan ‘allama (N¯=tæ) juga didapatkan pada hadith[49], Rasulullah bersabda,
“Barang siapa yang mengajarkan suatu ilmu maka dia memperoleh pahala orang yang mengamalkannya”
Dalam hadith lain[50], Rasulullah bersabda,
“Diantara amal dan kebaikan yang menyusul seseorang sesudah matinya adalah: ilmu yang dia ajarkan dan sebarluaskan, …”
Sa’ad bin Abu Waqqash r.a berkata:
كُـنَّا نُعَـلِّمُ أَوْلاَدَنَا مَغـَازِىْ رَسُوْلِ اللهِ صَـلىَّ اللهُ عَلَيـْهِ وَسَـلَّمَ كَمَـا نُعَلِّمُـهُمُ السُّـوْرَةَ مِـنَ الْقُـرْآنِ
“Kami mengajar anak-anak kami riwayat hidup Rasulullah SAW. Seperti kami mengajarkan satu surat dari Al Qur’an”
Kata dasar yuallimu terdapat di beberapa firman Allah SWT.[51] Yaitu
“ Dan Demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta’bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya’qub, …”
Istilah Mu’allim atau pengajar yang berarti orang yang melakukan pengajaran, juga di munculkan dalam hadith[52], Nabi Muhammad SAW. bersabda,
اعملوا بطاعة الله و اتقوا معاصى الله و مروا اولادكم بامتثال الاوامر, و اجتناب النواهى, فذالك و قاية لهم و لكم من النّار
“Ajarkanlah mereka untuk ta’at kepada Allah dan takut berbuat maksiat kepada Allah serta suruhlah anak-anak kamu untuk menaati perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. Karena itu akan memelihara mereka dan kamu dari api neraka ”
Dalam hal ini ungkapan (اعملو) diberikan kepada orang tua yang berlaku sebagai mu’allim sedangkan pelajarnya (muta’allim) atau yang diajari adalah anak-anaknya.
Umar ibn Khatab[53] berkata:
علموا اولادكم الرماية و الصباحة و مروهم ان يثبوا على الخيل وثبا
Ajarkanlah memanah dan berenang kepada anak-anak kamu, dan suruhlah mereka melompat keatas kuda dengan sekali lompatan”
Rasulullah bersabda[54],
من دخل مسجدنا هذا ليعلّم خيرا او ليتعلّم كان كا المجاهد فى سبيل الله
Barang siapa masuk masjid kami ini untuk tujuan mengajarkan kebaikan atau untuk belajar, maka dia bagaikan orang berperang di jalan Allah”
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda[55],
ما من رجل يعلم ولده القرأن فى الدنيا الاّ توّج ابوه بتاج فى الجنّة يعرفه به اهل الجنّة بتعليم ولده القرأن فى الدنيا
“Tidaklah seseorang mengajarkan Al Qur’an kepada anaknya di dunia kecuali ayahnya pada hari kiamat dipakaikan mahkota surga. Ahli surgamengenalinya dikarenakan dia mengajari anaknya Al Qur’an di dunia”
Dalam hadith lain, Rasulullah bersabda
تعلّمو القرأن فأقرؤوه فانّ مثل القرأن لمن نعلّمه و قرأه و قام به كمثل جراب محشوٍّ مسكا يفوح ريحه فى كلّ مكان
“Belajarlah Al Qur’an, lalu bacalah. Sesungguhnya perumpamaan Al Qur’an bagi orang yang mempelajari, membaca dan beribadah malam dengannya bagaikan tempat yang dipenuhi minyak kesturi yang semerbak bau harumnya di setiap tempat”
Juga sabda beliau[56],
خيركم من تعلّم القرأن و علّمه
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya”
Dalam hadith ini secara lengkap disebutkan Ungkapan ta’alim (تعلّم), sedangkan ilmu yang dipelajari adalah Al Qur’an serta disebutkan pihak yang mengajarkannya.
Kemudian, kepada sahabat Rasulullah bersabda[57]
ما اجتمع قوم فى بيت من بيوت الله يتعلّمون كتاب الله و يتدارسونه بينهم الاّ نزلت عليهم السكينة و غشيتهم الرحمة و حفّتهم الملائكة وذكرهم الله فيمن عنده
“Sekelompok masyarakat tidak berkumpul di masjid mempelajari kitab Allah dan bertadarrus diantara mereka, kecuali turun kepada mereka ketenangan, mereka diliputi rakhmat, dikerumuni malaikat dan Allah membanggakan mereka kepada makhluk hidup disisinya”
Ta’lim secara umum hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif semata-mata[58]. Hal ini memberikan pemahaman bahwa ta’lim hanya mengedepankan proses pengalihan ilmu pengetahuan dari pengajar (mu’alim) dan yang diajar (muta’alim). Misalnya pada surat Yusuf, ayat 6, berarti ilmu pengetahuan yang dimaksud, diajarkan atau dialihkan kepada Nabi adalah tabir mimpi. Sedangkan pada surat Al Maidah ayat 4, ilmu yang dimaksud adalah ilmu berburu.
Ta’lim juga mewakili ungkapan proses dari tidak tahu menjadi tahu[59]. Dari perkataan Sa’ad bin Waqash, memberi makna anak-anak yang tidak tahu tentang riwayat Rasulullah, diajarkan sehingga menjadi tahu[60].
Namun, istilah ta’lim dari beberapa ayat diatas menunjukkan bahwa ilmu yang bisa untuk dialihkan meliputi semua ilmu termasuk diantaranya sihir. Sehingga memang istilah tersebut lebih dekat pada pengajaran bukan pendidikan, karena pendidikan dalam pengertian Islam tentu saja harus mengarah pada manusia yang lebih baik, sesuai peran dan fungsinya didunia ini menurut Al Qur’an dan As Sunnah.
2.3
تأديب
Ta’dib
Ta’dib ( ) berasal dari kata addaba (أدّب), yuaddibu (يأدّب) dan ta’dib (تأديب).
Ta’dib sebagai istilah yang paling mewakili dari makna pendidikan berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadith dikemukakan oleh Syed Naquib Al Attas[61]. Al Attas memaknai pendidikan dari hadith,
أَدَّبَنِى رَبِّى اَحْسَنَ تَأْدِِيْـبِى
Tuhanku (Allah) telah mendidikku dengan pendidikan yang terbaik
Addaba (أدّب ) diterjemahkan oleh Al Attas sebagai mendidik, yang menurut Ibnu Manzhur merupakan padanan kata allama dan oleh Azzat dikatakan sebagai cara Tuhan mengajar Nabi-Nya sehingga Al Attas mengatakan bahwa mashdar addaba (yakni ta’dib) mendapatkan rekanan konseptualnya di dalam istilah ta’lim.
Selanjutnya Al Attas menyampaikan[62],
”Dalam pendefinisian kita tentang ’makna’, kita katakan bahwa ’makna’ adalah pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuat sistem. Karena pengetahuan terdiri dari sampainya, baik dalam arti hushul dan wushul, makna di dalam dan oleh jiwa, maka kita definisikan ’pengetahuan’ sebagai pengenalan tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membawa kepada pengenalan tentang tempat yang tepat dari Tuhan dalam tatanan wujud dan keperiadaan. Agar pengetahuan bisa dijadikan ’pengetahuan’, kita masukkan unsur dasar pengakuan di dalam pengenalan, dan kita definisikan kandungan pendidikan ini sebagai pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam keteraturan penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat-tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepriadaan. Kemudian kita definisikan pendidikan, termasuk pula proses pendidikan, sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan dalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keperiadaan.”
Hadith tersebut memperjelas bahwa sumber utama pendidikan adalah Allah. Sehingga pendidikan yang beliau peroleh adalah sebaik-baik pendidikan. Dengan demikian dalam pendangan filsafat pendidikan Islam. Rasulullah merupakan pendidik utama yang harus dijadikan teladan[63].
Dalam hadith lain, Prof. Abdullah Nasih Ulwan[64], mengambil hadith yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Ali r.a. untuk menjadi dasar penting terhadap pendidikan Al Qur’an untuk anak, bahwa Rasulullah bersabda:
أَدِّبُـوْا أَوْلاَدَكُمْ عَـلَى ثَلاَثِ حِصَـالٍ: حُبِّ نَبِـيِّكُمْ وَحُبِّ آلِ بَيْـتِهِ, وَتِـلاَوَتِ اْلقُـرْآنِ. فَإِنَّ حَمَـالَةَ الْقُـرْآنِ فِى ظِـلِّ عَـرْشِ اللهِ يَـوْمَ لاَ ظِـلَّ إِلاَّ ظِلُّـهُ مَعَ أَنْبِـيَآئِـهِ وَأَصْفِـيَآئِـهِ
“Didiklah[65] anak-anakmu dalam tiga hal: mencintai Nabimu, mencintai keluarga nabi, dan membaca Al Qur’an. Maka sesungguhnya yang membaca Al Qur’an berada dalam naungan Nya, bersama para Nabi dan orang-orang Suci”
Sebenarnya istilah ta’dib sudah sering digunakan oleh masyarakat arab pada jaman dahulu dalam hal pelaksanaan proses pendidikan. Perkataan adab dalam tradisi arab dikaitkan dengan kemuliaan dan ketinggian pribadi seseorang[66].
Dalam hadit lain[67], Rasulullah bersabda:
أدّبوا اولادكم و احسنوا ادابهم
“Didiklah anak-anak kamu dengan pendidikan yang baik”
علموا اولادكم و أهليكم الخير و أدبوهم
“Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anak kamu dan didiklah mereka”
لأن يؤدّب الرجل ولده خير من ان يتصدق بصاع
“Seorang yang mendidik anaknya itu lebih baik daripada bersedekah satu sha”
اكرما اولادكم و احسنوا ادا بهم
“Muliakan anak-anak kalian dengan adab yang baik”
من حقّ الولد على الوالد أن يحسن ادبه و يحسن اسمه
“Diantara yang menjadi hak seorang anak atas orang tuanya adalah memperbagus adabnya dan menamakannya dengan nama yang baik”
ما نحل والد ولدا افضل من ادب حسن
“Tidak ada suatu pemberian yang lebih utama yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya, kecuali adab yang baik”
الغلام يعـقّ عنه يوم السـابع, و يسمّى و يـماط عنه الأذى فاذا بلـغ ستّ سنـين أدّب, و اذا بلغ تسع سنـين عـزل عن فـراشه , فاذا بلـغ عشرة سنة ضرب على الصلاة و الصوم, فاذا بلغ ستّ عشرة سنة زوّجه ابوه, ثمّ أخذ بيده و قال قد أدّبتك و علّمتك و أنكحتك, اعوذ بالله من فـتـنـتك فى الـدنيـا و عذابـها فـى الاخرة
“Seorang anak diselamati pada hari ketujuh dari kelahirannya, diberi nama dan dihilangkan penyakitnya (dicukur rambutnya). Jika sudah menginjak usia enam tahun, maka ia diberi pendidikan. Jika sudah menginjak usia sembilan tahun, maka ia dipisahkan tempat tidurnya. Jika sudah menginjak usia tigabelas tahun maka ia harus dipukul bila tidak mau mengerjakan sholat dan puasa. Dan jika telah menginjak enambelas tahun, maka ayahnya boleh mengawinkan, lalu memegang anaknya itu dengan tangannya dan berkata padanya:’Aku telah mendidikmu, mengajarmu dan mengawinkanmu’. Aku berlindung kepada Allah dari fitnah (yang disebabkan ulah)mu di dunia dan dari adzab yang (disebabkan) fitnah itu di akhirat”
.
Dalam persidangan kedua tentang pendidikan Islam di Islamabad, Al Attas menegaskan konsep ta’dib dalam pendidikan dengan mengemukakan gagasan, yaitu:
“Ta’dib already includes within its conceptual structure the element of knowledge, instruction (ta’lim), and good breeding (tarbiyyah) so that there is no need to refer to the concept of education in the Islam as tarbiyyah-ta’lim-ta’dib all together. Ta’dib is then the precise and correct term to denote education in the Islamic sense[68]
Hal tersebut untuk memberikan penekanan terhadap konsep yang telah ditetapkan pada sidang sebelumnya yang menyatakan bahwa adanya kesatuan antara ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Padahal menurut pendapat beliau bahwa ta’dib sudah meliputi tarbiyyah dan ta’lim. Sehingga tidak dibutuhkan penyatuan atau penggunaan konsep ketiganya secara bersamaan.
Konsep ta’dib dalam pendidikan menjadi sangat penting diketengahkan, mengingat semakin terlihatnya gejala keruntuhan akhlak di kalangan umat Islam bukan dikarenakan mereka tidak mempunyai ilmu pengetahuan , tetapi karena mereka telah kehilangan adab[69]. Tindak kejahatan, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, pembunuhan dan hal lain justru banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang mengenyam proses pendidikan. Proses bertambahnya ilmu pengetahuan seakan-akan tidak berbanding lurus bahkan tidak berhubungan dengan peningkatan akhlak yang mulia atau keimanan para mudarist.
Dari hadist tersebut juga ditekankan akan kewajiban dan hal yang utama bagi orangtua untuk memberikan pendidikan yang baik dan menjadi hak setiap anak untuk mendapatkannya. Disebutkan pula bahwa hak untuk mendapatkan pendidikan diperoleh sejak usia dini sampai menikahkannya.
Dr. Abdullah Nashih Ulwan memberikan penjelasan terhadap hadits-hadits tersebut bahwa[70]:
“para pendidik terutama ayah dan ibu, mempunyai tanggung jawab besar dalam mendidik anak dengan kebaikan dan dasar-dasar moral. Mereka bertanggung jawab untuk mendidik anak-anak sejak kecil untuk berlaku benar, dapat dipercaya, istiqomah, …”
Selanjutnya dalam bukunya tersebut beliau menjelaskan tentang perilaku-perilaku dan penyimpangan tercela yang harus dihindarkan oleh anak sebagai subjek didik.
III. Penutup
Penggunaan istilah dalam pendidikan berdasar pada Al Qur’an dan As Sunnah yang tepat akan menjadi sangat penting, karena akan mempengaruhi konsep pendidikan khususnya pendidikan dalam pengertian Islam. Pengertian pendidikan akan mendasari tujuan, metode sampai pada kurikulum pendidikan itu sendiri.
Mengadopsi seluruh istilah atau menggabungkannya sebagai upaya untuk mengakomodasi saja tidaklah cukup, mengingat strukturnya dan penekanannya akan berbeda. Apabila ta’dib adalah istilah yang paling mewakili pendidikan dalam islam, maka adab akan menjadi stressing dalam pendidikan secara keseluruhan, tidak hanya pada pendidikan agama saja.
Walaupun demikian tarbiyyah dan ta’lim merupakan istilah yang memilki kaitan erat langsung dengan pendidikan itu sendiri. Proses pengembangan diri dan pengajaran adalah bagian penting dalam pendidikan untuk mencapai tujuan manusia sebagai hamba Allah.

Daftar Pustaka
Abdullah, Abdurrahman Saleh, DR. 2007. Educational Theory a Quranic Outlook, Terj. Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Abu Arrad, Saleh Ali. 2007. Attarbiyyat al-Islamiyyat: al-Mustalah wa al-Mafhum. http:\saaid.net/Doat/arrad/17.htm. [23 March 2007].
Abu Halim Tamuri. 2006. Pengajaran dan Pembelajaran yang Berkesan. Buku Panduan Kursus Peningkatan Kurikulum Pendidikan Syariah Islamiah 2006. Hlmn. 34-35. Putrajaya: Bahagian Kurikulum Pendidikan Islam dan Moral, KPM.
Al Attas, Syed Muhammad Naquib, 1980, The Concept of Education in Islam: A Framework an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: ISTAC.
Al Attas, Syed Muhammad Naquib, 1977, Aims and Objectives of Islamic Education: Jeddah: King Abdul Aziz University.
Al-Maliki, M Alawi, Prof. DR. 2002. Prinsip-prinsip Pendidikan Rasulullah. Jakarta: Gema Insani Press.
El-Muhammady, Abdul Halim. 1986. Peranan Guru dalam Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Islam 1 (4): 1-8.
Hammam, Hasan bin Ahmad Hasan, 2007. Perilaku Nabi SAW Terhadap Anak-anak. Bandung: Irsyad Baitus Salam.
Jalaluddin, Prof, 2001, Teologi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Thalib, M, Drs. 1996. Pendidikan Islam Metode 30 T. Bandung: Irsyad Baitus Salam.
Ulwan, Abdullah Nashih, Prof. 2002. Tarbiyatul Aulad fil Islam. Terj. Drs. Jamaludin Miri, Lc. Jakarta: Pustaka Amani.
Wahyudi, M Jindar. 2006. Nalar Pendidikan Qur’ani. Yogyakarta: Apeiron Philotes.
Wan Mohd Nor Wan Daud. 1998. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas: An Exposition of The Original Concept of Islamization. Kuala Lumpur: ISTAC.

[1] Disampaikan untuk memenuhi tugas kuliah studi Al Qur’an, Magister studi Islam UMS
[2] Surat Al Alaq ayat 1
[3] Abdullah, Abdurrahman Saleh,Educational …,21
[4] Al-Qattan, diambil dari http://layananquran.com/plq/index.php
[5] Konsep dasar pemahaman terhadap pengertian pendidikan akan berpengaruh terhadap tujuan,materi,metode dan konsep kelanjutannya baik pelaksanaan dan evaluasi yang mungkin belum dibahas lebih jauh di makalah ini
[6] Zarkazy,Hamid Fahmi, disampaikan dalalm pelatihan pemikiran dan peradaban islam yang diselenggarakan oleh RMI Jawa Timur,2006
[7] Dr. Saleh bin Ali Abu Arrad, 2007,Al Tarbiyyat Al Islamiyat:Al Mustalah wa Al Mahfum
[8] Arifien, Mohd Zainul disampaikan dalam makalahnya yang bertajuk: konsep ta’dib dalam pendidikan islam,2
[9] Wahyudi,Jindar M,2006,Nalar Pendidikan Islami,52
[10] Syed Muhammad Naquib Al Attas,1977,Aims and Objectif in islamic education
[11] Ibn Manzur, Lisan al-Arab, Dar al-Misriyah, Mesir, hlm.145
[12] Wahyudi,Jindar M,2006,Nalar Pendidikan Islami,52
[13] Ahmad, ABH,Sejarah pendidikan Rasulullah …,8
[14] Rabb berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki, mendidik dan Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). ‘Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu
[15] Tafsir DEPAG RI, diambil dari soft Al Qur’an “Al Bayan”
[16] QS. al-Isra’ ayat 24
[17] Al Raghib,al Isfahani, mu’jam al mufradat…….,189
[18] Syed Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan …,1980
[19] Disampaikan pula bahwa “Apabila Tuhanlah yang menciptakan, memelihara, menjaga, memberi, mengurus dan memiliki tindakan-tindakan yang menyebabkan Tuhan sebagai ar-Rabb
[20] Hasan Langgulung,1987
[21] Al Attas, Konsep Pendidikan, 1980, hal. 65
[22] Kata At Ta’lim merupakan isim masdar dari kata kerja ya’lamu-ta’lamu yang berarti mengajar, sesuai kamus Al Munawwir:Arab Indonesia,154
[23] Ad Duweisy,Muhammad Abdullah,Al Mudarris wa muharat Al Tawjih,terj:Menjadi guru yang sukses dan berpengaruh,2005,hal18.
[24] QS. Al Ahzab, ayat 21
[25] Seorang sahabat, Muawiyah bin Al Hakam As Sulami r.a,mengungkapkan “Aku korbankan bapak dan ibuku untuknya, aku tidak melihat seorang guru sebelumnya dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya dari dia”
[26] QS. Al Imran, ayat 164
[27] QS. Al Baqarah, ayat 151
[28] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abil-’Aliah
[29] QS. Al Baqarah, ayat 151
[30] QS. Ar Rahman, ayat 2
[31] QS. Yasin, ayat 69
[32] QS. As Syu’ara, ayat 49
[33] QS. At Thaha, ayat 71
[34] QS. Al Kahfi, ayat 66
[35] QS. Yusuf, ayat 101
[36] QS. Yusuf, ayat 68
[37] QS. An Nisa’, ayat 113
[38] QS. Ali Imran, ayat 17
[39] QS. Ali Imran, ayat 48
[40] Diantaranya lihat pada Tafsir Al Jallalain dan DEPAG RI
[41] QS. Al Baqarah, ayat 239
[42] QS. Al Baqarah, ayat 31
[43] QS. Al Baqarah, ayat 30
[44] Thalib,M, 1996, Pedidikan Islami …, hal 16
[45] QS. Al Baqarah, ayat 129
[46] QS. Yusuf, ayat 37
[47] QS. Al Maidah ayat 4
[48]Maksudnya: binatang buas itu dilatih menurut kepandaian yang diperolehnya dari pengalaman; pikiran manusia dan ilham dari Allah tentang melatih binatang buas dan cara berburu.
[49] Diriwayatkan Ibn Majah dari Sahal bin Muadz bin Anas dari Bapaknya
[50] Diriwayatkan Ibn Majah,Baihaqi dan Khuzaimah dari Abu Hurairah
[51] QS. Yusuf, ayat 6
[52] Diriwayatkan Oleh Tirmidzi dan Darimi dari Abu Umamah Al Bahili r.a
[53] Dr. Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatul aulad fi islam, terjemahan,hal 129
[54] HR. Ibn Majah
[55] HR. Thabarani
[56] HR. Bukhari
[57] HR. Muslim
[58] Prof. Wan Muhammad Daud,2005
[59] QS. Al Baqarah, ayat 239
[60] .
كُـنَّا نُعَـلِّمُ أَوْلاَدَنَا مَغـَازِىْ رَسُوْلِ اللهِ صَـلىَّ اللهُ عَلَيـْهِ وَسَـلَّمَ كَمَـا نُعَلِّمُـهُمُ السُّـوْرَةَ مِـنَ الْقُـرْآنِ
[61] Syed Naquib Al Attas adalah pemikir dari Malaysia yang sangat dikenal karena gagasan Islamisasi pengetahuan
[62] Al Attas, Konsep Pendidikan ……, hal 61
[63] Jalaluddin, Prof, 2001,Teologi Pendidikan
[64] Dalam kitab Tarbiyatul Aulad fil Islam, 1994
[65] Penerjemahan “Addibuu” menjadi Didiklah juga dilakukan Drs.Jamaluddin Mirri,Lc dalam menerjemahkan hadith tersebut pada buku Tarbiyatul Aulad fil Islam, jilid 2
[66] Arifien, Mohd Zainul,Konsep Ta’dib dalam pendidikan Islam
[67] Diriwayatkan oleh Ibn Majah
[68] Syed Muhammad Naquib Al Attas, 1980 menyampaikan melalui makalahnya yang bertema The concept of education in Islam :A framework for an Islamic philosophy of education.
[69] ibid
[70] Ulwan, AN,prof, Tarbiyatul Aulad …, hal 198
sumber :http://fokammsi.wordpress.com/2008/04/23/tarbiyah-ta%E2%80%99lim-dan-ta%E2%80%99dib-dalam-al-qur%E2%80%99an-dan-as-sunnah/

0 komentar:

Posting Komentar