Sabtu, 05 April 2014

Pengertian Ciri dan Dalil Tentang Wara`

1. Definisi Wara’


Wara’ diambil dari kata yang terdiri dari huruf waw, ra’ dan ‘ain yang berarti menahan, mengepal. Menurut bahasa wara’ adalah menjaga kesucian yaitu menahan diri dari yang tidak pantas, maka dikatakan tawara’, jika seseorang merasa sempit. Wara’ adalah bagian dari takwa.

Menurut istilah syariat, wara’ adalah meninggalkan yang meragukan, menentang yang membuatmu tercela, mengambil yang lebih terpercaya, mengarahkan diri kepada yang lebih hati-hati. Singkatnya, wara’ adalah menjauhi yang syubhat dan mengawasi yang berbahaya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Wara’ adalah dari yang ditakuti akibatnya, yaitu dari yang diketahui haramnya dan yang diragukan keharaman nya, dalam meninggalkan nya tidak terdapat bahaya yang lebih besar daripada melakukan nya.”

Wara secara etimologi (bahasa): berasal dari kata:وَرِعَ , يَرِع  yang di ambil dari ( ورع ) yang bermakna 'menahan' dan 'tergenggam'.

Ibnu Faris berkata:
"Wara bermakna juga: العفة (menjaga diri) yaitu: menahan diri dari hal-hal yang tidak selayaknya…

Ibu Manzhur berkata:
الوَرَع (wara) artinya: merasa risih (jawa=pekewuh).
Dan الوَرِع (dengan mengkasrohkan huruf ro') artinya orang yang khawatir lagi melindungi diri serta merasa risih.

Asal arti kata wara adalah: menahan diri dari yang diharamkan dan merasa risih dengannya. Kemudian dipinjam untuk istilah menahan diri dari hal mubah (yang dibolehkan) dan halal.

Dalam mengartikan makna wara ini ulama berbeda dalam pengungkapannya dengan banyak ungkapan. Beda ungkapan tetapi sepakat dalam makna. Saya nukilkan beberapa di antaranya -dengan taufik Allah-:

Ibnu Umar  berkata:
"Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat ketakwaan sampai ia meninggalkan apa yang meragukan hatinya.

Dengan makna yang serupa diungkapkan oleh sebagian salaf:
"Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat ketakwaan hingga meninggalkan apa yang tidak memudaratkan demi kehati-hatian dari perkara yang mengandung kemudaratkan."




Ibrohim bin Adham berkata:
"Wara adalah meninggalkan setiap perkara samar. Dan meninggalkan apa yang bukan urusanmu adalah meninggalkan hal yang berlebihan.

Dikatakan pula:
"Wara artinya keluar dari syahwat (hawa nafsu) dan meninggalkan kejelekan-kejelekan."
"Nabi  telah merangkum pengertian wara dalam satu kalimat:

))  مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ  ((
"Dari baiknya keislaman seseorang itu adalah meninggalkan apa yang bukan urusannya (dikuasainya)." 
Mencakup 'meninggalkan apa-apa yang bukan urusannya': baik berupa pembicaraan, pandangan, pendengaran, jamahan, langkah, fikiran dan segala aktifitas lahir maupun batin. Kalimat Nabi di atas gamblang dan simpel memberikan pengertian sifat wara." 

Syaikh Muhammad bin Soleh al-Utsaimin -semoga Allah merahmatinya- berkata:
"Wara adalah: meninggalkan apa yang memudaratkan. Di antaranya meninggalkan perkara yang samar hukum dan hakikatnya.


2. Dalil tentang Wara’

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :

من حسن إسلام المرء تركه مالا يعنيه
“Dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.” [Hasan : Sunan Tirmidzi]

Makna hadits ini mencakup setiap yang tidak bermanfaat dari ucapan, penglihatan, pendengaran, ayunan tangan, berjalan, berpikir dan seluruh gerak yang tampak ataupun yang tidak (batin). Hadits ini telah mencakup semua makna 
yang terkandung dalam lafazh wara’.
Dalam hadits lain Nabi  bersabda:
(( فَضْلُ الْعِلْمِ خَيْرٌ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ, وَخَيْرُ دِيْنِكُمْ الوَرَعُ ))
"Keutamaan ilmu lebih baik dibandingkan keutamaan ibadah. Dan kebaikan agamamu adalah wara." [1]




[1] Mundziri -semoga Allah merahmatinya- berkata: "Hadits ini sebagaimana yang terdapat dalam Sahih at-Targhib wa at-Tarhib I/103, diriwayatkan oleh at-Thabaroni di dalam kitab al-Ausaath dan al-Bazzar dengan sanad yang hasan." Telah disahihkan oleh Syaikh al-Albani -semoga Allah merahmatinya- di dalam kitabnya Sahih al-Jami' no.4214. Lebih luasnya mengenai hadits-hadit wara ini lihat Mausu'ah Nadhroh an-Naim VIII/3619.

  Rasul shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ

 Jadilah seorang yang wara’, niscaya engkau menjadi manusia yang paling (tinggi kualitas) ibadahnya (H.R Ibnu Majah, dinyatakan sebagai sanad yang hasan oleh alBushiri dalam Mishbahus Zujaajah)
Ibnul Mubarak (salah seorang guru Imam al-Bukhari) berkata: Sungguh aku mengembalikan harta satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih aku cintai dari pada bersedekah dengan seratus ribu (dirham),…hingga 600 dirham (Shifatus Shofwah (4/139)).

3. Wara' harus dengan Ilmu

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
“Dari kesempurnaan wara’ adalah hendaknya seseorang mengetahui yang terbaik dari dua kebaikan dan yang terburuk dari dua keburukan, mengetahui bahwa landasan syariat adalah mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakan nya, serta mengeliminasi kerusakan dan meminimalkan nya. Maka barangsiapa yang tidak menyeimbangkan antara mengerjakan dan meninggalkan maslahat dan mudharat, mungkin saja dia meninggalkan yang wajib dan melakukan yang haram, dan memandang sikap tersebut sebagai sikap wara’, seperti orang yang tidak ikut serta berjihad bersama pemimpin yang zhalim, lalu melihat hal tersebut sebagai sikap wara’. Misalnya, datang pasukkan tentara Islam kepada pemimpin yang belum bisa diganti, pada diri pemimpin tersebut terdapat sifat kefasikan namun dia berjihad melawan orang-orang kafir. Salah seorang dari mereka berkata : “Saya menahan diri (wara’) untuk tidak berjihad dibelakang orang fasik ini.” Maka apa yang akan terjadi? Pasti musuh akan dapat membinasakan negeri kaum muslimin dan kaum muslimin akan terjerumus dalam kekalahan.

Salah seorang dari mereka bapaknya meninggal dunia, bapaknya itu memiliki harta yang termasar kehalalan nya dan dia memiliki hutang. Ketika orang-orang datang untuk menagih hak mereka, salah seorang anaknya berkata : “Kami menahan diri (wara’) untuk melunasi hutang bapak kami dengan harta yang syubhat ini.” Ini adalah sikap wara’ yang batil dan pelakunya adalah orang yang bodoh.

Jadi kebodohan membuat sebagian orang meninggalkan kewajiban dengan anggapan bahwa dia bersikap wara’, meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjamaah dibelakang imam ahli bid’ah atau pelaku dosa dan menganggap bahwa tindakan tersebut sebagai sikap wara’, menolak untuk menerima persaksian hamba, tidak mau menerima ilmu seorang alim karena pada diri orang tersebut terdapat bid’ah yang tersembunyi, lalu memandang bahwa tidak mau menerima kebenaran yang wajib didengarnya sebagai sikap wara’.”

4. Dalam hal apa kita wara’ ?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
“Perkara-perkara yang wajib dan sunnah tidak boleh diterapkan sikap zuhud dan wara’ terhadapnya. Adapun terhadap perkara yang haram dan makruh layak disikapi dengan zuhud dan wara’ terhadapnya.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
“Wara’ dari yang tidak mengandung mudharat, atau mudharatnya sangat kecil, sementara manfaatnya sangat besar atau dapat menghindarkan mudharat yang lebih besar, maka tindakan wara; seperti ini adalah kebodohan dan kezaliman. Karena ada tiga hal yang kita tidak boleh bersikap wara’ terhadapnya. 1. Manfaatnya yang sebanding. 2. Manfaatnya lebih kuat dan 3. Seluruhnya adalah manfaat. Seperti perkara yang benar- benar mubah atau perkara yang sunnah atau yang wajib. Maka wara’ dari (3 perkara ini) adalah kesesatan (dan kebodohan).”

5. Tingkatan wara’

Sebagian Ulama membagi wara’ kepada tiga tingkatan :

  • Pertama : Wajib, yaitu meninggalkan yang haram. Dan ini umum untuk seluruh manusia.
  • Kedua : Menahan diri dari yang syubhat, ini dilakukan oleh sebagian kecil manusia.
  • Ketiga : Meninggalkan kebanyakan perkara yang mubah, dengan mengambil yang benar-benar penting saja, ini dilakukan oleh para Nabi, orang-orang yang benar (shiddiqin), para syuhada’ dan orang-orang shalih.
Wara’ dari perkara yang mubah maksud nya wara’ dari perkara mubah yang dapat mengantarkan nya kepada yang haram. Bukan didalam hal yang jelas-jelas kemubahan nya. Bahkan perkara mubah bisa menjadi ibadah apabila diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Misalnya, seseorang makan dengan niat untuk mendapatkan tenaga agar bisa beribadah kepada Allah, atau tidur agar bisa melaksanakan shalat malam, menikah dengan niat memberikan nafkah kepada isteri dan mengikuti sunnah Rasulullah dan semisalnya.
6. Potret sikap wara’ orang-orang shaleh
  • Wara’nya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersikap wara’ terhadap buah kurma yang didapatkan dirumahnya. Hasan bin Ali mengambil kurma zakat dan memasukkan kedalam mulutnya, maka Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Kuhk, Kuhk..” yakni agar memuntahkan nya, kemudian beliau bersabda : “Tidakkah kamu menyadari bahwa kita tidak makan dari harta zakat.” [Shahih Bukhari dan Muslim]
  • Wara’nya Abu Bakar Radhiyallahu’anahu
Beliau memiliki seorang budak yang membayar upeti kepadanya. Abu Bakar makan dari upeti tersebut. Suatu hari budak itu membawa makanan, maka Abu Bakr menahan nya. Setelah itu budak tersebut berkata : “Tahukah apa yang telah kamu makan?” Abu Bakar bertanya : “Apa itu?” Dia berkata : “Dulu aku pernah menjadi dukun untuk seseorang dimasa jahiliyah. Sesungguhnya aku tidak pandai berdukun, tetapi aku mau menipunya. Dia menemuiku dan memberikan sesuatu kepadaku dan itulah yang engkau makan.” Maka Abu Bakar memasukkan tangan nya kedalam mulutnya dan memuntahkan seluruh yang ada dalam perutnya.” [Shahih bukhari]
  • Wara’ nya Umar bin Khaththab Radhiyallahu’anhu
Umar bin Khaththab membagikan pakaian kepada para wanita Madinah, maka tersisa pakaian yang bagus. Sebagian orang yang ada disisinya bertanya : “Wahai Amirul Mukminin, berikan ini kepada puteri Rasulullah yang ada disisimu.” Yang mereka maksud adalah Ummu Kaltsum yakni Puteri Ali yang dinikahi Umar, dia adalah cucu Rasulullah, maka Umar berkata : “Ummu Salith lebih berhak.” Ummu Salith adalah wanita Anshar yang berbai’at kepada Nabi karena dia menjahit bagi kami tempat air pada waktu perang Uhud.” [Shahih Bukhari]

7. Buah dan Manfaat Wara’
  • Terhindar dari adzab Allah, pikiran menjadi tenang dan hati menjadi tentram.
  • Menahan diri dari hal yang dilarang.
  • Tidak menggunakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
  • Mendatangkan cinta Allah karena Allah mencintai orang-orang yang wara’.
  • Membuat doa dikabulkan, karena manusia jika mensucikan makanan, minuman dan bersikap wara’, lalu mengangkat kedua tangan nya untuk berdoa, maka doa nya akan segera dikabulkan.
  • Mendapatkan keridhaan Allah dan bertambahnya kebaikan.
  • Terdapat perbedaan tingkatan manusia didalam surga sesuai dengan perbedaan tingkatan wara’ mereka.
8. Tanda-Tanda Wara`
Menurut Al-Faqih, bukti adanya wira'i (wara') dalam diri seseorang adalah jika dalam diri orang tersebut telah ada sepuluh kewajiban, yaitu:

1. Memelihara lisan, tidak sampai ghibah atau menggunjing. Firman Allah swt. dalam surah al-Hujurat ayat 12 yang artinya, "Janganlah setengah di antara kamu menggunjing terhadap setengah lainnya."

2. Tidak buruk sangka. Firman Allah swt. dalam surah al-Hujurat ayat 12 yang artinya, "Hindarkanlah prasangka buruk, karena setengahnya adalah dosa."

Dalam hadits Nabi saw. dijelaskan yang artinya, "Hati-hatilah kamu dari prasangka buruk, karena hal itu adalah perkataan paling bohong."

3. Tidak menghina (merendahkan) orang lain. Firman Allah swt. dalam surah al-Hujurat ayat 11 yang artinya, "Janganlah suatu kaum menghina kaum lainnya, boleh jadi kaum yang dihina itu adalah lebih baik dari pada kaum yang menghina."

4. Memelihara pandangan mata dari yang haram. Firman Allah swt. dalam surah Nur ayat 30 yang artinya, "Katakanlah, ada orang-orang mukmin agar memejamkan pandangan matanya dari yang haram."

5. Berbicara benar. Firman Allah swt. dalam surah al-An'am ayat 152 yang artinya, "Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil."

6. Mengingat nikmat Allah swt. yang telah diberikan kepadanya agar tidak sombong. Firman Allah swt. dalam surah al-Hujurat ayat 17 yang artinya, "Bahkan Allah-lah yang memberi karunia kepadamu ketika kau diberi petunjuk, sehingga kau beriman. Jika kau benar-benar beriman."

7. Menggunakan hartanya dalam jalan kebenaran, bukan pada kebatilan. Firman Allah swt. dalam surah al-Furqan ayat 67 yang artinya, "Orang-orang yang membelanjakan hartanya tiada berlebihan dan tiada kikir, mereka tengah-tengah (berlaku sedang) dalam hal itu."

8. Tidak ambisi kedudukan dan tidak pula berlaku sombong. Firman Allah swt. dalam surah al-Qashash ayat 83 yang artinya, "Negeri akhirat sengaja Kami sediakan bagi mereka yang tidak ambisi kedudukan dunia dan tidak pula suka merusak."

9. Memelihara (waktu) sholat dan menyempurnakan ruku dan sujudnya. Firman Allah swt. dalam surah al-Baqarah ayat 238 yang artinya, "Peliharalah (waktu-waktu) sholat, terutama sholat pertengahan, tegakkanlah dengan khusyu', diam bermunajat."

10. Istiqomah mengikuti sunnah Rasul dan jamaah umat Islam. Firman Allah swt. dalam surah al-An'am ayat 153 yang artinya, "Inilah ajaran yang menuju kepada keridhoan-Ku (jalan lurus-benar), lalu ikutilah, jangan mengikuti jalan-jalan lain, (jika demikian), pasti menyimpang jauh dari jalan Allah. Demikianlah pesan Dia kepadamu agar kamu bertakwa."Ketahuilah bahwa wara' itu baik, tetapi jika berlebih-lebihan sampai di luar batas, akhirnya menjadi tidak baik. Rasulullah saw. bersabda, "Celakalah orang-orang yang melampaui batas."

0 komentar:

Posting Komentar