SELAMAT DATANG DI BLOG GURU NGAJI YGNI

Guru Ngaji YGNI ada untuk pengembangan dakwah lewat pendidikan Diniyah Formal dan Formal serta pemberdayaan masyarakat.

GURU NGAJI YGNI DAN LAZISWAQ YGNI

Anda Peduli Pendidikan Diniyah buat anak anak di desa dan kampung-kampung salurkan bantuan ke LAZISWAQ YGNI BRI : 6602-01-007030-53-9 AN.Yayasan YGNI.

SAVE PALESTINE-SYURIAH-AFGHANISTAN

Indonesia dicap Sebagai Negara Kafir tapi Paling Giat Membela Palestina Merdeka, Arab Diakui Sebagai Pusat Manhaj Sunnah tapi lembek Membla Saudaranya.

ANDA MUSLIM REAKTIF ? KENAPA TIDAK AKTIF ? KALAU ADA PEMURTADAN BARU RIBUT

Kalau ada non muslim peduli terhadap permasalahan lingkungan baik pendidikan ,Sosial ekonomi dan lainnya anda katakan sebagai pemurtadan tapi anda sendiri tidak peduli terhadap mereka, Itulah Islam Reaktif

KAPAN ANDA PEDULI TERHADAP DAKWAH DAN DHUAFA ?

Uang dan harta anda sering digunakan secara berlebihan bahkan mubazir kenapa tidak untuk menolong sesama.

Selasa, 29 April 2014

Dalil Yang Dipakai Tahlilan dan Yasinan

Siapa bilang budaya berssdekah dengan menghidangkan makanan selama mitung dino(tujuh hari) atau empat puluh hari pasca kematian itu budaya hindu ?
Di Indonesia ini banyak adat istiadat orang kuno yang dilestarikan masyarakat. Semisal Megangan, pelepasan anak ayam, siraman penganten, pitingan jodo, duduk-duduk di rumah duka dan lainnya. Akan tetapi bukan berarti setiap adat istiadat atau tradisi orang kuno itu tidak boleh atau haram dilakukan oleh seorang muslim. Dalam tulisan sebelumnya al-faqir telah menjelaskan tentang budaya atau tradisi dalam kacamata Syare’at di

http://warkopmbahlalar.com/2011/strategi-dakwah-wali-songo.html. atau di ; 

Tidak semua budaya itu lantas diharamkan, bahkan Rasulullah Saw sendiri mengadopsi tradisi puasa ‘Asyura yang sebelumnya dilakukan oleh orang Yahudi yang memperingati hari kemenangannya Nabi Musa dengan berpuasa. Syare’at telah memberikan batasannya sebagaimana dijelaskan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib saat ditanya tentang maksud kalimat “ Bergaullah kepada masyarakat dengan perilaku yang baik “, maka beliau menjawab:  “Yang dimaksud perkara yang baik dalam hadits tersebut adalah :
هو موافقة الناس في كل شيئ ما عدا المعاصي
“ Beradaptasi dengan masyarakat dalam segala hal selain maksyiat “. Tradisi atau budaya yang diharamkan adalah yang menyalahi aqidah dan amaliah syare’at atau hukum Islam.
Telah banyak beredar dari kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan sampai tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan dan asumsi mereka ini?
Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata
 tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in.
Perhatikan dalil-dalilnya berikut ini :
Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :
قال طاووس : ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
“ Thowus berkata:  “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.
Sementara dalam riwayat lain :
عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا
“ Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “.
Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.

Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.

Menurut imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Saw.
Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang diakui ulama ushul dan ulama hadits bahwa:  “Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak  sampai kepada Nabi Saw).
Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ;
ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw sendiri.
(al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).
Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi Saw, bahkan telah dilihat dan diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad Saw.

Minggu, 27 April 2014

Rukun Puasa Wajib

Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah 

Ada perberbedaan pendapat dalam masalah niat. 
Mazhab Hanafi dan Hanbali bahwa niat adalah syarat sah puasa, 
sedangkan mazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa niat termasuk rukun selain menahan (dari pembatal puasa).  Baik niat dianggap rukun atau syarat, yang jelas puasa –seperti ibadah lainnya-  tidak sah tanpa niat,  kemudian menahan diri dari pembatal-pembatal (puasa).
(Al-Bahru Ar-Raiq, 2/276. Mawahibul Jalil, 2/378. Nihayatul Muhtaj, 3/149. Nailul Ma’arib Syarh Dalil At-Thalib, 1/274).



وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki.
Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
إِنَّمَا ذَاكَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِ
Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya malam”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan seperti itu pada ‘Adi bin Hatim karena sebelumnya ia mengambil dua benang hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang hitam, namun ternyata tidak kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau pun menertawai kelakukan ‘Adi bin Hatim.

Jumat, 25 April 2014

Biografi Ibnu Katsir

Nama lengkap Ibnu Katsir ialah, Abul Fidâ ‘Imaduddin Isma’il bin Syeh Abi Haffsh Syihabuddin Umar bin Katsir bin Dla`i ibn Katsir bin Zarâ` al-Qursyi al-Damsyiqi. Ia di lahirkan di kampung Mijdal, daerah Bashrah sebelah timur kota Damaskus, pada tahun 700 H. Ayahnya berasal dari Bashrah, sementara ibunya berasal dari Mijdal. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Hafsh Umar ibn Katsir. Ia adalah ulama yang faqih serta berpengaruh di daerahnya. Ia juga terkenal dengan ahli ceramah. Hal ini sebagaimana di ungkapkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya (al-Bidâyah wa al-Nihâyah). Ayahnya lahir sekitar tahun 640 H, dan ia wafat pada bulan Jumadil ‘Ula 703 H. di daerah Mijdal, ketika Ibnu Katsir berusia tiga tahun, dan dikuburkan di sana.
Ibnu Katsir adalah anak yang paling kecil di keluarganya. Hal ini sebagaimana yang ia utarakan;  “ Anak yang paling besar di keluarganya laki-laki, yang bernama Isma’il, sedangkan yang paling kecil adalah saya “. Kakak laki-laki yang paling besar bernama Ismail dan yang paling kecilpun Ismail.
Sosok ayah memang sangat berpengaruh dalam keluarga. Kebesaran serta tauladan ayahnyalah pribadi Ibnu Katsir mampu menandingi kebesaran ayahnya, bahkan melebihi keluasan ilmu ayahnya. Dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, serta senantiasa menjunjung nilai-nilai keilmuan, mampu melahirkan sosok anak saleh dan bersemangat dalam mencari mutiara-mutiara ilmu yang berharga dimanapun. Dengan modal usaha dan kerja keras Ibnu Katsir menjadi sosok ulama yang diperhitungkan dalam percaturan keilmuan.
Ibnu Katsir mulai sedari kecil mencari ilmu. Semenjak ayahnya wafat kala itu Ibnu Katsir baru berumur tiga tahun, selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahab yang mendidik dan mengayomi Ibnu Katsir kecil. Ketikagenap usia sebelas tahun, Ia selesai menghafalkan al-Qur`an.
Pada tahun 707 H, Ibnu Katsir pindah ke Damaskus. Ia belajar kepada dua Grand Syaikh Damaskus, yaitu Syaikh Burhanuddin Ibrahim Abdurrahman al-Fazzari (w. 729) terkenal dengan ibnu al-Farkah,  tentang fiqh syafi’i. lalu belajar ilmu ushul fiqh ibn Hâjib kepada syaikh Kamaluddin bin Qodi Syuhbah. Lalu ia berguru kepada; Isa bin Muth’im, syeh Ahmad bin Abi Thalib al-Muammari (w. 730), Ibnu Asakir (w. 723), Ibn Syayrazi, Syaikh Syamsuddin al-Dzhabi (w. 748), Syaikh Abu Musa al-Qurafi, Abu al-Fatah al-Dabusi, Syaikh Ishaq bin al-Amadi (w. 725), Syaikh Muhamad bin Zurad. Ia juga sempat ber-mulajamah kepada Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazi (w. 742), sampai ia mendapatkan pendamping hidupnya. Ia menikah dengan salah seorang putri Syaikh al-Mazi. Syeh al-Mazi, adalah yang mengarang kitab “Tahdzîbu al-kamâl” dan “Athrâf-u al-kutub-i al-sittah“.
Begitu pula, Ibnu Katsir berguru Shahih Muslim kepada Syaikh Nazmuddin bin al-Asqalani. Selain guru-guru yang telah dipaparkan di atas, masih ada beberapa guru yang mempunyai pengaruh besar terhadap Ibnu Katsir; mereka adalah Ibnu Taymiyyah. Banyak sekali sikap Ibnu Katsir yang terwarnai dengan Ibnu Taymiyah, baik itu dalam berfatwa, cara berpikir juga dalam metode karya-karyanya. Dan hanya sedikit sekali fatwa beliau yang berbeda dengan Ibnu Taymiyyah.
Sementara murid-murid beliaupun tidak sedikit, diantaranya Syihabuddin bin haji. Pengakuan yang jujur lahir dari muridnya, “Ibnu Katsir adalah ulama yang mengetahui matan hadits, serta takhrij rijalnya. Ia mengetahui yang shahih dan dha’if”. Guru-guru maupun sahabat beliau mengetahui, bahwa ia bukan saja ulama yang kapabel dalam bidang tafsir, juga hadits dan sejarah. Sejarawan sekaliber al-Dzahabi, tidak ketinggalan memberikan sanjungan kepada Ibnu Katsir, “Ibnu Katsir adalah seorang mufti, muhaddits, juga ulama yang faqih dan kapabel dalam tafsir”.
Genap usia tujuh puluh empat tahun akhirnya ulama ini wafat, tepatnya pada hari Kamis, 26 Sya’ban 774 H. Ia di kuburkan di pemakaman shufiyah Damaskus, disisi makam guru yang sangat dicintai dan dihormatinya yaitu Ibnu Taimiyah.
Karya Karya Ibnu Katsir
Sekilas tentang karya  - karya Ibnu katsir
Sosok ulama seperti Ibn Katsir, memang jarang kita temui, ulama yang lintas kemampuan dalam disiplin ilmu. Spesialisasinya tidak hanya satu jenis ilmu saja. Selain itu, ia juga sangat produktif dalam karya, telah banyak karya-karya yang lahir dari tangan dan ketajaman berpikirnya. Di antara karya-karya beliau adalah :
1.     Tafsîr al-Qur`an al-Azhîm ( akan kita bahas dalam tulisan ini)
2.         Al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Buku ini membahas tentang sejarah. Buku ini sering dijadikan rujukan para peneliti sejarah. Sumbernya begitu autentik. Karyanya ini berisikan berbagai tinjauan sejarah. Pertama, pemaparan tentang sejarah dan kisah Nabi-nabi beserta umatnya di masa lalu. Kisah ini ditopang dengan dalil-dalil yang kuat, baik itu dari al-Qur`an maupun al-Sunnah, juga pendapat-pendapat para mufassir, muhaddits dan sejarawan. Kedua, Ia menguraikan secara jelas mengenai bangsa Arab jaman jahiliyah, kemudian bangsa Arab ketika kedatangan Nabi Saw dan perjalanan dakwah Nabi Saw beserta para sahabatnya. Buku ini di akhiri dengan kisah Dazzal, juga ia ungkapkan mengenai tanda-tanda kiamat lainnya.
3.         Al-Takmîl fî makrifati al_tsiqât wa al-dlu’afâ` wa- al majâhil.                               Buku ini adalah rujukan dalam ilmu hadist serta untuk mengetahui jarh wa ta’dil. karya ini adalah karya gabungan dua karya imam Dzahabi yaitu Tahdzîbu al-kamâl fî asmâ`i al rijâl dan Mîzân al i’tidâl fî naqdi al-rijâl dengan tambahan dalam jarh wa ta’dil.
4.        Al-Hadyu wa al-Sunan fî Ahâdits al-Masânid wa al-Sunan atau yang mashur dengan istilah Jâmi’ al-Masânid. Dalam kitab ini, Ibnu Katsir menggabungkan kitab musnad imam Ahmad (w.241), al-Bajjar (w.291), Abi Ya’la (w.307) Ibn Abi Syaybah (w.297), bersama kitab yang enam. Kemudian Ia menyusunnya dengan bab per bab.
5.      Al-Sîrah al-Nabawiyah.
6.      Al-Musnad al-syaykhân (musnad Abu Bakar dan Umar).
7.          Syamâil al-rasûl wa dalâilu nubuwwatihi wa fadlâilihi wa khashâ`isihi (di nukil    dari kitab bidâyah wa nihâyah)
8.        Ikhtishar al-Sîrah al-Nabawiyah. Di ambil dari bidâyah wa nihâyah terkhusus    mengenai kisah bangsa Arab jaman jahiliyah dan jaman Islam serta sirah Nabi Saw.
9.       Al-Ahâdîts al-tawhîd wa al-rad ‘alâ al-syirk.
10.        Syarh Bukhari (tidak selesai)
11.        Takhrîj ahâdîts muktashar ibn al-hâjib.
12.      Takhrîj ahâdîts adillatu al-tanbîh fî fiqh al-syaafi’i.
13.     Muktashar kitab Bayhaqi (al-madkhal ilâ al-sunan)
14.     Ikhtishar ‘ulûmu al-hadîts li ibn al-shalâh.
15.     Kitâb al-simâ’.
16.     Kitâb al-ahkâm (tidak selesai hanya sampai bab haji saja)
17.     Risâlah al-jihâd.
18.     Thabâqât al-syafi’iyyah.
19.     Al-Kawâkib al-Dirâri (dinukil dari kitab bidâyah wa nihâyah)
20.     Al-Ahkâm al-Kabîrah.
21.     Manâqib al-syâfi’i..
3.2.      Bentuk fisik tafsir Ibnu Katsir
Pada mulanya  buku ini ditulis dengan sepuluh jilid, tapi kemudian dicetak dengan empat jilid dengan jilidan yang sangat tebal. Pada terbitan Daarul Jiil, Beirut, tahun 1991, kalasifikasinya seperti berikut :
1.      Jilid I, dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nisaa. Tebal : 552 halaman
2.      Jilid II, dari surat al-Maidah sampai surat an-Nahl. Tebal : 573 halaman
3.      Jilid III, dari surat al-Israa samapai surat Yaasiin.    Tebal : 558 halaman

4.      Jilid IV, dari surat as-Shaafat sampai surat an-Naas. Tebal :580 halaman

Rabu, 23 April 2014

Hukum Dan Manfaat Sholat Berjamaah

Manfaat (Fawa`id) Sholat Berjamaah

1. Mematuhi Perintah Allah SWT

Firman Allah: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’” QS [2]:43


Di dalam Tafsir Ibnu Katsir I/120 (Penerbit Gema Insani,cetakan ke-VIII) di katakan bahwa: “Sholat dalam penggalan ayat ini berimplikasi untuk dilakukan secara berjama’ah, yakni; sholatlah bersama jama’ah. Banyak ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil yang mewajibkan sholat berjama’ah.”

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir I/120 (Penerbit Pustaka Sahifa, cetakan pertama) di katakan bahwa: “Ini adalah perintah untuk sholat berjama’ah dan kewajibannya, dan bahwasanya ruku’ itu merupakan rukun di antara rukun-rukun sholat, karena Allah SWT menyebutkan sholat dengan kata ruku’, sedangkan mengungkapkan suatu ibadah dengan kata yang merupakan bagian darinya adalah menunjukkan kepada wajibnya hal itu kepadanya”.
Firman Allah SWT: 

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُواْ فَلْيَكُونُواْ مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّواْ فَلْيُصَلُّواْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ بِكُمْ أَذًى مِّن مَّطَرٍ أَوْ كُنتُم مَّرْضَى أَن تَضَعُواْ أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُواْ حِذْرَكُمْ إِنَّ اللّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَاباً مُّهِيناً
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka'at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” (QS An-Nisa [4]:102)

Di dalam Tafsir as-Sa’di II/180 (Penerbit Pustaka Sahifa, cetakan pertama) di katakan bahwa: “Ayat ini menunjukkan bahwa sholat berjama’ah itu hukumnya wajib ‘ain, karena dua alasan:
  • Bahwasanya Allah SWT memerintahkan hal tersebut dalam kondisi yang berat, yaitu saat memuncaknya rasa takut (khouf) terhadap musuh dan waspada terhadap serangan mereka, dan apabila Allah SWT mewajibkan sholat berjama’ah dalam kondisi segmenting itu, maka apalagi bila berada pada kondisi yang aman (normal). Tentu lebih utama dan lebih patut di tegakkan.
  • Bahwasanya yang paling baik dan paling utama adalah sholat bersama satu imam, demi bersatunya kaum muslimin, tidak bercerai berai, agar hal tersebut menjadi satu faktor yang memberi rasa gentar kepada musuh-musuh kaum muslimin.
2. Shalatnya disaksikan dan dido’akan oleh para Malaikat
Dari Abu Hurairah r.a., katanya Nabi saw.bersabda: “Pahala shalat berjama’ah melebihi pahala shalat sendirian dua puluh lima derajat. Malaikat malam dan malaikat siang bertemu pada waktu shubuh.” Dalam hadits lain beliau saw bersabda: “ Sesungguhnya Malaikat senantiasa mendoakan seseorang kamu, selama dia masih berada di tempatnya shalat dan wudhuknya belum batal. Katanya: “ Wahai , Allah! Ampunilah dia, dan berilah dia rahmat.” Dan dia dianggap seperti dalam shalat selama dia menunggu waktu shalat.” (HR Muslim, hadits No.608 & 622)
Karena itu bacalah Qur’an pada waktu Subuh, karena membacanya waktu Subuh disaksikan para malaikat.” 

3. Mendapat Naungan di Hari Kiamat

Dalam hadits shahih disebutkan, “Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan di sisi Allah ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Salah satunya adalah orang yang “hatinya selalu bergantung di masjid”. (Shahih Bukhari: No.376-Muslim:No.989).

Imam Nawawi berkata,’Makna “hatinya selalu bergantung di masjid” adalah hatinya sangat cinta kepada masjid dan selalu mengikuti shalat berjama’ah di dalamnya.” Setiap kali adzan berkumandang hatinya langsung tertuju ke masjid. Ia meninggalkan semua aktifitasnya dan bersegera ke masjid menyongsong kemenangan yang dijanjikan oleh Allah.

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْيَخْشَ إِلاَّ اللّهَ فَعَسَى أُوْلَـئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.”(QS at-Taubah [9]:18)
Dalam hal ini, lagi-lagi Rasulullah telah memberikan contoh luar biasa. Seasyik dan sesibuk apapun, jika adzan berkumandang, beliau akan segera meninggalkan pekerjaannya. “Aisyah r.a berkisah, ”Rasulullah pernah begitu asyik mengobrol dengan kami, tetapi ketika adzan berkumandang beliau langsung meninggalkan kami. Ia memutuskan pembicaraan seolah tidak mengenal kami dan kami pun tidak mengenalnya.”
4. Sebagai bukti dan tanda orang yang beriman
Dari Abu Abu Sa’id al Khudri r.a., sesungguhnya Rasulullah Saw.bersabda: “Jika kamu melihat seseorang terbiasa pergi ke masjid, maka saksikanlah bahwa dia itu beriman.” (HR.Tirmidzi, Ibnu Mardawaih, dan al-Hakim)
5. Orang yang shalat Jum’at adalah merupakan tamu Allah SWT.
Dari Salman r.a., bahwasanya Rasulullah Saw.bersabda: “Barangsiapa berwudhu’ di rumahnya lalu dia membaguskan wudhu’nya, kemudian mendatangi masjid, maka ia adalah orang yang berkunjung kepada Allah SWT (tamu Allah SWT), dan yang dikunjungi pasti akan menghormati orang yang mengunjunginya”. (HR.ath-Thabrani)

6. Lebih suci di sisi Allah SWT daripada sholat sendiri-sendiri.

Dari Qobats bin Asyyam al-Laitsi r.a., berkata, Rasulullah Saw.bersabda: “Sholat dua orang yang salah satunya menjadi imam bagi yang lain adalah lebih suci di sisi Allah daripada sholat empat orang sendiri-sendiri. Sholat empat orang (berjama’ah) lebih suci di sisi Allah daripada sholat delapan orang sendiri-sendiri, dan Sholat delapan orang yang salah satunya menjadi imam bagi yang lain adalah lebih suci di sisi Allah daripada sholat seratus orang sendiri-sendiri.” (Shahih Targhib wa Tarhib, No.412, Penerbit Pustaka Sahifa)
7. Allah SWT gembira dengan kedatangan hamba-Nya ke Masjid.
Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw.bersabda: “Tidaklah seseorang senantiasa mendatangi masjid untuk sholat dan berdzikir, kecuali Allah SWT berbinar-binar kepadanya.” (Shahih Targhib wa Tarhib, No.327, Penerbit Pustaka Sahifa)
8. Menta’ati perintah Rasulullah SAW
Dari ‘Abdullah Ibn Mas’ud r.a., katanya, : “Siapa yang ingin bertemu dengan Allah SWT kelak sebagai seorang muslim yang sempurna, maka hendaklah ia selalu sholat berjama’ah setiap mendengar adzan, Karena Allah SWT telah mengukuhkan (menetapkan) hukum-hukum agama kepada Nabi-Nya, diantaranya ialah sholat berjama’ah itu.” (Shahih Muslim, No. 613)
9. Para Malaikat berebut mencatat perkara yang dapat menghapus dosa
Dari Ibnu Abbas r.a., katanya, Rasulullah SAW bersabda: “Tadi malam Allah SWT menemuiku (dalam mimpi) dalam bentuk yang paling bagus, lalu Allah SWT berfirman: “Hai Muhammad, apakah kamu tahu, tentang masalah apa malaikat bertengkar?” Beliau bersabda: ”Aku menjawab,“tidak tahu”. Lalu Allah SWT meletakkan tangan-NYA di antara dua bahuku (tengkukku) hingga aku dapat merasakan dingin di antara kedua susuku (dadaku). Ketika itu aku dapat mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Allah SWT berfirman lagi: “Hai Muhammad, apakah kamu tahu masalah apa malaikat bertengkar?” ”Aku menjawab,“Yayentang kaffarat (perkara-perkara yang dapat menghapus dosa), kaffarat adalah diam di masjid setelah melakukan sholat, berjalan kaki menuju sholat berjama’ah, dan menyempurnakan wudhu’ di waktu-waktu yang tidak di sukai (seperti musim dingin)”. Barangsiapa yang melakukan itu, maka ia hidup dengan baik, - mati dengan baik, dan dia bersih dari segala dosa seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya”. (Shahih Sunan Tirmidzi, No.3233-3235)
10. Tidak akan pernah dikuasai Setan
Dari Abu Darda’ r.a., berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada tiga orang di sebuah desa atau pedalaman, yang tidak mendirikan sholat berjama’ah kecuali syaithon telah menguasai mereka, maka berjama’ahlah karena srigala hanya memangsa domba yang menyendiri dari kelompoknya.” (Shahih Targhib wa Tarhib, No.427, Penerbit Pustaka Sahifa)

11. Mendapat pahala seperti pahala orang yang melaksanakan Haji.

Dari Abu Umamah r.a.,bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan suci untuk mengerjakan sholat wajib di (masjid), maka pahalanya seperti pahala orang ber-haji”. (Shahih Sunan Abu Daud No.558)

12. Mendapat jaminan Allah SWT.

Dari Abu Umamah al-Bahili r.a., dari Rosululloh SAW, beliau bersabda: “Tiga orang yang semuanya mendapat jaminan dari Allah SWT, yaitu : "Orang yang pergi ke masjid, Ia mendapat jaminan dari Allah hingga meninggalnya, yaitu Allah akan memasukkannya ke dalam surga.” (Shahih Sunan Abu Daud No.2494) 

13. Diampuni Allah SWT akan dosa-dosanya.
Dari ‘Utsman bin ‘Affan r.a., katanya dia mendengar Rosululloh SAW bersabda: “Siapa yang berwudhu’ untuk sholat, dan disemprnakan wudhu’nya itu sebagus-bagusnya, sesudah itu ia pergi menunaikan sholat wajib berjama’ah dengan orang banyak di masjid, niscaya Allah mengampuni dosa-dosanya” (Shahih Muslim, No.181) 

14. Salahsatu sebab yang membuat ta’jub Allah SWT.
Dari Abdullah bin Umar r.a. berkata, aku mendengar Rassulullah SAW bersabda:“Sesungguhnya Allah Tabaroka wa Ta’ala ta’jub terhadap sholat dengan berjama’ah.” (Shahih Targhib wa Tarhib, No.406, Penerbit Pustaka Sahifa)

15. Setiap langkah kaki menuju ke Masjid tercatat di Lauh Mahfuzh.

“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Tafsir Ibnu Katsir III/982-983 (Penerbit Gema Insani,cetakan ke-VI)
16. Orang yang keluar untuk sholat berjema’ah, sudah dianggap dalam Sholat.
Dari Ka’ab bin ‘Ujroh r.a. ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika salah seorang kalian berwudhu’ dengan sempurna kemudian keluar menuju masjid, Maka janganlah menjalinkan kedua tangannya, karena ia dipandang dalam keadaan sholat.” (Shahih Sunan Abu Daud, No.562)
17. Allah, Rasul dan Malaikat-Nya memberi shalawat kepada orang yang berada pada Shaf.
Dari Abu Umamah r.a., katanya Rasululloh SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat berselawat untuk shof pertama” Mereka (para shahabat) berkata: ” Ya Rasulullah, juga untuk shaf yang kedua?” Rasululloh menjawab: "Sesungguhnya Allah dan para malaikat berselawat untuk shof pertama” Mereka (para shahabat) berkata: ”Ya Rasulullah, juga untuk shaf yang kedua?” Rasululloh menjawab: ”Juga untuk shof yang ke dua.” (Shahih Targhib wa Tarhib, No.491)

Dari Irbadh bin Syariyah r.a., bahwa Rasulullah SAW selalu memohonkan ampun untuk shof pertama sebanyak 3 kali dan shof kedua 1 kali.” (Shahih Sunan Ibnu Majah, No.822)

Dari ‘Aisyah r.r., dia berkata Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-NYA mengucapkan sholawat untuk shof kanan.” (Shahih Sunan Abu Daud, No.676)
Dari ‘Aisyah r.r., dia berkata Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-NYA mengucapkan sholawat untuk orang yang menyambung shof.”(Shahih Sunan Ibnu Majah, No.821)

18. Menyingkap kedok kaum Munafik

Pada zaman Rasulullah, sholat jama’ah juga berfungsi menyingkap kedok para musang berbulu domba. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya sholat paling berat bagi kaum munafik adalah sholat subuh dan isya’. Kalaulah mereka tahu pahala keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak-rangkak.” (HR Muslim, hadits No.610)

Ibnu Mas’ud berkata: “Sungguh Rasulullah telah mengajarkan kepada kami jalan-jalan petunjuk dan diantara jalan petunjuk itu adalah sholat di masjid yg di dalamnya di kumandangkan adzan. Dan tidaklah seorang meninggalkan sholat berjama’ah kecuali orang munafik yang telah jelas nifaknya.” Perkataan Abdullah Ibnu Mas’ud r.a ini kiranya membuat kita waspada. Sebab malas sholat berjama’ah termasuk tanda-tanda kemunafikan.

19. Mempererat Ukhuwah

Selain fungsi yang bernuansa ukhrowi seperti diatas, sholat jama’ah juga memiliki fungsi-fungsi sosial kemasyarakatan. Ia adalah media untuk merekatkan ukhuwah imaniah antar sesama muslim.

Ketika Rasulullah tiba di Madinah [awal hijrah], misi pertama beliau adalah mempersatukan kaum Muhajirin dan Anshor. Langkah apa yang beliau tempuh mewujudkannya? Beliau segera membangun masjid. Melalui masjid, upaya merajut ukhuwah itu bias di wujudkan. Tidak hanya itu, dari masjid ini pula lah lahir ide dan keputusan-keputusan penting yang menjadi rahasia dibalik suksesnya beliau dalam berdakwah.
20. Menghapus dosa dan meninggikan derajat
Shalat jama’ah juga tidak hanya menambah perbendaharaan pahala kita. Ia juga berfungsi sebagai penghapus dosa. Setiap ayunan langkah menuju masjid akan menghapus satu dosa. Cobalah kita renungkan, berapa dosa yang akan terhapus jika kita bisa melaksanakan sholat berjama’ah lima kali sehari di masjid?.

Kehebatan shalat ber-jama’ah tidak berhenti disitu saja, sebab disamping menghapus dosa, setiap langkah-langkah kaki yg diayunkan, Allah mengkatnya satu derajat. Bayangkan bahwa setiap ayunan satu langkah kaki merupakan penghapusan satu dosa, dan ayunan langkah kaki yg satunya lagi, Allah meninggikannya satu derajat, sedangkan duduknya kita menunggu waktu sholat, oleh Allah sudah dianggap sedang berada di dalam sholat.
Subhanallah!


Rasulullah bersabda: “Maka sesungguhnya jika salah seorang diantara kalian berwudhu dengan baik kemudian datang ke masjid tidak lain kecuali untuk sholat, maka tidaklah ia melangkah kecuali Allah mengangkat derajatnya dengannya [dengan langkahnya] dan menghapuskan dosanya sampai ia masuk ke masjid. Jika ia telah masuk ke masjid maka ia seperti dalam sholat selama ia berada di dalamnya karena sholat.” (HR Muslim,No. 621)

Tak heran jika seorang shahabat yang tinggal sangat jauh dari masjid begitu gigih untuk hadir berjama’ah di masjid. Beberapa shahabat ada yang iba melihat keletihan yang tampak pada wajah shahabat ini setiap kali tiba di masjid. Mereka mengusulkan agar ia membeli keledai utk tunggangannya di malam gelap atau di panas terik atau sebaiknya pindah saja ke rumah yang lebih dekat ke masjid. Tapi shahabat mulia ini enggan menerima usulan itu. Bukan apa-apa, ia hanya takut kehilangan keutamaan berjalan menuju masjid. Ia tahu persis keutamaan melimpah seperti itu sangat jarang ditemui dalam ibadah-ibadah lain. (Lihat Shahih Muslim No.624-625)

21. Rasulullah dan Shalat Jama’ah
Rasulullah sendiri telah memberikan teladan yg sangat baik dalam hal sholat berjama’ah. Ketika menjelang wafat, beliau masih berjuang sekuat tenaga agar bisa datang ke masjid. Beberapa kali beliau jatuh pingsan. Tapi setiap kali tersadar, beliau selalu minta air wudhu agar bisa ke masjid. Bahkan menurut ‘Aisyah, ketika beliau menyadari ketidak-berdayaannya untuk ke masjid, beliau segera meminta dua orang shahabat untuk memapahnya. ‘A’isyah menggambarkan, Rasulullah ke masjid dengan wajah merintih karena menahan rasa sakit. Sikap luar biasa ini diikuti pula oleh para shahabat beliau. 


Rasulullah SAW akan membakar rumah orang yang meninggalkan sholat berjema’ah
Dari Usamah bin Zaid r.a., ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:”Hendaklah sekelompok orang dapat mengehentikan kebiasannya untuk meninggalkan sholat berjama’ah, atau akan aku bakar rumah-rumah mereka”. (Shahih Sunan Ibnu Majah, No.654).

Meninggalkan sholat berjama’ah termasuk salah satu tanda munafiq
Dari Ubay bin Ka’ab r.a., dia berkata: Pada suatu hari Rasulullah SAW mengerjakan sholat subuh bersama kami, lalu beliau bersabda:”Apakah si fulan hadir?” Mereka (para sahabat) menjawab: “Tidak”. Beliau bersabda:”Apakah si fulan hadir?” Mereka (para sahabat) menjawab: “Tidak”. Beliau SAW bersabda: “Sesungguhnya sholat paling berat bagi kaum munafik adalah sholat subuh dan isya’. Kalaulah mereka tahu pahala keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak...” (HR Muslim, hadits No.610)

Dalam hadist lain beliau SAW bersabda: “Sesungguhnya shof pertama adalah seperti shof para malaikat (karena dekatnya pada Allah). Seandainya kalian mengetahui keutamaan shof pertama, pasti kalian akan memperebutkannya. Sesungguhnya sholat seseorangyang berjama’ah dengan satu orang , adalah lebih baik daripada sholat sendirian.Dan sholatnya bersama dua orang jama’ah, adalah lebih baik daripada sholat bersama seorang jama’ah.. Semakin banyak jama’ah, maka semakin di cintai oleh Allah”. (Al Musnad, No.7913 (XV/50-51), Syaikh Ahmad Syakir mengatakan sandanya Hasan) 

Dalam riwayat Imam Ahmad di jelaskan tentang ciri-ciri orang munafiq,
Dari Abu Hurairah r.a.,dari Nabi SAW,Beliau bersabda: “Sesungguhnya kaum munafiq memiliki beberapa tanda: ”Salam mereka adalah caci maki - makanan mereka adalah rampasan, Ghonimah mereka adalah kedengkian - mereka tidak dekat dengan masjid melainkan menjauhinya. Tidak mendatangi sholat kecuali terlambat - sombong Tidak berbelas kasih dan tidak di belas kasihi - menjadi kayu pada malam hari-berteriak-teriak pada siang hari.” (Al Musnad, No.7913 (XV/50-51), Syaikh Ahmad Syakir mengatakan Sanadnya Hasan)

Mengarah kepada kekafiran
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a, dia berkata: “…Seandainya kamu mengerjakan sholat dalam rumahmu, lalu meninggalkan masjid-masjid kamu, berarti kamu telah meninggalkan sunnah-sunnah Nabi kamu, dan jika telah meinggalkan sunnah Nabi kamu, pasti kamu telah kafir.”

Nabi tidak memberikan keringanan (rukhshah) untuk meninggalkan sholat berjama’ah
Dari Ibnu Ummi Maktum r.a, bahwasanya dia pernah bertanya kepada Nabi SAW, maka dia berkata: “Wahai Rasululloh! Sesungguhnya saya seorang laki-laki yang buta, rumah jauh, tidak ada menuntunku, di kota Madinah banyak binatang berbisa (ular dsb), dan binatang buas, karena itu adakah keringanan buat saya untuk sholat di rumah?” Nabi SAW bersabda: “Apakah kamu mendengar seruan adzan (Hayya ‘alash-sholah-Hayya ‘alal falaah)?” Kata Ummi Maktum: “Ya” Nabi SAW bersabda: “Aku tidak mendapatkan keringanan bagimu untuk meninggalkan sholat berjama;ah, karena itu penuhilah”. (Shahih Sunan Ibnu Majah, No.652).

Cukuplah menjadi pelajaran berharga bagi kita kegigihan Ibnu Ummi Maktum. Sahabat ini buta [tuna netra] dan rumahnya lumayan jauh dari masjid. Konon shahabat yang juga merupakan salah satu dari dua muadzin Rasulullah [disamping Bilal bin Rabah] ini, pernah meminta keringanan meninggalkan sholat berjama’ah karena kebutaannya. Tapi karena panggilan adzan masih didengarnya maka dispensasi itu tidak diberikan. Maka sejak itu Ibnu Maktum selalu hadir ke masjid meski ia buta dan tidak ada yang menuntunnya!
Subhanallah!

Lalu bagaimanakah dengan kita? Kita bukan nabi dan bukan pula shahabat yang memiliki seabrek keutamaan. Kita hanyalah manusia biasa yang banyak berbuat salah. Termasuk kebodohan yang nyata jika kita tidak bisa memanfaatkan seabreg peluang-peluang emas yang terhimpun dalam sholat jama’ah itu. Mari kita fokuskan pandangan kita pada besarnya pahala dan keutamaan yang ada di dalam sholat jama’ah. Para ulama sepakat, shalat jama’ah merupakan ibadah yang sangat mulia dan memiliki keutamaan luar biasa! Semogalah kita bisa merebut keutamaan-keutamaan itu!

Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Azza wa Jalla. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw.beserta keluarga dan shahabatnya. 


إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.
Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
(QS Al-Ahzab [33]:5)

Senin, 21 April 2014

Cara Dan Bacaan Sholat Istisqa`

Istisqa’. Secara harfiah, istisqa’ artinya minta hujan. Sebagai istilah Agama Islam, denganistisqa’ dimaksudkan suatu ibadah tertentu yang berwujud doa-doa atau shalat untuk minta kepada Allah diturunkan hujan pada masa terjadinya kemarau dan musim kering yang panjang.
Dalam Putusan Tarjih (Muktamar Tarjih di Garut, 1976) dituntunkan, bahwa minta hujan itu dapat dilakukan secara perorangan atau berkelompok. Apabila berkelompok, maka diperlukan adanya imam dan dapat dilakukan dengan berdoa bersama saja, dengan dipimpin oleh imam atau dengan melakukan shalat. Apabila minta hujan itu dilakukan dengan berdoa saja, doa itu dapat dilakukan dalam khutbah Jum’at, atau di luar khutbah Jum’at, baik dalam masjid (di atas mimbar) maupun di luar masjid. Dan apabila dilakukan dengan shalat, hal itu dilaksanakan di lapangan, dengan khutbah sesudah shalat. Dan boleh juga khutbah dilakukan sebelum shalat. [Lihat, Putusan Tarjih, Berita Resmi Muhammadiyah, No. 76/1977, hal. 5 (teks Arab) dan hal. 22-23 (terjemahannya)]
Dalam kitab Subulus-Salam dinyatakan, bahwa berdasarkan berbagai hadits, terdapat enam cara Nabi saw melakukan minta hujan. Pertama, Nabi saw keluar ke lapangan melakukan shalat istisqa’ dengan khutbah. Kedua, Nabi saw berdoa minta hujan dalam khutbah Jum’at. Ketiga, Nabi saw berdoa minta hujan di atas mimbar di masjid Madinah di luar hari Jum’at, tanpa shalat. Keempat, Nabi saw minta hujan dengan berdoa, duduk di dalam masjid. Kelima, Nabi saw berdoa minta hujan di Ahjaruz-Zait, dekat az-Zaura’, di luar masjid. Dan keenam, Nabi saw minta hujan ketika di medan perang. (Subulus-Salam, II: 78)
Para ulama fiqih sepakat tentang adanya bermacam cara Nabi saw melakukan istisqa’ini. Kecuali Imam Abu Hanifah, yang berpendapat tidak ada shalat istisqa’ berjamaah untuk minta hujan; yang disyari’atkan hanya doa untuk minta hujan saja. Dalam Kitab-­kitab Hanafi diriwayatkan, bahwa Abu Hanifah berkata: “Untuk istisqa’ (minta hujan) tidak ada shalat jamaah yang disunnahkan” (Fath al-Qadir, 11:91; al-Fatawa al-Hindiyyah, 1:153)
Alasan jumhur ulama yang menyatakan adanya (disyariat­kannya) shalat istisqa’ adalah adanya hadits-hadits Nabi saw yang menyatakan bahwa Nabi saw melakukan shalat istisqa’dengan berjamaah dan tidak hanya dengan sekadar berdoa. Antara lain adalah hadits:
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَسْتَسْقِي قَالَ فَحَوَّلَ إِلَي النَّاسِ ظَهْرَهُ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ يَدْعُو ثُمَّ حَوَّلَ رِدَاءَهُ ثُمَّ صَلَّى لَنَا رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيْهِمَا بِالْقِرَاءَةِ [رواه البخاري ورواه أيضا وأبو داود والنسائي وأحمد]
Artinya: “Dari Abbad Ibn Tamim, dari pamannya (yaitu Abdullah Ibn Zaid) yang mengatakan: “Saya melihat Nabi saw pada hari ia keluar minta hujan, beliau membelakangi orang banyak dan mengha­dap ke Kiblat sambil berdoa, kemudian membalik pakaian atasnya, kemudian shalat mengimami kami dua rakaat, dengan menyaringkan bacaan dalam keduanya.” [HR. al-Bukhari, dan diriwayatkan juga oleh Abu Daud, an-Nasa’i dan Ahmad]
Hadits lain yang menjadi dasar adanya shalat istisqa’ adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ خَرَجَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَسْتَسْقِي فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللَّهَ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَهُ ثُمَّ قَلَبَ رِدَاءَهُ فَجَعَلَ الْأَيْمَنَ عَلَى الْأَيْسَرِ وَالْأَيْسَرَ عَلَى الْأَيْمَنِ [رواه ابن ماجه وأحمد]
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra (dilaporkan), bahwa dia berkata: Nabi saw pada suatu hari keluar untuk melakukan istisqa’, lalu ia shalat mengimami kami dua rakaat tanpa azan dan tanpa iqamat. Kemudian ia berkhutbah dan berdoa kepada Allah, seraya menghadapkan mukanya ke arah Kiblat, sambil mengangkat kedua tangannya, kemudian memutar jubabnya, sehingga ujung kanannya berada di sebelah kiri dan ujung kirinya berada di sebelah kanan.”[HR. Ibnu Majah dan Ahmad]
Dalam Putusan Tarjih, selain hadits-hadits di atas, dikutip pula hadits panjang dari ‘Aisyah untuk menjadi dasar disyariat­kannya shalat minta hujan ini, yaitu:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ شَكَا النَّاسُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُحُوطَ الْمَطَرِ فَأَمَرَ بِمِنْبَرٍ فَوُضِعَ لَهُ فِي الْمُصَلَّى وَوَعَدَ النَّاسَ يَوْمًا يَخْرُجُونَ فِيهِ قَالَتْ عَائِشَةُ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَدَا حَاجِبُ الشَّمْسِ فَقَعَدَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَكَبَّرَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَمِدَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ قَالَ إِنَّكُمْ شَكَوْتُمْ جَدْبَ دِيَارِكُمْ وَاسْتِئْخَارَ الْمَطَرِ عَنْ إِبَّانِ زَمَانِهِ عَنْكُمْ وَقَدْ أَمَرَكُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَدْعُوهُ وَوَعَدَكُمْ أَنْ يَسْتَجِيبَ لَكُمْ ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ اللَّهُمَّ أَنْتَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْغَنِيُّ وَنَحْنُ الْفُقَرَاءُ أَنْزِلْ عَلَيْنَا الْغَيْثَ وَاجْعَلْ مَا أَنْزَلْتَ لَنَا قُوَّةً وَبَلَاغًا إِلَى حِينٍ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمْ يَزَلْ فِي الرَّفْعِ حَتَّى بَدَا بَيَاضُ إِبِطَيْهِ ثُمَّ حَوَّلَ إِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ وَقَلَبَ أَوْ حَوَّلَ رِدَاءَهُ وَهُوَ رَافِعٌ يَدَيْهِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ وَنَزَلَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ [رواه أبو داود]
Artinya: “Dari ‘Aisyah ra (dilaporkan bahwa) ia berkata: Or­ang-orang telah mengeluh kepada Nabi saw tentang terhentinya hujan, lalu beliau menyuruh mengambil mimbar. Maka, orang-­orang pun menaruhnya di lapangan tempat shalat, dan beliau menjanjikan hendak mengajak mereka pada suatu hari ke tempat itu. ‘Aisyah melanjutkan: Rasulullah saw lalu berangkat pada waktu telah nyata sinar matahari, lalu ia duduk di atas mimbar, lalu membaca takbir dan memuji Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung, kemudian beliau mengatakan: Kamu telah mengeluhkan kegersangan negerimu dan tertangguhnya hujan dari waktunya. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kamu supaya bermohon kepada-Nya dan menjanjikan akan memperkenankan permohonanmu itu. Kemudian beliau berdoa: Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang menguasai hari pembalasan. Tiada Tuhan selain Allah, yang melaksanakan apa yang Dia kehendaki. Ya Allah, Engkaulah Allah yang tiada Tuhan selain Engkau, Yang Maha Kaya, sementara kami adalah miskin, turunkanlah hujan kepada kami dan jadikanlah apa yang Engkau turunkan itu kekuatan dan bekal bagi kami untuk waktu yang lama. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya dan terus mengangkatnya, sehingga kelihatan ketiaknya yang putih. Kemudian ia membelakangi orang banyak dan membalikkan pakaian atasnya sambil terus mengangkat kedua tangannya, kemudian ia menghadap kembali kepada orang banyak dan turun dari mimbar lalu shalat dua rakaat.” [HR. Abu Daud, No. 1173]
Adapun alasan Abu Hanifah yang menyatakan bahwa tidak ada shalat untuk minta hujan adalah hadits-hadits yang menyebutkan Rasulullah saw minta hujan dengan berdoa tanpa shalat. Antara lain, seperti hadits:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَسْقَى فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ [رواه مسلم وأبو داود وأحمد]
Artinya:  “Dari Anas Ibn Malik (dilaporkan) bahwa Nabi saw minta hujan seraya menadahkan kedua telapak tangannya ke langit.”
Beberapa ulama Hanafi menyanggah pendapat ini. az-Zaila’i (w. 762/1362) misalnya, menyatakan: “Bahwa Nabi saw melakukan istisqa’ (minta hujan) memang benar adanya. Akan tetapi bahwa ia minta hujan tanpa dengan shalat, ini tidak benar. Yang benar adalah bahwa beliau melakukan shalat untuk minta hujan itu.” (Nasb ar-Rayah, II: 238). Bahkan, kedua murid beliau, Abu Yusuf (w. 182/798) dan Muhammad (w. 189/805), tidak mengikuti pendapatnya, melainkan mengikuti pendapat jumhur ulama.
Sesungguhnya, hadits-hadits yang dikemukakan di atas tidaklah saling bertentangan, melainkan menggambarkan beberapa cara Rasulullah saw minta hujan; ada kalanya dengan hanya berdoa saja dan ada kalanya dengan shalat berjamaah.
Khutbah Istisqa’. Dalam Putusan Tarjih dituntunkan, bahwa khutbah istisqa’ dilakukan setelah shalat istisqa’ sesuai dengan hadits Abu Hurairah riwayat Ahmad di atas. Akan tetapi dapat juga dilakukan sebelum shalat, berdasarkan hadits ‘Aisyah riwayat Abu Daud di atas. Mengenai apakah khutbah istisqa’ satu atau dua kali, tidak ada penegasannya dalam Putusan Tarjih. Hanya saja, apabila kita perhatikan hadits-hadits mengenai khutbah istisqa’ tidak ada satupun yang menyebutkan khutbah istisqa’ dua kali. Ini berarti, khutbah istisqa’ itu hanya satu kali seperti khutbah dua hari raya. Bahkan bila kita amati hadits Abu Daud dari ‘Aisyah di atas, tidak ada penyebutan duduk antara dua khutbah, sehingga karena itu dapat dipahami, bahwa khutbah istisqa’ itu adalah satu kali. Bahkan beberapa fuqaha memahami hadits Abu Daud dan Ibnu Abbas di bawah ini sebagai menunjukkan bahwa khutbah istisqa’ adalah satu kali. Hadits dimaksud adalah:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَبَذِّلًا مُتَوَاضِعًا مُتَضَرِّعًا حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى زَادَ عُثْمَانُ فَرَقَى عَلَى الْمِنْبَرِ ثُمَّ اتَّفَقَا وَلَمْ يَخْطُبْ خُطَبَكُمْ هَذِهِ وَلَكِنْ لَمْ يَزَلْ فِي الدُّعَاءِ وَالتَّضَرُّعِ وَالتَّكْبِيرِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلِّي فِي الْعِيدِ [رواه أبو داود والنسائى والترمذي]
Artinya:  “(Ibnu Abbas menceritakan) Rasulullah saw berjalan dengan pakaian lusuh, dan dengan hati pasrah dan khusyuk hingga sampai ke lapangan tempat shalat -‘Utsman Ibn Abi Syaibah, salah seorang perawi dalam hadits ini menambahkan. “lalu Rasulullah saw naik ke atas mimbar”, kemudian kata-kata ‘Utsman dan an-Nufaili sama lagi- dan beliau tidak berkhutbah seperti khutbah kamu ini, melainkan terus berdoa, khusyuk dan bertakbir, kemudian shalat dua rakaat seperti shalat dua hari raya.” [HR. Abu Daud, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi]
Syamsuddin Ibnu Qudamah menyatakan: “Yang masyru’ adalah satu khutbah. Bagi kami, pernyataan Ibnu Abbad bahwa Nabi saw tidak berkhutbah seperti khutbah kamu ini menunjukkan bahwa beliau tidak mengantarai khutbahnya de­ngan diam atau duduk antara dua khutbah, sebab semua mereka yang melaporkan khutbah tidak menyerukan adanya dua khutbah” (Asy-Syarh al-Kabir, bersama al-Mugni, II:289].
Az-Zaila’i mengomentari hadits ini dengan mengatakan: “Maksudnya adalah bahwa beliau berkhutbah, akan tetapi khutbahnya tidak dua kali seperti pada khutbah Jum’at, tetapi berkhutbah satu kali ... dan tidak diriwayatkan bahwa beliau pernah berkhutbah dua kali”(Nasb ar-Rayah, II:242).

Isi khutbah disampaikan dalam bahasa Indonesia. Arahnya mengajak jamaah untukistighfar dan tobat kepada Allah atas segala dosa yang telah dilakukan. Kemudian, khutbah ditutup dengan doa-doa. Utamanya yang maksud dari Nabi saw. Ketika membaca doa menghadap ke Kiblat, dengan membelakangi jamaah. Doa-doa yang dibaca adalah permohonan ampun dari Allah, seperti dalam khutbah pada umumnya dan ditambah de­ngan doa-doa khusus minta hujan, seperti:
اللَّهُمَّ اسْقِ عِبَادَكَ وَبَهَائِمَكَ وَانْشُرْ رَحْمَتَكَ وَأَحْيِ بَلَدَكَ الْمَيِّتَ اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا مَرِيئًا مَرِيعًا نَافِعًا غَيْرَ ضَارٍّ عَاجِلًا غَيْرَ آجِلٍ


Panduan ringkas Cara Dan Bacaan Sholat Istisqa` sebagai berikut.
Pertama: Hendaklah jama’ah bersama imam keluar menuju tanah lapang dalam keadaan hina, betul-betul mengharap pertolongan Allah dan meninggalkan berpenampilan istimewa (meninggalkan berhias diri).
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُتَبَذِّلاً مُتَوَاضِعًا مُتَضَرِّعًا حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى – زَادَ عُثْمَانُ فَرَقِىَ عَلَى الْمِنْبَرِ ثُمَّ اتَّفَقَا – وَلَمْ يَخْطُبْ خُطَبَكُمْ هَذِهِ وَلَكِنْ لَمْ يَزَلْ فِى الدُّعَاءِ وَالتَّضَرُّعِ وَالتَّكْبِيرِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلِّى فِى الْعِيدِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dalam keadaan meninggalkan berhias diri, menghinakan diri dan banyak mengharap pertolongan Allah hingga sampai ke tanah lapang –Utsman menambahkan bahwa kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki mimbar- lalu beliau tidak berkhutbah seperti khutbah kalian ini. Akan tetapi, beliau senantiasa memanjatkan do’a, berharap pertolongan dari Allah dan bertakbir. Kemudian beliau mengerjakan shalat dua raka’at sebagaimana beliau melaksanakan shalat ‘ied.”[7]
Kedua: Imam berkhutbah di mimbar yang disediakan untuknya sebelum atau sesudah shalat istisqo’. Ketika itu tidak ada adzan dan iqomah.
Dalil yang menunjukkan bahwa khutbah tersebut dilaksanakan sesudah shalat istisqo’ adalah hadits Abdullah bin Zaid yang telah disebutkan di atas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke tanah lapang dan beliau hendak melaksanakan istisqo’ (meminta hujan). Beliau pun merubah posisi rida’nya ketika beliau menghadap kiblat. (Ishaq mengatakan), “Beliau memulai mengerjakan shalat sebelum berkhutbah kemudian beliau menghadap kiblat dan berdo’a”.”[8]
Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa khutbah tersebut boleh dilaksanakan sebelum shalat istisqo’ (2 raka’at) adalah hadits ‘Abbad bin Tamim dari pamannya (yaitu Abdullah bin Zaid), ia berkata,
خَرَجَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْتَسْقِى فَتَوَجَّهَ إِلَى الْقِبْلَةِ يَدْعُو ، وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk melakukan istisqo’ (meminta hujan). Kemudian beliau menghadap kiblat dan merubah posisi rida’nya (yang semula di kanan dipindah ke kiri dan sebaliknya). Lalu beliau melaksanakan shalat dua raka’at dengan menjahrkan bacaannya.”[9]
Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Berdasarkan hadits-hadits di atas, perintah untuk berkhutbah di sini ada kelonggaran, boleh dilakukan sebelum atau sesudah shalat. Pendapat ini adalah pendapat ketiga (dari perselisihan ulama yang ada) dan dipilih oleh madzhab Imam Ahmad, pendapat Asy Syaukani dan lainnya.”[10]
Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan, “Tidak disunnahkan adzan dan iqomah pada shalat istisqo’. Kami tidak tahu kalau dalam masalah ini ada khilaf (perselisihan pendapat).”[11]
Ketiga: Hendaknya imam memperbanyak do’a sambil berdiri menghadap kiblat, bersungguh-sungguh mengangkat tangan ketika berdo’a (sampai nampak ketiak), dan hendaknya imam mengarahkan punggung telapak tangannya ke langit. Para jama’ah ketika itu juga dianjurkan untuk mengangkat tangan. Kemudian imam ketika itu merubah posisi rida’nya (yang kanan di jadikan ke kiri dan sebaliknya)[12].
Sebagaimana hal ini telah diterangkan dalam hadits-hadits yang telah lewat. Ditambah hadits dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَسْقَى فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan istisqo lalu ia mengangkat punggung tangannya dan diarahkan ke langit.[13]
Dalil yang menunjukkan bahwa para jama’ah juga ikut mengangkat tangan adalah hadits dari Anas bin Malik,
فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَدَيْهِ يَدْعُو ، وَرَفَعَ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ مَعَهُ يَدْعُونَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a. Kemudian para jama’ah ketika itu turut serta mengangkat tangan mereka bersama beliau untuk berdo’a.”[14]
Anas bin Malik juga mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِى شَىْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِى الاِسْتِسْقَاءِ ، وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tidak (bersungguh-sungguh) mengangkat kedua tangannya dalam setiap do’a beliau kecuali dalam do’a istisqo’. Ketika itu beliau mengangkat tangan sampai-sampai terlihat ketiaknya yang putih.”[15]
Keempat: Membaca do’a istisqo’.
Di antara do’a istisqo’ yang dibaca adalah:
اللَّهُمَّ اسْقِ عِبَادَكَ وَبَهَائِمَكَ وَانْشُرْ رَحْمَتَكَ وَأَحْىِ بَلَدَكَ الْمَيِّتَ
“Ya Allah, turunkanlah hujan pada hamba-Mu, pada hewan ternak-Mu, berikanlah rahmat-Mu, dan hidupkanlah negeri-Mu yang mati.”[16]
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
“Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami.” [17]
Kelima: Mengerjakan shalat istisqo’ sebanyak dua raka’at sebagaimana shalat ‘ied. Sehingga pengerjaan shalat istisqo’, pada rakaat pertama ada takbir tambahan (zawaid) sebanyak tujuh kali dan pada rakaat kedua ada takbir rambahan (zawaid) sebanyak lima kali. Bacaan ketika shalat tersebut dijahrkan (dikeraskan).
Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Abbas, beliau mengatakan,
ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلِّى فِى الْعِيدِ
Kemudian beliau mengerjakan shalat dua raka’at sebagaimana beliau melaksanakan shalat ‘ied.”[18]
Dari ‘Abdullah bin Zaid, beliau mengatakan,
ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ
Lalu beliau melaksanakan shalat dua raka’at dengan menjahrkan (mengeraskan) bacaannya.”[19]
Catatan:
Istisqo’ (meminta hujan) juga bisa dilakukan tanpa keluar ke tanah lapang. Istisqo’ bisa dilakukan ketika khutbah Jum’at dan berdo’a ketika itu. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut.
Dari Anas bin Malik, beliau menceritakan: Ada seorang laki-laki memasuki masjid pada hari Jum’at melalui arah darul qodho’. Kemudian ketika Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan berkhutbah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menghadap kiblat sambil berdiri. Kemudian laki-laki tadi pun berkata, “Wahai Rasulullah, ternak kami telah banyak yang mati dan kami pun sulit melakukan perjalanan (karena tidak ada pakan untuk unta, pen). Mohonlah pada Allah agar menurunkan hujan pada kami”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya, lalu beliau pun berdo’a,
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
“Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami.”
Anas mengatakan, “Demi Allah, ketika itu kami sama sekali belum melihat mendung dan gumpalan awan di langit. Dan di antara kami dan gunung Sal’i tidak ada satu pun rumah. Kemudian tiba-tiba muncullah kumpulan mendung dari balik gunung tersebut. Mendung tersebut kemudian memenuhi langit, menyebar dan turunlah hujan. Demi Allah, setelah itu, kami pun tidak melihat matahari selama enam hari. Kemudian ketika Jum’at berikutnya, ada seorang laki-laki masuk melalui pintu Darul Qodho’ dan ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berdiri dan berkhutbah. Kemudian laki-laki tersebut berdiri dan menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, sekarang ternak kami malah banyak yang mati dan kami pun sulit melakukan perjalanan. Mohonlah pada Allah agar menghentikan hujan tersebut pada kami.” Kemudian Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya, lalu berdo’a:
اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا ، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan
Setelah itu, hujan pun berhenti. Kami pun berjalan di bawah terik matahari. Syarik mengataka bahwa beliau bertanya pada Anas bin Malik, “Apakah laki-laki yang kedua yang bertanya sama dengan laki-laki yang pertama tadi?” Anas menjawab, “Aku tidak tahu.”[20]
Dari riwayat di atas, Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah memberikan faedah berharga, “Hadits ini menunjukkan bolehnya do’a istisqo’ dibaca ketika khutbah Jum’at. Do’a ini dibaca di mimbar, tanpa perlu menukar posisi rida’ dan tanpa perlu menghadap kiblat. Hadits ini juga menunjukkan boleh mencukupkan shalat jum’at untuk menggantikan shalat istisqo
  Demikian Artikel Cara Dan Bacaan Sholat Istisqa`