SELAMAT DATANG DI BLOG GURU NGAJI YGNI

Guru Ngaji YGNI ada untuk pengembangan dakwah lewat pendidikan Diniyah Formal dan Formal serta pemberdayaan masyarakat.

GURU NGAJI YGNI DAN LAZISWAQ YGNI

Anda Peduli Pendidikan Diniyah buat anak anak di desa dan kampung-kampung salurkan bantuan ke LAZISWAQ YGNI BRI : 6602-01-007030-53-9 AN.Yayasan YGNI.

SAVE PALESTINE-SYURIAH-AFGHANISTAN

Indonesia dicap Sebagai Negara Kafir tapi Paling Giat Membela Palestina Merdeka, Arab Diakui Sebagai Pusat Manhaj Sunnah tapi lembek Membla Saudaranya.

ANDA MUSLIM REAKTIF ? KENAPA TIDAK AKTIF ? KALAU ADA PEMURTADAN BARU RIBUT

Kalau ada non muslim peduli terhadap permasalahan lingkungan baik pendidikan ,Sosial ekonomi dan lainnya anda katakan sebagai pemurtadan tapi anda sendiri tidak peduli terhadap mereka, Itulah Islam Reaktif

KAPAN ANDA PEDULI TERHADAP DAKWAH DAN DHUAFA ?

Uang dan harta anda sering digunakan secara berlebihan bahkan mubazir kenapa tidak untuk menolong sesama.

Kamis, 27 Februari 2014

Sejarah FKGNI-Forum Komunikasi Guru Ngaji Indonesia

Berikut ini akan ditulis mengenai Sejarah FKGNI-Forum Komunikasi Guru Ngaji Indonesia
test

Selasa, 25 Februari 2014

Niat Haji-Ihram

Definisi Ihram 
Kata ihram diambil dari bahasa Arab, yaitu “al-haram“, yang bermakna terlarang atau tercegah. Dinamakan “ihram” karena dengan berniat masuk ke dalam pelaksanaan ibadah haji atau umrah, seseorang dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu, seperti jima’, menikah, melontarkan ucapan kotor, dan lain-sebagainya.
Dari sini, para ulama mendefinisikan ihram dengan salah satu niat dari dua nusuk(yaitu haji dan umrah) atau kedua-duanya secara bersamaan. [1]
Dengan demikian, jelaslah tentang pemahaman yang keliru dari sebagian kaum muslimin bahwa ihram adalah berpakaian dengan kain ihram, karena yang benar adalah bahwa ihram berarti “niat masuk ke dalam pelaksanaan haji atau umrah”. Adapun berpakaian dengan kain ihram hanya merupakan satu keharusan bagi seorang yang telah ber-ihram.
Tempat Ber-ihram
Ihram, yang merupakan bagian penting ibadah haji dan umrah, dilakukan dari miqat.Seseorang yang akan berhaji dan berumrah harus mengetahui miqat sebagai tempat berihram. Mereka yang tidak berihram dari miqat berarti meninggalkan suatu kewajiban dalam haji, dan wajib atas mereka untuk menggantinya dengan dam (denda).

Tata Caranya
Adapun tata caranya adalah:
1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ber-ihram bagi laki-laki dan perempuan baik dalam keadaaan suci atau haid, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabirradhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata,
فَخَرَجْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَيْنَا ذَا الْحُلَيْفَةِ فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِيْ بَكْرٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ : اغْتَسِلِيْ وَاسْتَثْفِرِيْ بِثَوْبٍ وَاحْرِمِيْ
Lalu kami keluar bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tatkala sampai Dzulhulaifah Asma binti ‘Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr, maka ia (Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan bertanya), ‘Bagaimana cara yang harus aku lakukan?’ Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Mandilah, beristitsfarlah [2], dan berihramlah.’” (HR. Muslim [2941]: 8/404, Abu Daud no. 1905 dan 1909, serta Ibnu Majah no. 3074).
Apabila tidak mendapatkan air, maka tidak perlu melakukan tayamum karena bersuci yang disunnahkan. Apabila tidak dapat menggunakan air, maka hendaklah tidak bertayamum karena Allah menyebutkan tayamum dalam bersuci dari hadats sebagai firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ وَإِن كُنتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki. Dan jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih).” (Qs. al-Maidah: 6).
Dengan demikian, hal ini tidak bisa dianalogikan (diqiyaskan) kepada yang lainnya, dan juga tidak ada contoh atau perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertayamum. Apalagi jika mandi ihram tersebut adalah untuk kebersihan, dengan dalil perintah beliau kepada Asma binti Umais yang sedang haid untuk melaksanakan mandi tersebut.
2. Disunnahkan untuk memakai minyak wangi ketika ber-ihram, sebagaimana yang dikatakan Aisyah,
كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لإِحْرَامِهِ قَبْلَ اَنْ يُحْرِمَ وَ لِحِلَِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوْفَ بِاْلبَيْتِ
Sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berihram, aku memakaikan wangi-wangian kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pelaksanaan ihram beliau, dan ketika halalnya sebelum beliau thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari no.1539 dan Muslim no. 1189).
Pemakaian wewangian tersebut hanya diperbolehkan pada anggota badan dan bukan pada pakaian ihram-nya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
لاَ تَلْبَسُوْا ثَوْبًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَ لاَ الْوَرَسُ
Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za’faran dan wars.” (HR.Muttafaqun alaih).
Memakai minyak wangi ini dilakukan pada dua keadaan:
1. Memakainya sebelum mandi dan ber-ihram, dan ulama sepakat dalam hal ini, tidak ada permasalahan di dalamnya.
2. Memakainya setelah mandi dan sebelum ber-ihram, dan minyak wangi tersebut tidak hilang (baunya, ed.), maka ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan pendapatnya.
Dalil pembolehannya adalah hadits Aisyah, beliau berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ يَتَطَيَّبَ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ ثُمَّ أَرَى وَبِيْصَ الدُّهْنِ فِيْ رَأْسِهِ وَ لِحْيَتِهِ بَعْدَ ذَلِكَ
Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin ber-ihram, beliau memakai wangi- wangian yang paling wangi yang beliau dapatkan, kemudian aku melihat kilatan minyak  di kepala dan jenggot beliau setelah itu.” (HR. Muslim, no. 2830).
‘Aisyah berkata pula,
كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَى وَبِيْصَ الْمِسْكِ فِيْ مَفْرَقِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ هُوَ مُحْرِمٌ
Seakan-akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau dalam keadaan ber-ihram.” (HR. Muslim no. 2831 dan Bukhari no. 5923).
Jika terdapat permasalahan berikut ini: Apabila sesorang memakai wangi-wangian di badannya yaitu di kepala dan jenggotnya, lalu minyak wangi tersebut menetes atau meleleh ke bawah, apakah hal ini mempengaruhi ihram-nya atau tidak?
Jawabannya adalah, bahwa yang demikian itu tidak mempengaruhi ihram-nya, karena perpindahan minyak wangi tersebut terjadi dengan sendirinya dan tidak dipindahkan, dan juga karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat beliau tampak tidak menghiraukan jika minyak wangi tersebut menetes, karena mereka memakainya pada keadaan yang dibolehkan. [3]
Kemudian, jika seseorang yang ber-ihram (muhrim) akan berwudhu dan dia telah mamakai minyak rambut yang wangi, maka ia tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya. Jika dia melakukan hal tersebut, tentunya minyak wangi tersebut aan menempel ke kedua telapak tangannya walaupun hanya sedikit, maka apakah ia perlu memakai kaos tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?
Masalah ini dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, “Ia tidak perlu memakai kaos tangan. Bahkan, hal itu merupakan sikap berlebih-lebihan dalam agama dan juga tidak ada dalilnya. Demikian pula, ia tidak perlu mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit. Dia cukup mengusapnya dengan telapak tangannya karena ini termasuk perkara yang dimaafkan.” [4]
3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung dan selendang, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لِيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِىْ إِزَارٍ وَ رِدَاءٍ وَ نَعْلَيْنِ
Hendaklah salah seorang dari kalian ber-ihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta sepasang sendal.”(HR. Ahmad: 2/34; sanadnya dinilai shahih oleh Ahmad Syakir).
Diutamakan kain yang berwarna putih, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
خَيْرُ ثِيَابِكُمُ اْلبَيَاضُ فَالْبَسُوْهَا َوكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَكُمْ
Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang berwarna putih, maka kenakanlah dia dan kafanilah mayat kalian dengannya.” (HR. Ahmad; lihat Syarah Ahmad Syakir, 4/2219, beliau berkata bahwa sanadnya shahih).
Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Manasik (hal. 21), “Dan disunnahkan untuk ber-ihram dengan dua kain yang bersih, maka jika keduanya berwarna putih, hal itu lebih utama. Ihram boleh dilakukan dengan segala jenis kain yang diperbolehkan, yang terbuat dari katun shuf (bulu domba) atau yang lainnya. Dibolehkan pula untuk berihram dengan kain berwarna putih dan warna-warna lain yang diperbolehkan selain putih, walaupun kain tersebut berwarna-warni.” [5]
Adapun wanita, ia tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan.
4. Disunahkan ber-ihram setelah shalat, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umarradhiyallahu ‘anhuma dalam Shahih Bukhari, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتَانِيَ اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّيْ فَقَالَ : صَلِّ فِيْ هَذَا الْوَادِيْ الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةً فِيْ حَجَّةٍ
Tadi malam telah datang utusan dari Rabbku, lalu ia berkata, ‘Shalatlah di Wadi yang diberkahi ini dan katakanlah, ‘Umratan fi hajjatin.’‘”
Serta hadits Jabir,
فَصَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ رَكِبَ الْقَصْوَاءَ حَتَّى إِذَا اسْتَوَتْ بِهِ نَاقَتُهُ عَلَى الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ بِالْحَجِّ
“Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di mesjid (Dzulhulaifah) kemudian beliau menunggangi al-Qaswa’ (nama unta beliau) sampai ketika untanya berdiri di al-Baida’ ber-ihram untuk haji.” (HR. Muslim).
Maka, yang sesuai dengan sunnah, lebih utama, dan sempurna adalah berihram setelah shalat fardhu. Akan tetapi, apabila tidak mendapatkan waktu shalat fardhu, maka terdapat dua pendapat dari para ulama:
Pendapat pertama, tetap disunnahkan shalat dua rakaat, dan ini pendapat jumhur. Berdalil dengan keumuman hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
صَلِّ فِيْ هَذَا الْوَادِي
Shalatlah di Wadi ini.
Pendapat kedua, tidak disyariatkan untuk melaksanakan shalat dua rakaat, dan ini pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sebagaimana beliau mengatakan dalamMajmu’ Fatawa, 26/108, “Disunnahkan untuk ber-ihram setelah shalat, baik shalatfardhu maupun sunnah. Jika seseorang berada pada waktu tathawu’ -menurut salah satu dari dua pendapatnya, dan pendapat beliau yang lain adalah jika seseorang shalat fardhu- maka ia ber-ihram setelahnya, dan jika tidak maka tidak ada bagiihram shalat yang khusus, dan inilah yang rajih.”
Beliau juga berkata dalam Ikhtiyarat, hal. 116, “Dan ber-ihram setelah shalat fardhujika dijumpai waktunya atau shalat sunnah (nafilah), karena ihram tidak memiliki shalat yang khusus untuknya.”
Demikianlah, tidak ada shalat dua rakaat khusus untuk ihram.
5. Berniat untuk melaksanakan salah satu manasik, dan manasik tersebut disunnahkan untuk diucapkan. Dibolehkan untuk memilih salah satu dari tiga nusuk,yaitu ifrad, qiran, dan tamattu‘, sebagaimana yang dikatakan Aisyah,
خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ عُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ أَهَلَّ رَسُوْلُ اللهِ بِالْحَجِ فأَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِعَمْرَةٍ فَحَلَّ عَنْهُ قُدُوْمُهُ وَ أَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ أَوْ جَمَعَ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَلَمْ يُحِلُّوْا حَتَّى كَانَ يَوْمَ النَّحْرِ
Kami telah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun HajiWada’. Maka ada di antara kami yang ber-ihram dengan umrah, ada yang berihram dengan haji dan umrah, dan ada yang ber-ihram dengan haji saja, sedangkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam berihram dengan haji saja. Adapun yang ber-ihram dengan umrah maka dia halal setelah datangnya (setelah melakukan umrah dengan melakukan thawaf dan sya’i), dan yang ber-ihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas dari ihramnya) sampai dia berada dihari nahar (pada tanggal 10 Dzulhijjah).” (HR. Mutafaq ‘alaih).
Maka, seseorang yang ber-manasik ifrad hendaklah mengatakan,
لَبَّيْكَ حَجًّا    atau  لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ حَجًّا
Sedangkan seseorang yang ber-manasik tamattu’ mengatakan,
لَبَّيْكَ عُمْرَةً    atau  لَبَّيْكَ الَّلهُمّ عُمْرَةً
Serta ketika hari Tarwiyah (8 Dzulhijhah) mengatakan,
لَبَّيْكَ حَجًّا    atau  لَبَّيْكَ الَّلهُمّ حَجًّا
Adapun sunnah bagi yang ber-manasik qiran adalah mengatakan,
لَبَّيْكَ  عُمْرَةً وَ حَجًّا
Setelah itu, disunnahkan memperbanyak talbiyah hingga sampai ke Ka’bah untuk melaksanakan thawaf.
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel www.EkonomiSyariat.com
===
Catatan kaki:
[1] Lihat Muzakirat Syarah Umdah, hal. 65 dan Syarhul Mumti’, 6/67.
[2] Istitsfar adalah suatu usaha untuk mencegah keluarnya daarah dari kemaluan orang yang haid atau nifas dengan cara mengambil kain yang memanjang yang diletakkan pada tempat darah tersebut dan dilapisi  oleh bahan yang tidak tembus darah yang diambil ujung-ujunnya untuk diikatkan di perutnya. Akan tetapi, pada zaman sekarang telah ada pembalut wanita siap pakai; lihat Syarah Muslim, 8/404.
[3] Lihat Syarhul Mumti’, 6/73–74.
[4] Syarhul Mumti’, 6/74.
[5] Dinukil dari Syarhul Mumti’, 6/75.

Minggu, 23 Februari 2014

Wajib Haji

Kewajiban-Kewajiban Haji
  • Berihram dari miqat dengan melepaskan pakaiannya dan memakai pakaian ihram, kemudian berniat dengan mengucapkan:
    لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ بِعُمْرَةٍ atau لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ حَجَّةً وَ عُمْرَةً
  • Menginap di Mina pada malam hari-hari Tasyriq.
  • Melempar Jumratul 'Aqabah pada hari Raya 'Idul 'Adhha (Tanggal 10 Dzul-hijjah) dengan menggunakan tujuh batu kecil.
  • Melempar tiga jumrah secara berurutan (Jumrah Shugra, Jumrah Wustha, dan Jumrah 'Aqabah), masing-masing dengan tujuh batu kecil, pada hari-hari Tasyriq sesudah tergelincirnya matahari.
  • Melaksanakan thawaf Wada' berdasar-kan hadits 'Abdullah Ibnu 'Abbas Radhiallaahu anhu :
    أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُوْنَ آخِرَ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ
    "Manusia (para jama'ah haji) diperintahkan untuk menjadikan (thawaf wada') disekeliling Ka'bah sebagai masa terakhir mereka (ketika akan meninggalkan Makkah,-Pent), hanya saja diberi keringanan bagi wanita yang haidh (untuk tidak melaksanakan thawaf wada',-Pent).
  • Mencukur rambut kepala hingga bersih atau memendekkannya, hal ini berdasarkan firman Allah Subhannahu wa Ta'ala :
    "Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebena-ran mimpinya dengan sebenarnya, (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut." (QS. Al-Fat-h: 27)

    Dan dari 'Abdullah bin 'Umar Radhiallaahu anhu , bahwasanya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:
    اللَّهُمَّ ارْحَمِ الْمُحَلِّقِيْنَ ، قَالُـوْا: وَ الْـمُقَصِّرِيْنَ يَا رَسُوْلَ اللَّه؟ قَالَ: اللَّهُمَّ ارْحَمِ الْمُحَلِّقِيْنَ ، قَالُوْا: وَ الْمُقَصِّرِيْنَ يَا رَسُوْلَ اللَّه؟ قَالَ: اللَّهُمَّ ارْحَمِ الْمُحَلِّقِيْنَ، قَالُـوْا: وَ الْـمُقَصِّرِيْنَ يَا رَسُوْلَ اللَّه؟ قَالَ: وَ الْمُقَصِّرِيْنَ
    "Ya Allah, rahmatilah orang-orang yang mencukur (rambut kepala mereka,-Pent) Para Sahabat berkata: ‘Dan orang-orang yang memendekkan juga, ya Rasulullah?’ Beliau berkata: ‘Ya Allah rahmatilah orang-orang yang mencukur’. Mereka berkata lagi: ‘ Orang-orang yang me-mendekkan juga, ya Rasulullah?’ Beliau berkata lagi: 'Ya Allah, rahmatilah orang-orang yang mencukur' Mereka berkata lagi: ‘ Orang-orang yang me-mendekkan juga, ya Rasulullah?’ Beliau berkata: ‘Dan juga orang-orang yang memendekkan.”
Sebagian ulama memasukkan mabit (bemalam) di Muzdalifah sebagai salah satu di antara kewajiban-kewajiban haji, bukan termasuk rukun haji. 

Jumat, 21 Februari 2014

Rukun Haji

RUKUN-RUKUN HAJI.
  • Ihram/niat karena Allah. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
    "Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (dalam menjalankan agama) dengan lurus…" (QS. Al-Bayyinah: 5)
    Dan Rasulullah bersabda:
    إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
    "Sesungguhnya amal-amal itu hanyalah dengan niat."
  • Wuquf di 'Arafah.
    Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:
    الْحَجُّ عَرَفَةٌ
    "Ibadah haji adalah wuquf di Arafah."
  • Thawaf ifadhah.
    Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
    "…Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)." (QS.Al-Hajj: 29) 
  • Sa'i antara Shafa dan Marwah.
    Karena Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam melaksanakannya dan beliau bersabda:
    اِسْعَوْا فَإِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْىَ
    "Laksanakanlah sa'i karena sesungguh-nya Allah telah mewajibkan sa'i atas kamu sekalian."
    Sebagian ulama ada yang mema-sukkan "Mabit di Muzdalifah hingga shalat Shubuh disana" sebagai salah satu di antara rukun haji, berdasarkan hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam kepada 'Urwah bin Mudharris ath-Thai Radhiallaahu anhu :
    مَنْ شَـهِدَ صَلاَتَنَا هَذَا وَوَقَفَ مَعَنَا حَتَّى نَدْفَعَ وَقَدْ وَقَفَ قَبْلَ ذَلِكَ بَعَرَفَةَ لَيْلاً أَوْ نَهَارًا فَقَدْ تَمَّ حَجُّهُ وَقَضَى تَفَثَهُ
    "Barangsiapa yang menyaksikan shalat kami ini, dan wuquf bersama kami hingga kami bertolak )dari Muzdalifah,-Pent), sedang dia telah wuquf sebelum ini di 'Arafah di siang hari atau di malam hari, maka telah sempurna hajinya dan hilanglah kotorannya.”
Kewajiban-Kewajiban Haji
  • Berihram dari miqat dengan melepaskan pakaiannya dan memakai pakaian ihram, kemudian berniat dengan mengucapkan:
    لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ بِعُمْرَةٍ atau لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ حَجَّةً وَ عُمْرَةً
  • Menginap di Mina pada malam hari-hari Tasyriq.
  • Melempar Jumratul 'Aqabah pada hari Raya 'Idul 'Adhha (Tanggal 10 Dzul-hijjah) dengan menggunakan tujuh batu kecil.
  • Melempar tiga jumrah secara berurutan (Jumrah Shugra, Jumrah Wustha, dan Jumrah 'Aqabah), masing-masing dengan tujuh batu kecil, pada hari-hari Tasyriq sesudah tergelincirnya matahari.
  • Melaksanakan thawaf Wada' berdasar-kan hadits 'Abdullah Ibnu 'Abbas Radhiallaahu anhu :
    أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُوْنَ آخِرَ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ
    "Manusia (para jama'ah haji) diperintahkan untuk menjadikan (thawaf wada') disekeliling Ka'bah sebagai masa terakhir mereka (ketika akan meninggalkan Makkah,-Pent), hanya saja diberi keringanan bagi wanita yang haidh (untuk tidak melaksanakan thawaf wada',-Pent).
  • Mencukur rambut kepala hingga bersih atau memendekkannya, hal ini berdasarkan firman Allah Subhannahu wa Ta'ala :
    "Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebena-ran mimpinya dengan sebenarnya, (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut." (QS. Al-Fat-h: 27)

    Dan dari 'Abdullah bin 'Umar Radhiallaahu anhu , bahwasanya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:
    اللَّهُمَّ ارْحَمِ الْمُحَلِّقِيْنَ ، قَالُـوْا: وَ الْـمُقَصِّرِيْنَ يَا رَسُوْلَ اللَّه؟ قَالَ: اللَّهُمَّ ارْحَمِ الْمُحَلِّقِيْنَ ، قَالُوْا: وَ الْمُقَصِّرِيْنَ يَا رَسُوْلَ اللَّه؟ قَالَ: اللَّهُمَّ ارْحَمِ الْمُحَلِّقِيْنَ، قَالُـوْا: وَ الْـمُقَصِّرِيْنَ يَا رَسُوْلَ اللَّه؟ قَالَ: وَ الْمُقَصِّرِيْنَ
    "Ya Allah, rahmatilah orang-orang yang mencukur (rambut kepala mereka,-Pent) Para Sahabat berkata: ‘Dan orang-orang yang memendekkan juga, ya Rasulullah?’ Beliau berkata: ‘Ya Allah rahmatilah orang-orang yang mencukur’. Mereka berkata lagi: ‘ Orang-orang yang me-mendekkan juga, ya Rasulullah?’ Beliau berkata lagi: 'Ya Allah, rahmatilah orang-orang yang mencukur' Mereka berkata lagi: ‘ Orang-orang yang me-mendekkan juga, ya Rasulullah?’ Beliau berkata: ‘Dan juga orang-orang yang memendekkan.”
Sebagian ulama memasukkan mabit (bemalam) di Muzdalifah sebagai salah satu di antara kewajiban-kewajiban haji, bukan termasuk rukun haji. 

Rabu, 19 Februari 2014

Pengertian Dan Cara Tayamum

Dalil disyariatkannya tayammum ini adalah sebagai berikut :
"Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu". (QS. Al Maidah: 6)

Allah Ta’ala berfirman:
“...dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), sapulah mukamu dan tanganmu...” (An-Nisa: 43).
“Dari Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu, beliau menceritakan, ‘Saya pernah junub dan tidak mendapatkan air. Akhirnya, saya berguling-guling di tanah, kemudian saya melaksanakan shalat. Lalu, saya ceritakan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun bersabda, ‘Kamu cukup melakukan seperti ini (beliau menepukkan kedua telapak tangannya di tanah, lalu beliau meniupnya, kemudian beliau usapkan di wajah dan dua telapak tangan [sampai pergelangan]).”” (HR. Bukhari dan Muslim)


Kemudian Rasulullah Muhammad Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Debu yang suci itu benda sucinya seorang muslim, meskipun dia tidak dapat mendapatkan air selama sepuluh tahun,” (HR An-Nasa’i dan Ibnu Majah, hadist shahih, dan disebutkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid, 1/261).


Diperbolehkan juga untuk ber-tayamum dengan menggunakan tembok, berdasakan hadis dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertayamum dengan menggunakan tembok, yaitu dengan mengusapkan telapak tangan ke tembok, kemudian beliau usapkan ke wajah dan telapak tangan (sampai pergelangan). (HR. Bukhari dan Muslim)

Pengertian tayamum adalah tata cara bersuci dari hadats dengan mengusap wajah dan tangan, menggunakan sho’id bersih. Yang dimaksud dengan Sho'id adalah seluruh permukaan bumi yang dapat digunakan untuk bertayammum, baik yang mengandung tanah atau debu maupun yang tidak. Itu adalah merupakan definisi dari tayammum.jadi pengganti wudhu bagi seorang yang sedang sakit dalam perjalanan / berkendaraan bisa dilakukan dengan bertayamum.

Seseorang bisa bertayammum bila memenuhi syarat dan kondisi yang tertentu dan telah di atur pula dalam agama Islam ini. Berikut adalah beberapa cara bertayammum dan juga beberapa keadaan yang memperbolehkan seseorang itu bertayamum sebagai ganti berwudhu menurut Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah :
  1. Jika tidak mendapati air baik itu ketika dalam sebuah perjalanan atau syafar atau pun tidak dalam keadaan bepergian.
  2. Terdapat air tetapi dalam jumlah yang terbatas, disamping itu ada kebutuhan lain yang memerlukan air pula seperti halnya untuk memasak atau pun untuk minum.
  3. Orang sakit yang khawatir bila berwudhu menggunakan air dan mempaktekkan sifat wudhu Nabi akan membahayakan badan atau semakin lama sembuh dari sakit yang dideritanya.
  4. Ketidakmampuan dalam menggunakan air untuk berwudhu dan bersuci dikarenakan sakit dan juga kelemahan tubuh untuk mengambil air wudhu atau pun tidak orang yang membantu untuk berwudhu bersamaan dengan kekhawatiran habis masa waktu sholat.
  5. Khawatir kedinginan jika berwudhu dengan menggunakan air dan tidak ada yang dapat dipergunakan untuk menghangatkan air tersebut.
Panduan tata cara tayamum menurut Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah berdasarkan atas hadits yang berbunyi :
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk suatu keperluan, kemudian aku mengalami junub dan aku tidak menemukan air. Maka aku berguling-guling di tanah sebagaimana layaknya hewan yang berguling-guling di tanah. Kemudian aku ceritakan hal tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau mengatakan, “Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini”. Kemudian beliau memukulkan telapak tangannya ke permukaan tanah sekali, lalu meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan (kanan)nya dengan tangan kirinya dan mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya dengan tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya." (HR. Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368).
Berdasarkan hadist yang diatas, maka cara tayamum yang benar adalah sebagai berikut :
  • Berniat.
  • Memukulkan kedua telapak tangan ke permukaan tanah sekali kemudian meniupnya.
  • Mengusap punggung telapak tangan kanan dengan tangan kiri dan sebaliknya.
  • Kemudian menyapu wajah dengan dua telapak tangan.
  • Semua usapan dilakukan sekali.
  • Bagian tangan yang diusap hanya sampai pergelangan tangan saja.

Selain kita mengenal serta memahami bagaimana cara bertayammum yang benar, maka kita juga perlu mengenal dan juga memahami akan beberapa hal yang membatalkan tayamum ini.Penyebab tayamum batal adalah diantaranya sebagai berikut :
  1. Semua hal yang menjadikan batal wudhu atau juga pembatal-pembatal wudhu juga merupakan hal yang menjadi pembatal tayammum pula.
  2. Menemukan air bila penyebab kita bertayammum adalah karena tidak ada air.
  3. Mampu menggunakan air bila penyebab tayammum adalah karena tidak bisa dalam menggunakan air tersebut.

Senin, 17 Februari 2014

Sertifikasi Kompetensi Guru Ngaji

Sertifikasi Kompetensi Guru Ngaji
Pendidikan keagamaan khususnya pendidikan diniyah, pesantren, TPQ, remaja masjid, Majelis Taklim dan lainnya semakin diperhatikan pemerintah walau tidak seperti sekolah formal , dengan terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama Dan Keagamaan menambah kejelasan stastu pendidikan keagamaan.

Dengan semakin tertatanya aturan pendidikan keagamaan maka para pendidikanya khususnya guru ngaji juga harus semakin baik pula kesejahteraan mereka. Untuk mulai saat ini dan kedepan pemerintah harus lebih memperhatikan guru ngaji baik kompetensi dan kesejahteraan guru ngaji.

Kompetensi guru ngaji juga harus dibuktikan dengan sertifikat kompetensi tidak seperti sekarang kompetensi guru ngaji sebagian besar sangat rendah dan memprihatinkan. Kalau sertifikasi kompetensi guru ngaji bisa dilaksanakan maka tentunya guru ngaji berhak akan Tunjangan Sertifikasi Guru karena mempunyai perundangan dan peraturan yang jelas mengaturnya,



Minggu, 16 Februari 2014

Cara Meningkatkan Hafalan Dalam Belajar

Cara Meningkatkan Hafalan Dalam Belajar yang kami dapatkan sewaktu belajar kitab Ta'limul Muta'alim.

Memang dalam hal hafalan dan daya ingat manusia berbeda-beda, ada yang mudah mengingat, ada juga yang pelupa. Tapi meskipun begitu, bukan tidak mungkin untuk kita asah tingkat hafalan dan daya ingat kita dengan cara sebagai berikut.
  1. Serius dalam belajar.
  2. Istiqomah dalam belajar.
  3. Mengurangi makan dan memperbanyak puasa.
  4. Memperbanyak sholat malam.
  5. Membaca Al Qur’an dengan melihat tulisannya walaupun kita sudah hafal.
  6. Memulai belajar dengan membaca: Bismillahi wa subhanallah wal hamdulillah walaa ilaaha illahuwallahuakbar. walaa haulaa walaa quwwata illabillahil ‘aliyyil ‘adziimil ‘aliimil adada kulli harfin kutiba wayuktabu abadal aabidiina wadahroddahiriin.
  7. Setiap selesai sholat fardhu membaca:
  8. Aamantu billahi waahidil ahadil haqqi wahdahuu laa syariika lahuu wakafartu siwaahu.
  9. Memperbanyak membaca sholawat.
  10. Meninggalkan segala tindakan-tindakan maksiat.
  11. Siwakan, minum madu, makan kandarah dengan gula serta makan anggur merah 21 biji setiap hari sebelum anda makan apa-apa.
  12. Tidak riya’.
  13. Sholat dengan khusyu’. ini Untuk melatih konsentrasi.
Bila temen-temen serius mengamalkannya maka kalian akan melihat perubahan yang baik untuk kedepannya. Saya tetap mencoba hingga sekarang dan ternyata masih sulit karena banyak godaan dan rintangan. Tapi kita sebagai manusia tidak pantas untuk cepat menyerah, apalagi jika belum sempat mencoba.

itulah Cara Meningkatkan Hafalan Dalam Belajar menurut kitab Ta'limul Muta'alim

Sabtu, 15 Februari 2014

Alquran Ditinggalkan Karena Keduniaan

“Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang diacuhkan (ditinggalkan)" QS. Al-Furqan: 30

Sesungguhnya Allah SWT memuliakan umat ini dengan banyak keistemewaan. Satu di antara keistemewaan itu bahkan yang teragung adalah diturunkannya Al-Qu’an. Al-Qur’an merupakan satu-satunya kitab suci yang orisinalitasnya bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini patut dibanggakan, karena kitab-kitab suci agama lain telah terkontaminasi ulah tangan manusia. Semua kitab suci mereka telah mengalami perubahan berupa penambahan atau pengurangan di dalamnya.

Setelah Allah memuliakan umat ini, kebanyakan umat ini malah tidak memuliakan dirinya. Padahal Allah SWT telah menfasilitasi dengan sumber kemuliaan, yaitu Al-Qur’an. Umat ini banyak mengacuhkan Al-Qur’an layaknya apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin dulu. Al-Qur’an kian diabaikan dan ditinggalkan. Hukum halal dan haramnya tidak ditaati.

Ayat di atas merupakan keluh kesah Rasul SAW kepada Allah tentang perlakuan kaum musyrikin Makkah kala itu. Betapa kuat pertentangan kaumnya. Betapa hebat respon penolakan mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca. Mereka menuduh Rasul SAW tukang sihir dan ayat-ayat itu adalah mantra-mantranya.  Mereka juga mengklaim Rasul SAW sebagai ahli syair yang pandai merangkai kata demi kata sehingga menjadi indah dan enak didengar. Rasul SAW sangat terpukul atas semua respon itu. Keluhan beliau akhirnya direkam sendiri oleh Allah dalam Kitab-Nya.

Jauh setelah Rasul SAW tiada, kondisi kita tampak makin parah. Al-Qu’an kian ditinggalkan. Bukan hanya oleh kaum kuffar, namun juga kaum Muslimin sendiri. Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas menyebutkan beberapa fenomena umat ini yang bisa dikategorikan termasuk meninggalkan Al-Qur’an. Lihat Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Furqan: 30 (Maktabah Syamilah)

Pertama, mereka yang apabila dibacakan Al-Qur’an malah memperbanyak obrolan dan perkataan sia-sia. Tujuannya agar tidak mendengar Al-Qur’an.

Adab atau sikap yang seharusnya diperhatikan ketika Al-Qur’an dibacakan adalah menyimaknya dengan sepenuh hati.

”Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (Al-A’raf: 204) 

Al-Qur’an adalah kalamullah yang agung. Rahmat darinya tidak akan turun, melainkan dengan menyimaknya dengan seksama tatkala ia dibacakan. Untuk itu, demi menghindari sikap yang tidak pantas terhadap Al-Qur’an, sebaiknya ia tidak dibaca di majelis senda gurau, karena mugkin sekali Al-Qur’an akan diacuhkan di tempat itu. Ia hanya layak dibaca di majelis ilmu atau zikir.

Kedua, tidak mentadabburi dan berusaha memahaminya.

Tujuan membaca Al-Qur’an adalah untuk ditadabburi isinya sekaligus memahaminya. Dengan mentadabburi kita tahu kapan kita perlu tersenyum, kapan kita meneteskan air mata, kapan kita memanjatkan permohonan, atau kapan kita meminta perlindungan. Tanpa tadabbur, Al-Qur’an layaknya tak lebih dari sebuah buku tebal yang dibaca tetapi tak dimengerti isinya. Mengabaikan usaha untuk tadabbur Al-Qur’an adalah salah satu bentuk mengacuhkannya atau bisa jadi termasuk orang yang terkunci mata hatinya.

 ” Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)

Ketiga, tidak mengaplikasikannya dengan mengamalkan segala perintah dan menjauhi semua larangannya.

Kitab yang Agung ini tidak akan tampak keindahannya kecuali bila kandungannya diaplikasikan dalam realitas kehidupan. Bila seseorang menyesuaikan akhlaknya dengan akhlak Qur’ani, terpandanglah ia di mata manusia. Bila seseorang memegang teguh kewajiban Al-Qur’an, ia akan mulia selamanya. Bila seseorang menahan dirinya dari segala larangan dalam Al-Qur’an, kesuciannya senantiasa terjaga. Memberanikan diri selalu menyelisihi Al-Qur’an termasuk mengacuhkan Al-Qur’an. Hendaklah seorang menilai sejauh mana kepribadiannya dengan Al-Qur’an.

”Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus.” (QS. Az-Zukhruf: 43)

Keempat, berpaling darinya dengan menyibukkan diri dengan syair, nyanyian, permainan, dan obrolan.

Saat lidah kita lebih fasih melantunkan lagu atau lebih merdu saat menyanyikannya dibandingkan saat melantunkan Al-Qur’an, itu pertanda ada yang tidak beres dalam diri kita. Saat hati kita lebih terenyuh dengan syair atau lebih syahdu saat mendeklamasikannya, kita perlu bertanya pada diri kita. Puncaknya kita ternyata lebih antusias menyimak apapun selain Al-Qur’an. Ada apa dengan diri kita? Kenapa di ponsel kita, lebih banyak conten lagunya dibanding murattal? Kenapa koleksi dvd Al-Qur’an kita tidak sevariatif dvd lagu-lagu? Kenapa di rumah kita lebih sering diputar suara para biduan dibanding lantunan tilawah para imam?

Kelima, mengutamakan solusi selain solusi Qur’ani.

Sesungguhnya Al-Qur’an menawarkan kita berbagai solusi kehidupan. Lalu kenapa masih saja banyak yang menolak termasuk kaum Muslimin sendiri. Al-Qur’an dituduh sebagai kitab klasik yang tak relevan dengan zaman modern. Hukum-hukumnya tidak semaju hukum positif produk manusia. Sesungguhnya mengutamakan solusi Al-Qur’an merupakan usaha memuliakan Al-Qur’an. Sebaliknya mengutamakan solusi di luar itu, dipandang mengacuhkan Al-Qur’an.

” Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiyah: 18)

Jumat, 14 Februari 2014

Biografi KH Hasyim Asy`ari Sang Pendiri NU dan Pejuang Islam

KH Mohammad Hasyim Asy'ari, atau biasa disebut KH Hasyim Ashari beliau dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 atau menurut penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur dan beliau kemudian tutup usia pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng, Jombang, KH Hasyim Asy'ari merupakan pendiri Nahdlatul Ulama yaitu sebuah organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. KH Hasyim Asyari merupakan putra dari pasangan Kyai Asyari dan Halimah, Ayahnya Kyai Ashari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH Hasyim Ashari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH Hasyim Asharimerupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). dari Ayah dan Ibunya KH Hasyim Ashari mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.
Ia merupakan pendiri Nahdlatul Ulama. Uniknya, bersama KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, ia pernah berguru kepada Syeikh Ahmad Chatib.
Jombang 1933. Dua ulama besar: KH Hasyim Asy’ari dan KH Mohammad Cholil terlibat dialog mengesankan. ”Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, panggilan popular kiai dari Madura itu. Kiai Hasyim menjawab, ”Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”
Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. ”Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.
Mbah Cholil adalah kiai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan Madura ini.
Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya, terutama dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim punya ’tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian umat Islam.
Kiai Hasyim dikenal sebagai ulama pembaharu pesantren, Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Keturunan Raja Pajang
Lahir 24 Dzul Qaidah 1287 Hijriah atau 14 Februari l871 Masehi, Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu, Halimah, Hasyim masih terhitung keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias Sultan Pajang, raja Pajang. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga kiai. Kakeknya, Kiai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kiai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kiai Cholil.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kiai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kiai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri.
Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.
Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.
Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bid’ah. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy’ari.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.
Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.

Kiai Hasyim bukan saja kiai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kiai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kiai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya. Dari perkawinannya dengan Mafiqah, putri Kiai Ilyas, Kiai Hasyim dikarunia 10 putra: Hannah, Khoriyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak (istri Kiai Idris), Abdul Wahid, Abdul Kholik, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah dan Muhammad Yusuf.

Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH Hasyim Ashari memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil.

KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo. Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal. Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.

Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.

Tahun 1899, Kyai Hasyim Asy'ari membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf. Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.

Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil. Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.

Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam. Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.

Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.

Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu. Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.

Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.

Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.
Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai
 
Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.

Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta. Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.

Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.

Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudh At Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru. Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam.

Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab.

Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan.

Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah. Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz.

Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama. Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia. Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional.

Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik. Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah. Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya.

Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Mendirikan Nahdlatul Ulama (NU)

Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah. Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan. Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.

Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata. Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati. Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”.

Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru. ”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah. Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.

Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah.

Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912). Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini. Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya Kyai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).