SELAMAT DATANG DI BLOG GURU NGAJI YGNI

Guru Ngaji YGNI ada untuk pengembangan dakwah lewat pendidikan Diniyah Formal dan Formal serta pemberdayaan masyarakat.

GURU NGAJI YGNI DAN LAZISWAQ YGNI

Anda Peduli Pendidikan Diniyah buat anak anak di desa dan kampung-kampung salurkan bantuan ke LAZISWAQ YGNI BRI : 6602-01-007030-53-9 AN.Yayasan YGNI.

SAVE PALESTINE-SYURIAH-AFGHANISTAN

Indonesia dicap Sebagai Negara Kafir tapi Paling Giat Membela Palestina Merdeka, Arab Diakui Sebagai Pusat Manhaj Sunnah tapi lembek Membla Saudaranya.

ANDA MUSLIM REAKTIF ? KENAPA TIDAK AKTIF ? KALAU ADA PEMURTADAN BARU RIBUT

Kalau ada non muslim peduli terhadap permasalahan lingkungan baik pendidikan ,Sosial ekonomi dan lainnya anda katakan sebagai pemurtadan tapi anda sendiri tidak peduli terhadap mereka, Itulah Islam Reaktif

KAPAN ANDA PEDULI TERHADAP DAKWAH DAN DHUAFA ?

Uang dan harta anda sering digunakan secara berlebihan bahkan mubazir kenapa tidak untuk menolong sesama.

Sabtu, 30 November 2013

Tata Cara Dan Bacaan Wudhu

Berwudhu
Berwudhu
  • Yang praktis dan mencukupi
  • Yang sebaik-baiknya
  • Hikmah-hikmahnya
Cara atau jalan untuk membina mental dan rohani sungguh banyak sekali. Jalan yang pasti ialah mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mengekalkannya yang disebut sebagai ibadah. Salah satu mata rantai ibadah itu adalah Wudhu'.
Kegunaan Air Wudhu
  • Untuk segala macam solat hukumnya wajib.
  • Untuk Thawaf di Ka'bah, thawaf apa saja, hukumnya wajib.
  • Sewaktu hendak membaca Al-Qur'an hukumnya sunnat
  • Sewaktu hendak tidur atau lain-lain perbuatan yang baik, hukumnya sunnat
Alat Yang Dipakai
Alat yang dipakai ialah air. Meskipun demikian, air yang digunakan untuk berwudhu' adalah air yang suci lagi menyucikan (pengertiannya?), iaitu: Air hujan, Air Sumur, Air Sungai, Air Laut, Air dari mata Air, Air Telaga, Air Danau, Air Ais, Air Ledeng.
Cara-caranya
Berniat dalam hati bahawa berwudhu' untuk..., lalu:
  • Membasuh muka dengan air (cukup sekali asalkan merata ke seluruh muka)
  • Basuhlan tangan hingga sampai dengan kedua siku (cukup sekali asal merata).
  • Sapulah sebahagian kepala, cukup sekali saja
  • Basuhlan kaki hingga sampai dengan kedua mata kaki (cukup sekali asal merata).
Bila dikerjakan seperti di atas, maka wudhu' sudah sah.
Berwudhu' yang lebih sempurna
Bila ingin berwudhu' lebih sempurna, yakni sempurna lahiriah dan sempurna pula dalam ganjaran, maka kerjakanlah tabahan-tambahannya dengan cara sebagai berikut:
1. Mulailah dengan mengucapkan Bismillaahir rahmaanir rahiim...
2. Menghadaplah kearah kiblat
3. Usahakanlah berwudhu' dengan tidak meminta bantuan orang lain, seperti menimba, dan sebagainya.
4. Basuhlah jari-jari tangan dengan menyelat-nyelatinya. Dan bagi jari yang bercincin, jam atau perhiasan yang dipakai di jari-jari lainnya, bukalah perhiasan tersebut agar air dapat merata membasahi seluruh jari-jari.
5. Berkumur-kumur.
6. Masukkanlah air ke dalam hidung, lalu keluarkanlah kembali (istinsyaq).
7. Gosoklah gigi untuk menghilangkan sisa makanan dan bau mulut yang kurang sedap.
8. Mulailah dengan anggota wudhu'yang sebelah kanan.
9. Ulangilah masing-masing sampai tiga kali (3X).
10. Ratakanlah air hingga membasahi seluruh anggota wudhu'
11. Ketika menyapu kepala, ratakan seluruhnya (letakkan ibu jari samping kiri dan kanan kepala, lalu putarlah telapak tangan dari depan ke belakang, kemudian kembali ke depan (cukup sekali).
12. Basuhlah telinga dengan memasukkan telunjuk ke lubang telinga, ibu jari dibelakang telinga.
13. Bila selesai berwudhu', hadapkan muka ke arah kiblat dan berdoalah dengan membaca:
Asyhadu an laa ilaaha illalaahu wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa Rasuuluh, Allahummaj'alnii minat tawwaa biinaa waj'alnii minal mutathahhiriin.
Aku bersaksi bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah hamba-Nya dan rasul-Nya. Ya allah , masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang bertaubat, dan jadikanlah aku masuk ke dalam golongan orang-orang yang suci.
14. Lakukanlah solat sunnat wudhu' dua raka'at.

Hal-hal yang Membatalkan Wudhu'
1. Keluar sesuatu dari "dua pintu" belakang seperti buang angin (kentut), buang air besar atau kecil, haid atau nifas, dan sebaganya.
2. Hilang akal (kerana sakit, mabuk, gila dan sebagainya) .
3. Bersetubuh.
Tayammum
"Manakala seorang muslim atau mukmin itu berwudhu, lalu ia membasuh mukanya, maka keluarlah dari mukanya itu semua dosa yang dilihat oleh matanya bersama air atau bersama titisan yang terakhir dari air. Manakala ia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah (terusir) semua dosa yang tersentuh oleh kedua tangannya bersama air atau bersama-sama dengan titisan terakhir dari air. Manakala ia membasuh kedua kakinya, maka sirnalah semua dosa yang pernah dijalani oleh kakinya bersama air atau bersama titisan air yang terakhir, sehingga keluar (selesailah) dalam keadaan bersih dari dosa-dosa." (Hr Imam Muslim dari Abu Hurairah).


Air Wudhu
Wudhu merupakan salah satu ibadah yang khas yang dapat dipakai untuk solat, thawaf, hendak tidur, jalan keluar rumah, serta memelihara jiwa dan raga dari berbagai cacat.
Wudhu dengan air bersih dan murni bererti meniti kosmetik tradisional dan anti biotik alamiah, kerana itu, Islam tidak membenarkan berwudhu dengan air musta'mal (air bekas dipakai), air buah-buahan, akar-akaran atau air yang sudah berubah sifat-sifatnya (warna, rasa dan baunya). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahawa wudhu ialah membasuh muka, membasuh kedua tangan hingga dua siku, menyapu kepala, dan membasuh kaki hingga dua mata kaki yang diawali dengan niat dalam hati.

Almarhum Buya Hamka, melalui bukunya "Lembaga Hidup" menulis tentang wudhu sbb:
"Lima kali sekurang-kurangnya sehari semalam disuruh berwudhu dan solat. Dan meskipun wudhu belum lepas, sunnat pula memperbaharuinya. Oleh ahli tasawuf diterangkan pula hikmah wudhu itu. Mencuci muka, ertinya mencuci mata, hidung, mulut dan lidah, kalau-kalau tadinya berbuat dosa ketika melihat, berkata dan makan. Mencuci tangan dengan air, dalam hati dirasa seakan-akan membasuh tangan yang terlanjur berbuat salah. Membasuh kaki, dan lain-lain demikian pula. Mereka perbuat hikmat-hikmat itu, meskipun di dalam hadis dan dalil tidak bertemu, adalah supaya manusia jangan membersihkan lahirnya saja, padahal bathinnya masih tetap kotor. Hatinya masih khizit, loba, tamak, rakus, sehingga wudhunya lima kali sehari itu tidak berbekas diterima Allah, dan sembahyangnya tidak menjauhkan dari pada fahsya (keji) dan mungkar (dibenci)".
Penulis "Lembaga Hidup" sengaja merangkaikan keutamaan wudhu dengan masalah kesehatan badan dan kebersihannya, lalu dihubungkan dengan sabda Nabi Muhammad s.a.w Tulisnya:
"Bukan kita hidup mencari puji, bukan pula supaya kita paling atas di dalam segala hal. Meskipun itu tidak kita cari, kalau kita menjaga kebersihan, kita akan dihormati orang juga". Sebagaimana sabdaRasulullah s.a.w: "Perbaguslah pakaianmu, perbaiki tunggangan (kenderaan) mu, sehingga kamu laksana sebutir tahi lalat di tengah-tengah pipi, di dalam pergaulan dengan orang banyak".
Allah s.w.t. menurunkan wahyu, memberi hidayah penuntun rohani dan jasmani agar keduanya tetap berfungsi dan terpelihara.
Rasulullah s.a.w bersabda:
"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah pergi ke kuburan, lalu memberi salam : "Assalamu'alaikum Dara Qaumin (perkampungan orang mukmin) dan Insya Allah kami akan menyusul kemudian, saya ingin benar melihat-lihat saudaraku." Berkata sahabat: "Bukankah kami ini adalah saudaramu ya Rasulullah? "Ya, kamu adalah sahabatku, dan saudara-saudaraku yang belum datang kini." Sahabat kembali bertanya: "Bagaimanakah engkau dapat mengenal mereka yang belum datang kini dari ummatmu ya Rasulullah?" Rasulullah s.a.w. bersabda: "Bagaimana pendapatmu jika seorang mempunyai kuda belang putih muka dan kakinya, ditengah-tengah kuda yang semuanya hitam, tidakkah mudah mengenal kudanya?" Para sahabat menjawab : "Benar Ya Rasulullah." "Maka itu ummatku nanti kelak pada hari kiamat bercahaya muka dan kakinya sebagai bekas wudhu, dan saya akan membimbing mereka itu ke Haudh (Telaga Syafa'at)"
Cahaya, Kebersihan dan Kehidupan

Dalam air wudhu yang sakral terdapat cahaya, kebersihan dan kehidupan. Air bekas (mus'tamal) atau tersadur najis, akan menjadi sumber penyakit, buruk bagi fisik, kimia, maupun biologis. Islam pun melarang berwudhu dengan air yang demikian. Air sebagai keperluan vital kehidupan. Al-Qur'an memberi penjelasan bahawa kehidupan dimulai dari air, seperti disebutkan dalam firmannya:
"Dan kami telah menciptakan segala sesuatu yang hidup itu dari air, apakah mereka belum mau juga beriman?" (Al-Anbiya:30).
Hal-hal Yang Tidak Membatalkan Wudhu
Banyak sekali perbuatan yang dikira orang membatalkan wudhu, padahal tidak. Misalnya, seorang pekerja yang berpalitan dengan oli dan minyak, mengira air wudhunya sudah rosak dan wudhunya batal, padahal tidak; sementara yang dianggap remeh ternyata justru membatalkan wudhunya. Beberapa hal yang tidak membatalkan wudhu antara lain:
1. Bersentuhan antara pria dan wanita, sudah dewasa, tanpa lapis, selama tidak mengandung niat yang nafsu dan tak senonoh. Dalam suatu hadis disebutkan:
"Aisyah r.a. berkata: Suatu malam aku kehilangan Rasulullah s.a.w. dari tempat tidurku, maka terabalah oleh telapak tanganku pada kedua telapak kakinya yang keduanya dalam keadaan berdiri; danRasulullah s.a.w. sedang sujud sambil membaca: Allaahumma innii a'udzu biridhaaka, min sakhatika, wa a'uudzu bimu' aafaatika min uquubatika, wa a'uudzu bika minka laa uhshiitsanaa'an 'alaika anta kamaa atsnayta 'alaa nafsika." (HR Muslim dan At Turmuzy).
Yang erti doanya: "Ya Allah, aku berlindung dengan ridhaMu dari murkaMu, berlindung dibawah naunganMu; ringkasnya aku berlindung kepadaMu daripadaMu. Tiada terhitung puja-pujiku untukMu. Engkau sebagaimana pujianMu atas diriMu sendiri."
"Aku tidur dihadapan Rasulullah s.a.w., sedang kakiku berada di arah kiblat. Maka apabila Ia sujud, dirabanya aku dan dipegangnya kakiku". Sementara dalam lafazh yang lain disebutkan :"Maka jika ia akan sujud, kakiku, dirabanya". (HR Bukhary dan Muslim, sumber Aisyah)
2. Keluar darah dari tempat yang lazim, seperti luka, bukan dari qubul atau dubur.
3. Kerana muntah
4. Kerana makan minum. Seperti disebutkan dalam hadits nabi:
"Manimunah r.a. berkata: "Rasulullah s.a.w. telah makan di rumahnya dengan panggangan kambing, kemudian Rasulullah s.a.w. langsung solat tanpa memperbaharui wudhu." (HR Bukhary dan Muslim).
5. Terkena segala jenis najis atau kotoran lainnya. Najis tidak menghilangkan wudhu', hanya dia cukup dibersihkan saja.
6. Tersentuh kemaluan tanpa maksud yang lain. Seperti disebutkan dalam hadis:
"Bahawa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang orang yang menyentuh kemaluannya, apakah ia wajib berwudhu? Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidak, dia adalah sebagian dari tubuhmu sendiri". (HR Lima Ahli Hadits)
Perosak Tayammum

Tayammum merupakan pengganti wudhu atau mandi. Kerana itu, ia boleh rosak atau batal apabila :
1. Langsung melihat air dan dapat menggunakannya (khusus bagi mereka yang bertayammum kerana tidak ada air).
2. Segala sesuatu yang membatalkan wudhu'.
Hal-hal lain yang perlu diketahui ialah:
1. Satu kali tayammum dapat digunakan untuk beberapa solat atau thawaf, baik yang wajib maupun yang sunat.
2. Apabila mendapatkan air, padahal solat sudah dikerjakan dengan tayammum, maka solatnya tidak perlu diulangi lagi.

Kamis, 28 November 2013

Cara dan Bacaan Tasyahud Awal - Akhir

Tasyahud Awal Dan Tasyahud Akhir
Tasyahud Awal adalah duduk setelah sujud kedua pada raka’at kedua. Sedangkan Tasyahud Akhir adalah duduk sebelum salam pada raka’at terakhir
a) Cara Duduk Tasyahud Awal
Pada tasyahud awal, duduknya adalah secara Iftirasy, yaitu: duduk dengan melipat kaki kiri, meletakkan pantat di atas kaki kiri, menegakkan telapak kaki kanan serta menghadapkan jari-jari kaki kanan ke arah kiblat. Cara duduk seperti ini dilakukan oleh Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah.
# “Beliau menjelaskan bahwa bila duduk dalam tasyahud awal, hendaklah dilakukan dengan thuma’ninah dan membentangkan paha kiri, lalu bertasyahud.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad jayyid)
# Dari Abi Humaid As-Sa’idiy, dia berkata:
Maka apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di raka’at kedua (tasyahud awal) beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. Dan apabila duduk di raka’at yang terakhir (tasyahud akhir), beliau memajukan kaki kirinya dan menegakkan kaki (kaki kanan) dan duduk di atas tempat duduknya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

b) Cara Duduk Tasyahud Akhir
Pada tasyahud akhir, duduknya adalah secara tawaruk, yaitu: duduk dengan menghamparkan kaki kiri ke samping kanan, mendudukkan pantat di atas lantai, menegakkan kaki kanan serta menghadapkan jari-jari kaki kanan ke arah kiblat. Cara duduk seperti ini dilakukan oleh Imam Syafi’i.
# Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhu, dia berkata:
Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalatnya, meletakkan kaki kirinya di antara paha dan betisnya, dan meluruskan posisi kaki kanannya tepat di atas paha kanannya sambil mengangkat jari telunjuknya.” (HR. Muslim)
# “Di dalam tasyahud akhir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dengan duduk tawaruk.” (HR. Bukhari)
# “Duduk tawaruk yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan cara membentangkan paha sebelah kiri di atas lantai, lalu mengeluarkan kedua telapak kaki dari arah yang sama.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi)
# “Duduk tawaruk tersebut yaitu meletakkan kaki kiri di bawah paha dan betisnya.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
# “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan kaki kanannya.” (HR. Bukhari)
# “Beliau terkadang membentangkannya.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
c) Letak Duduk Tasyahud Awal Dan Tasyahud Akhir Dalam Shalat Dua Raka’at
Para ulama berbeda pendapat tentang letak duduk tasyahud dalam shalat dua raka’at, seperti shalat Shubuh, shalat Jum’ah, dan shalat sunnah rawatib. Sebahagian ada yang menyatakan bahwa duduk yang harus dilakukan adalah duduk iftirasy sebagaimana halnya ketika duduk dalam tasyahud awal, karena duduk tersebut dilaksanakan di raka’at yang kedua.
1) Duduk Iftirasy Di Raka’at Kedua Dan Dalam Shalat Dua Raka’at
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk tasyahud setelah raka’at kedua. Bila shalat yang dilakukannya hanya dua raka’at, seperti shalat Shubuh, beliau duduk iftirasy (HR. An-Nasa’i dengan sanad shahih), yaitu seperti ketika duduk antara dua sujud. Begitulah keadaan duduk pada tasyahud awal (HR. Bukhari dan Abu Dawud) dalam shalat tiga raka’at atau empat raka’at.
# Pendapat ini diperkuat dengan hadits yang menceritakan orang yang salah dalam melaksanakan shalatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya:
Dan apabila kamu duduk dipertengahan shalat, maka tuma’ninahlah dan duduklah di atas paha kirimu kemudian bertasyhadudlah” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad jayyid)
Pendapat ini dipegang oleh ulama Hanabilah, mereka menyatakan bahwa seseorang tidak diperbolehkan melakukan duduk tawaruk kecuali di raka’at yang terakhir dari shalat yang di dalamnya dilakukan dua kali tasyahud. Mereka berlandaskan dalil dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata:
# “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Setiap dua raka’at; tasyahud dan beliau biasa membentangkan kaki kirinya dan menegakkan yang kanan.” (HR. Muslim)
Dan dalam tasyahud kedua, pelaksanaan duduk tawaruk tiada lain adalah bertujuan untuk membedakan dua macam tasyahud, dan setiap shalat yang hanya memiliki satu tasyahud tidak ada kesamaran (keserupaan) lagi, maka tidak perlu ada pembeda lagi (duduk tawaruk tidak perlu dilakukan).
2) Duduk Tawaruk Setiap Tasyahud Yang Diakhiri Dengan Salam
Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa disunnahkan untuk melakukan duduk tawaruk setiap tasyahud yang diakhiri dengan salam meskipun bukan tasyahud yang kedua (akhir) sebagaimana halnya tasyahud Shubuh dan shalat Jum’ah, karena ia merupakan tasyahud yang disunnahkan untuk dipanjangkan pelaksanaannya sehingga disunnahkan untuk melakukan duduk tawaruk sebagaimana halnya ketika tasyahud kedua (tasyahud akhir). (Mausu’ah Fiqhiyyah XV/268)
d) Cara Meletakkan Tangan Ketika Duduk Tasyahud
Baik pada tasyahud awal maupun tasyahud akhir, tangan kanan diletakkan di atas paha dan lutut kanan dan tangan kiri di atas paha dan lutut kiri dengan cara berikut:
1) Menggenggam Jari-Jari Tangan Kanan Dengan Meletakkan Ibu Jari Di Bagian Tengah Di Bawah Jari Telunjuk

Selasa, 26 November 2013

Doa ketika Duduk di Antara Dua Sujud

Doa ketika Duduk di Antara Dua Sujud
Ada beberapa doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk diantara dua sujud, berikut diantaranya,
Pertama,
رَبِّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاجْبُرْنِي، وَارْفَعْنِي، وَاهْدِنِي، وَعَافِنِي، وَارْزُقْنِي
Rabbigh-fir lii, war hamnii, waj-bur nii, war-fa’-nii, wah-di-nii, wa ‘aafi-nii, war-zuq-nii
Kedua,
رَبِّ اغْفِرْ لِي، رَبِّ اغْفِرْ لِي
Rabbigh-fir lii.., Rabbigh-fir lii..

Kembali Turun Sujud

1. Setelah membaca doa, melakukan sujud yang kedua dengan membaca: Allahu akbar.
2. Dianjurkan untuk terkadang mengangkat kedua tangan ketika bertakbir untuk sujud kedua. Sebagaimana dinyatakan dalam riwayat Ahmad, Abu Daud dengan sanad yang shahih.
3. Melakukan sujud kedua dengan cara yang sama persis dengan sujud pertama.
4. kemudian bangkit dari sujud untuk menuju rukun selanjutnya.

Kesalahan ketika Duduk di Antara Dua Sujud

1. Tidak thumakninah ketika duduk di antara dua sujud, padahal thumakninah dalam setiap rukun shalat merupakan rukun dalam shalat. Sehingga tidak thumakninah ketika duduk di antara dua sujud, bisa membatalkan shalat.
2. Tidak menegakkan punggung ketika duduk di antara dua sujud. Padahal, dia mampu untuk duduk dengan tegak sempurna.
Perbuatan semacam ini termasuk membahayakan shalat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada orang yang shalatnya batal untuk melakukan gerakan rukun shalat dengan sempurna. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang cara shalat yang sempurna, “Kemudian dia membaca ‘Allahu akbar‘ dan mengangkat kepalanya sampai tegak sempurna.”
3.  Meninggalkan sunah ketika duduk di antara dua sujud.
Di antara sunah yang banyak ditinggalkan adalah ‘memperlama duduk di antara dua sujud’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang memperlama duduk di antara dua sujud, sampai makmum mengatakan, ‘Beliau lupa.’ (H.R. Bukhari)
Ibnul Qayyim mengatakan, “Sunah semacam ini ditinggalkan banyak orang setalah berakhirnya zaman para sahabat.” (Zadul Ma’ad, 1/230)

Minggu, 24 November 2013

Bacaan Rukuk Dan Sujud

Mengenai bacaan tasbih dalam rukuk dan sujud, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah telah menyebutkan:
Kemudian angkatlah kedua belah tanganmu seperti dalam takbir permulaan, lalu rukuklah dengan takbir seraya melempangkan (meratakan) punggungmu dengan lehermu, memegang kedua lututmu dengan kedua belah tanganmu, sementara itu berdoa: Subha-nakalla-humma Rabbana wa bihamdikalla-hummaghfirli, atau berdoalah dengan salah satu doa dari Nabi saw. Kemudian angkatlah kepala untuk i’tidal dengan mengangkat kedua belah tanganmu seperti dalam takbiratul ihram dan berdoalah: Sami’allahu liman hamidah, dan bila sudah lurus berdiri berdoalah: “Rabbana wa lakal hamdu, lalu sujudlah dengan bertakbir, letakkanlah kedua lututmu dan jari kakimu di atas tanah, lalu kedua tanganmu, kemudian dahi dan hidungmu dengan menghadapkan ujung jari kakimu ke arah Qiblat serta merenggangkan tanganmu dari pada kedua lambungmu dengan mengangkat sikumu. Dalam bersujud itu hendaklah kamu berdoa: Subha-nakalla-humma Rabbana wa bihamdikalla-hummaghfirliatau berdoalah dengan salah satu doa dari Nabi saw. (HPT cetakan ketiga hal: 77-78).
Dari uraian tersebut dapat kita simpulkan bahwasanya doa dalam rukuk dan sujud itu bukan hanya bacaan: subha-nakalla-humma Rabbana wa bihamdikalla-hummaghfirli, tetapi juga bisa dengan doa yang lain yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad saw. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadis-hadis. Dalam HPT tidak disebutkan mengenai bacaannya apakah itu satu kali atau beberapa kali, yang jelas penyebutan hanya satu kali dalam HPT tidaklah menafikan membacanya berulang kali.
Untuk lebih jelasnya, berikut kami kutip dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh HPT untuk bacaan doa dalam rukuk dan sujud, yaitu:
1.      Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْلِي. [رواه البخاري و مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ia berkata: Adalah Nabi saw dalam rukuk dan sujudnya mengucapkan Subha-nakalla-humma Rabbana wa bihamdikalla-hummaghfirli.” [HR. al-Bukhari dan Muslim, dalam Kitab Subulus-Salam Bab Kitabus-Salah hal: 181. Hadis ini sahih dan bisa dijadikan hujjah.]
2.      Hadis riwayat Muslim dari Hudaifah sebagai berikut:
عَنْ حُدَيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ يَقُولُ فِي رُكُوعِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلعَظِيمِ وَفِي سُجُودِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلاَعْلَي. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Hudaifah ra ia berkata: Aku pernah salat bersama Nabi saw, di dalam rukuknya beliau membaca: Subhaana rabbiyal-‘adziim dan dalam sujudnya: Subhana rabbiyal-a’la.” [HR. Muslim]
3.      Hadis riwayat Muslim dari Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ اْلمَلاَئِكَةِ وُالرُّوحِ. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ia berkata: Bahwasanya Rasulullah saw dalam rukuk dan sujudnya beliau membaca: Subbuhun Quddusun Rabbul Malaikati war-Ruuh.” [HR. Muslim]
4.      Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ اَنْ يَقُولَ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُوِدهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْلِي يَتَنَاوَلُ اْلقُرآنَ. [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ia berkata: Adalah Nabi saw sering membaca di dalam ruku dan sujud Subha-nakalla-humma Rabbana wa bihamdikall-hummaghfirli, beliau mengamalkan al-Qur’an.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Hadis ini juga disebutkan kitab Nailul Authar 2/256, yang diriwayatkan oleh Jama’ah kecuali at-Turmudzi. Imam Ahmad 1/388, 3683, al-Bukhari 1/201. Imam Hakim, Ibnu Majah 889, Sunan an-Nasa’i, Shifatus Shalat ar-Raudhu an-Nadhir, 1197, Sahih Abu Dawud 821. Hadis ini sahih dan bisa dijadikan hujjah.
Dalam hadis ini ada kata  يكثر dengan makna يُوَاظِبُ, yang berarti ‘sering’, seperti yang tersebut dalam Nailul Authar juz 3 hal: 445, dan ‘menekuni’, ‘tetap mengerjakan dengan teratur’, seperti tersebut dalam Kamus al-Munawwir hal: 1567. Dalam artian Rasulullah saw sering menggunakan bacaan dalam shalat setiap rukuk dan sujud yaitu bacaanSubhanakallahumma Rabbana wa bihamdika Allahumaghfirli. Dan makna يتناول القرانmaksudnya adalah mengamalkan kandungan isi firman Allah SWT: { فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ} artinya hendaklah engkau memahasucikan dengan memuji Tuhanmu dan mintalah ampun kepada-Nya (Fiqhus-Sunnah, juz 1 hal: 29 dan Nailul Authar juz 3 hal: 445).
Hadis di atas tidak menyebutkan harus berapa kali berdoa dalam rukuk dan sujud. Di dalam hadis itu hanya disebutkan satu kali, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa membacanya itu harus satu kali, sebab ada hadis lain yang memberikan tuntunan bahwa Rasulullah saw membacanya tidak hanya satu kali. Hadis-hadis tersebut sebagai berikut:
  1. Hadis Abu Dawud dari Abdullah bin Mas’ud
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَكَعَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ وَذَلِكَ أَدْنَاهُ وَإِذَا سَجَدَ فَلْيَقُلْ سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى ثَلاَثًا وَذَلِكَ أَدْنَاهُ.[رَوَاهُ أَبُو دَاوُد]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila salah seorang di antara kamu rukuk maka bacalah subhana rabbiyal-adzim, tiga kali. Dan apabila sujud maka bacalah subhana rabbiyal-a’la, tiga kali dan itu paling sedikit (minimal).” [HR. Abu Dawud]
Hadis ini menurut Abu Dawud sendiri mursal, karena ‘Aun tidak pernah bertemu dengan Abdullah” (Aunul Ma’bud, 3:141). Imam al-Bukhari mengatakan dalam kitab Tarikh al-Kabir: mursal, Imam at-Turmudzi juga mengatakan sanadnya tidak bersambung (terputus), dan Tahqiqul al-Baniy hadis ini ada di dalam kitab Ibnu Majah: 890, Sunan Ibnu Majah: 187, al-Miskat: 880, al-Jaami’u ash-Shagir: 525, Abu Dawud: 187 dan 886, itu semuanya dhaif. Dan setelah kami mengecek  hadis ini ternyata ada orang yang bernama Ishaq bin Yazid orangnya dhaif dan hadis ini hanya diriwayatkan oleh satu jalur, sehingga hadis ini tidak bisa dijadikan hujjah.
  1. Hadis riwayat Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasa’i dari Anas:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَشْبَهَ صَلاَةً بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا اْلغُلاَمِ - يَعْنِي عُمَرُ بْنُ عَبْدِ اْلعَزِيْزِ - فَخَرَرْنَا فِي الرُّكُوعِ عَشَرَ تَسْبِيحَاتٍ وَفِي السُّجُودِ عَشَرَ تَسْبِيْحَاتٍ. [رواه أحمد وأبو داود والنسائي بإسناد جيد]
Artinya: “Diriwayatkan dari Anas ra, ia berkata: Saya tidak melihat seorangpun yang salatnya mirip dengan Rasulullah saw dari anak ini, yakni Umar bin Abdul Aziz, maka kami memperkirakan dalam rukuknya beliau membaca tasbih sepuluh kali dan dalam sujudnya juga sepuluh kali.” [HR. Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasa’i, dengan sanad yang baik]
Syaikh al-Baniy mengatakan, bahwa hadis tersebut diperbincangkan karena sumber sanadnya dari Wahb bin Ma’nus sedangkan dia ini menurut Ibnu Qathan tidak tsiqah. Ibnu Qathan mengatakan: keadaan dia majhul (tidak diketahui). Adapun al-Hafidz (Ibnu Hajar al-Asqalaniy) mengatakan dalam kitab at-Taqrib dia itu disembunyikan. (Tamamul Manat 1/208), (Tanahijul Ifkar 2/65, hadis ini hasan), (Musnad Ahmad 3/162).
Menurut penelitian al-Baniy (Tahqiqul al-Baniy), hadis tersebut ada perawi yang tidak disebutkan yaitu Rabai’ah, dan ada orang yang asing yaitu Rusydin, menurut ath-Thabrani dalam mu’jam kitab al-Ausath 3/104 dan Nailul Authar 2/257 dengan lafadz  الفتي من هذا dha’if dalam al-Misykat: 883 dan Dha’ifu Sunan an-Nasa’i 15/1135, menurut penelitian al-Baniy (Tahqiqul al-Baniy). Akan tetapi Ibnu Hiban dan ad-Dahabiy menilai tsiqah. Dan disamping hadis tersebut tidak hanya diriwayatkan oleh satu jalur akan tetapi ada empat jalur dan jalur yang kedua dan ketiga itu orangnya tsiqah sekalipun ada satu perowi yaitu Athaf bin Khalid orangnya jujur tetapi jelek hafalan dan diragukan. Sehingga hadis ini menjadi kuat karena didukung oleh jalur yang lain.
Dari dua hadis yang terakhir ini menunjukkan bahwa bacaan tasbih dalam rukuk dan sujud itu tidak hanya dibaca satu kali akan tetapi bisa lebih dari satu kali. Menurut pentahqiq Syaikh al-Baniy, hadis ini adalah dha’if dan diperbincangkan. Namun, menurut kami hadis itu saling menguatkan dengan hadis-hadis sebelumnya, antara satu jalur dengan jalur yang lain. Sehingga hadis-hadis ini dapat dijadikan hujjah.
Berdasarkan keterangan di atas, maka boleh orang membaca tasbih dalam rukuk dan sujud lebih dari satu kali, akan tetapi tidak berlebih-lebihan. Asy-Syaukaniy mengatakan bahwa pendapat yang kuat adalah orang yang salat sendirian (munfarid) boleh menambah bacaan tasbih menurut keinginannya, dan hadis-hadis yang sahih tentang Nabi saw memanjangkan rukuk dan sujud itu menjadi alasan bagi orang yang memperkuat pendapat ini. Begitu juga bagi seorang imam boleh memanjangkan bacaan tasbih di dalam rukuk dan sujud asal makmum tidak merasa keberatan.

Jumat, 22 November 2013

Gerakan Dan Bacaan I`tidal

 I’tidal
a) Cara I’tidal
Adapun dalam tata cara i’tidal ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat, pertama mengatakan bersedekap dan yang kedua mengatakan tidak bersedekap tapi melepaskannya (berdiri dengan sikap sempurna).
1) Bersedekap:
Keterangan untuk pendapat pertama, yaitu kembali meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri atau menggenggamnya dan menaruhnya di dada, ketika telah berdiri. Hal ini berdasarkan nash di bawah ini:
# “Ia (Wa-il bin Hujr) berkata: “Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau berdiri dalam shalat, beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya.” (HR. An-Nasa’i)

# “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah, ia berkata dari Malik, ia berkata dari Abu Hazm, ia berkata dari Sahl bin Sa’d ia berkata: “Adalah orang-orang (para sahabat) diperintah (oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) agar seseorang meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam shalat.” (HR. Bukhari)
Komentar dari Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baaz (termaktub dalam fatwanya yang dimuat dalam majalah Rabithah ‘Alam Islamy, edisi Dzulhijjah 1393 H/Januari 1974 M, tahun XI):
# “Dari hadits shahih ini ada petunjuk diisyaratkan meletakkan tangan kanan atas tangan kiri ketika seorang Mushalli (orang yang shalat) tengah berdiri baik sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Karena Sahl menginformasikan bahwa para sahabat diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam shalat. Dan sudah dimengerti bahwa sunnah (Nabi) menjelaskan orang shalat dalam ruku’ meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua lututnya, dan dalam sujud ia meletakkan kedua telapak tangannya pada bumi (tempat sujud) sejajar dengan kedua bahunya atau telinganya, dan dalam keadaan duduk antara dua sujud, begitu pun dalam tasyahud ia meletakkannya di atas kedua pahanya dan lututnya dengan dalil masing-masing secara rinci. Dalam rincian sunnah tersebut tidak tersisa kecuali dalam keadaan berdiri. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwasanya maksud dari hadits Sahl diatas adalah disyari’atkan bagi Mushalli ketika berdiri dalam shalat agar meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya. Sama saja baik berdiri sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Karena tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara keduanya, oleh karena itu barangsiapa membedakan keduanya haruslah menunjukkan dalilnya. (Kembali pada kaidah ushul fiqh: “asal dari ibadah adalah haram kecuali ada penunjukannya” -per.)
2) Berdiri Dengan Sikap Sempurna (Berdiri Lurus):
Pendapat kedua, yaitu tidak bersedekap tapi melepaskannya (berdiri dengan sikap sempurna), berdasarkan hadits:
# “Kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau berdiri dengan tegak [sehingga tiap-tiap ruas tulang belakangmu kembali pata tempatnya].” (dalam riwayat lain disebutkan: “Jika kamu berdiri i’tidal, luruskanlah punggungmu dan tegakkanlah kepalamu sampai ruas tulang punggungmu mapan ke tempatnya).” (HR. Bukhari dan Muslim, dan riwayat lain oleh Ad-Darimi, Al-Hakim, Asy-Syafi’i dan Ahmad)
# Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Allah, Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Mahamulia tidak mau melihat shalat seseorang yang tidak meluruskan punggungnya ketika berdiri di antara ruku’ dan sujudnya (i’tidal, pent.) (HR. Ahmad dan Thabarani, shahih)
# Dari ‘Aisyah:
Apabila beliau mengangkat kepalanya dari rukuk, maka dia tidak langsung sujud sebelum berdiri lurus terlebih dahulu (HR. Muslim)
# Dari Ibnu Atha’, ia berkata,
Aku mendengar Abu Humaid berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat…kemudian beliau I’tidal sampai semua tulangnya kembali ke tempat semula.” (HR. Ibnu Hibban)
b) Thuma’ninah Dan Memperlama I’tidal
# “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri terkadang dikomentari oleh sahabat: “Dia telah lupa” [karena saking lamanya berdiri]. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
# “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ruku’, berdiri setelah ruku’ dan sujudnya, juga duduk antara dua sujud hampir sama lamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
c) Bacaan I’tidal
Ketika bangkit dari rukuk, seorang yang sedang shalat diperintahkan membaca Sami’ allahu Liman Hamidahu (Allah Maha Mendengar terhadap orang yang memuji-Nya), baik dia sebagai imam maupun makmum. Lalu apabila dia telah berdiri lurus (i’tidal), maka dia membacaRabbana wa Laka al-Hamdu (Wahai Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian) atau Allahuma Rabbana wa Laka al-Hamdu (Ya Allah Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian), yaitu berdasarkan hadits:
# Dari Abu Hurairah:
Bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan Sami’ allahu Liman Hamidahu (Allah Maha Mendengar terhadap orang yang memuji-Nya) ketika mengangkat punggungnya dari rukuk. Kemudian ketika berdiri, beliau membaca Rabbana wa Laka al-Hamdu (Wahai Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian).” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
# Dari Anas:
Dan apabila imam membaca Sami’ allahu Liman Hamidahu (Allah Maha Mendengar terhadap orang yang memuji-Nya), maka katakanlah: Allahumma Rabbana wa Laka al-Hamdu (Ya Allah Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian).” (HR. Bukhari)
# Dari Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Ahmad dan lain-lain, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Apabila imam membaca Sami’ allahu Liman Hamidahu (Allah Maha Mendengar terhadap orang yang memuji-Nya), maka katakanlah: Allahumma Rabbana wa Laka al-Hamdu (Ya Allah Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian). Barangsiapa bacaannya bersamaan dengan bacaan malaikat, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Al-Bukhari, bab Adzan, pasal Keutamaan Allahumma Rabbana wa Laka al-Hamdu)
Bacaan yang diperintahkan ketika i’tidal, sekurang-kurangnya adalah tahmid (Rabbana wa Laka al-Hamdu). Dan kalau mungkin, disunnahkan ditambah dengan bacaan-bacaan yang antara lain ditunjukkan dalam hadits berikut:
Bacaan 1:
# Dari Ubaid bin al-Hasan dari Abu Aufa, ia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ mengucapkan, sami’ allahu liman hamidah,
“RABBANA LAKAL HAMDU MIL US SAMAAWAATI WA MIL-UL-ARDHI WA MIL’U MAA SYI’TA MIN SYAI-IN BA’DU”
[Artinya]: “Ya Allah ya Tuhan kami, bagi-Mu-lah segala puji, sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki sesudah itu.” (Musnad al-Mustkhraj ‘ala shahih Muslim)
Bacaan 2:
# Dari Rafi’, sesungguhnya ia berkata,
Pada suatu hari kami shalat di belakang Rasulullah maka tatkala beliau bangkit dari ruku’, beliau mengucapkan:
“SAMI’ ALLAAHU LIMAN HAMIDAH”
[Artinya]: “Allah mendengar orang yang memujinya
Kemudian ada seorang laki-laki di belakang beliau yang membaca:
‘RABBANA LAKAL HAMDU HAMDAN KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI’
[Artinya]: “Ya Allah ya Tuhan kami, bagi-Mu-lah segala pujian yang banyak, yang baik dan yang ada barakah di dalamnya.
Maka tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai mengerjakan shalat, beliau bertanya, “Siapa yang tadi membaca doa.” Seorang laki-laki menjawab, ‘Saya!’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Saya melihat 37 Malaikat tergopoh-gopoh untuk segera menjadi penulis yang pertama’.” (Shahih Ibnu Khuzaimah).
Bacaan 3:
# Dari Abu Said al-Khudri, ia berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bangun dari ruku’ (i’tidal) beliau mengucapkan:
“RABBANA LAKAL HAMDU MIL’US SAMAWATI WAL ARDHI WA MIL’U MA SYI’TA MIN SYAI’IN BA’DU. ALLAHUMMA LA MANI’A LIMA A’THAITA WALA MU’THIYA LIMA MANA’TA WA LA YANFA’U DZAL JADDI MINKAL JADDU”
[Artinya]: “Ya Allah, bagi Engkaulah segala puja dan puji, sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh apa saja yang engkau kehendaki. Ya Allah Tak ada yang mampu menghalangi apa yang akan Engkau berikan dan tidak ada pula yang mampu memberikan apa yang Engkau larang dan tidaklah kekayaan itu dapat menolong yang empunya kecuali seizin Engkau.” (HR. Muslim)

Rabu, 20 November 2013

Bacaan Iftitah

Membaca iftitah dalam shalat adalah sunat. Hal ini berarti, jika lupa atau bahkan sengaja bacaan iftitah ini tidak dibaca, maka shalatnya tetap sah, hanya tidak mendapatkan pahala sunat dari bacaan iftitah tersebut.

Berikut ini Saya sajikan beberapa versi bacaan iftitah dalam shalat dalam huruf arab, transliterasi dan terjemahannya. Kita boleh mengambil salah satunya atau membaca keseluruhannya.

Bacaan iftitah versi pertama :

اَلله أَكْبَر كَبِيْرًا وَالحَمْدُلِلَّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَأَصِيْلاً


“Allaahu akbar kabiiraaw wal hamdu lillaahi katsiiraw wasubhaanallaahi bukrataw wa ashiila.”

“Allah Maha Besar lagi sempurna kebesarannya, segala puji bagi Allah dan Maha Suci Allah sepanjang pagi dan sore."
(Shahih Muslim : 943)


Bacaan iftitah versi ke dua :


وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ
الْمُشْرِكِيْنَ. إِنَّ صَلاَتِي, وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ، لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ، وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ. اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحاَنَكَ
وَبِحَمْدِكَ


"Wajjahtu wajhiya lilladzii fatharas samaawaati wal-ardha, haniifam muslimaw wamaa ana minal musyrikiin. Inna shalaatii wanusukii wamahyaaya wamamaatii lillaahi rabbil ‘aalaamiina. Laa syariika lahuu wabidzaalika umirtu wa ana awwalul muslimiin. Alaahumma antal maliku laa ilaaha illaa anta subhaanaka wabihamdika.” 

“Ku hadapkan muka dan hatiku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan keadaan lurus dan berserah diri dan aku bukanlah dari golongan kaum musrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah karena Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya, demikianlah aku diperintah dan aku termasuk golongan orang-orang muslim. Ya Allah, Engkau adalah Raja tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau. Mahasuci Engkau dan sepenuh pujian kepada-Mu.”
(Sunan Nasa-i : 888)

Bacaan iftitah versi ke tiga :

اللَّهُمَّ رَبَّ جبْرَئِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَإِسْرَافِيْلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ
وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كاَنُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ
مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ


"Allaahumma rabba jabraa-iila wa miikaa-ila wa israafiila faathiras samaawaati wal ardli, 'aalimal ghaibi wasysyahaadati, anta tahkumu baina 'ibaadika fiima kaanuu fiihi yakhtalifuuna, ihdii limaakhtulifa fiihi minal haqqi bi idznika, innaka tahdii man tasyaa-u ilaa shiraathim mustaqiim." 

“Ya Allah, wahai Rabb Jibril, Mikail dan Israfil! Wahai Yang memulai penciptaan langit-langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya! Wahai Dzat Yang mengetahui yang gaib dan yang tampak! Engkau menghukumi/memutuskan di antara hamba-hamba-Mu dalam perkara yang mereka berselisih di dalamnya. Tunjukilah aku mana yang benar dari apa yang diperselisihkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberikan hidayah kepada siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.”
(Shahih Muslim : 1289)

Bacaan iftitah vesri ke empat : 

اللَّهُمَّ باَعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا باَعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي
مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ
بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ



"Allaahumma baa'id bainii wabaina khathaayaaya kamaa baa'adta bainal masyriqi wal maghribi, Allaahumma naqqinii min khathaayaaya kamaa yunaqqats tsaubul abyadlu minad danas. Allaahummaghsilnii min khathaayaaya bilmaa-i watstsalji walbaradi."

“Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dari noda. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, hujan es, dan air dingin.” 
(Shahih Bukhari : 702, Shahih Muslim : 940)

Bacaan Iftitah versi ke lima :

الْحَمْدُ لِلهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ


"Alhamdulillaahi hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiihi"

“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, yang baik, lagi diberkahi di dalamnya.”
(Shahih Muslim : 942)
Bacaan Iftitah versi ke enam :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ
Subhaana-kallaah-humma wa biham-dika wa tabaa-rakas-muka wa ta-’aa-laa jadduka wa laa-ilaaha ghai-ruk. (HR. Abu Daud dan dishahihkan Al Albani).
Bacaan Iftitah versi ketujuh 
Seperti do’a iftitah di atas, tetapi dengan tambahan bacaan berikut:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ (ثَلاَثًا)  اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا (ثَلاَثًا)
Laa-ilaaha-illallaah (3 kali) allaahu akbar kabii-raa (3 kali).
Keterangan: Do’a iftitah ini dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat shalat malam. (HR. Abu Dauddan dishahihkan Al Albani).
Bacaan Iftitah versi kedelapan 
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً
Allaahu akbar kabiiraa wal hamdu lillaahi katsiiraa wa subhaa-nallaa-hi buk-rataw wa ashii-laa. (HR. Muslim)
Keterangan: Do’a iftitah ini dibaca oleh salah seorang sahabat ketika shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau bersabda: “Aku kagum dengan do’a ini. Pintu-pintu langit telah dibuka karena do’a ini.” Kata Ibn Umar: “Sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian Saya tidak pernah meninggalkan do’a ini.” (HR. Muslim)
Bacaan Iftitah versi kesembilan 
الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ
Al hamdu lil-laahi hamdan katsii-ran thayyi-ban mubaa-rakan fiih (HR. Muslim)
Keterangan: Do’a ini dibaca oleh salah seorang sahabat ketika shalat jamaah. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku melihat 12 malaikat berlomba siapakah di antara mereka yang mengantarkannya (kepada Allah, pen.)) (HR. Muslim).

Do’a-do’a iftitah berikut adalah do’a yang dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat malam:

Bacaan Iftitah versi kesepuluh 
اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِى لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِى مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Allaa-humma rabba jib-riila wa mii-kaa-iil wa israafiil. Faa-thiras samaa-waati wal ardl. ‘aali-mal ghai-bi was syahaa-dah. Anta tahkumu bai-na ‘ibaa-dik fii-maa kaa-nuu fiihi yakh-tali-fuun. Ihdi-nii limakh-tulifa fiihi minal haqqi bi-idznik. Innaka tahdii man tasyaa-u ilaa shiraa-tim mustaqiim.
Bacaan Iftitah versi kesebelas 
Al hamdu lil-laah (10 X)
الْحَمْدُ لِلَّهِ
Allaahu akbar (10 X)
اللَّهُ أَكْبَرُ
Laa-ilaaha-illallaah (10 X)
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
Subhaa-nallaah (10 X)
سُبْحَانَ الله
As-tagh-firullaah (10 X)
أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ
Allaah-hummagh fir lii wah-dinii war-zuqnii wa ‘aa-finii (10 kali)
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى وَاهْدِنِى وَارْزُقْنِى وَعَافِنِى
Allaah-humma innii a-’uudzu bika minad Dhii-qi yaumal hisaab (10 kali)
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الضِّيقِ يَوْمَ الْحِسَابِ
(HR. Ahmad & Abu Daud dan dishahihkan Al Albani)
Bacaan Iftitah versi keduabelas 
Allaahu akbar (3 kali)
اللَّهُ أَكْبَرُ
Dzul-malakuut wal jaba-ruut wal kib-riyaa’ wal ‘a-dza-mah
ذُو الْمَلَكُوتِ وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
(HR. Abu Daud dan dishahihkan Al Albani).