Sabtu, 27 Juli 2013

Dalil Sholat Idul Adha dan Qurban

Sembelih Qurban di IdulAdha
Guru Ngaji YGNI. Idul Qurban atau Idul Adha adalah salah satu hari raya umat Muslim yang ditetapkan oleh agama. Di hari tersebut, disyariatkan ibadah udhiyah atau dikenal dengan ibadah qurban, yaitu menyembelih hewan qurban dengan aturan tertentu, dalam rangka taqarrub kepada Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika orang-orang menyembelih” (HR. Tirmidzi 632, Ad Daruquthni 385, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 1/440)
Di hari itu juga disyariatkan bahkan dianjurkan untuk berbahagia dan bergembira ria. Sebagaimana diceritakan oleh Anas bin Malik Radhiallahu’anhu:
قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال ما هذان اليومان قالوا كنا نلعب فيهما في الجاهلية فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله قد أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الأضحى ويوم الفطر
Di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam baru hijrah ke Madinah, warga Madinah memiliki dua hari raya yang biasanya di hari itu mereka bersenang-senang. Rasulullah bertanya: ‘Perayaan apakah yang dirayakan dalam dua hari ini?’. Warga madinah menjawab: ‘Pada dua hari raya ini, dahulu di masa Jahiliyyah kami biasa merayakannya dengan bersenang-senang’. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Sungguh Allah telah mengganti hari raya kalian dengan yang lebih baik, yaitu Idul Adha dan ‘Idul Fithri’ ” (HR. Abu Daud, 1134, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud, 1134)
Sunnah-Sunnah Di Hari Idul Adha
  1. Mandi. Dalilnya:
    أن رجلا سأل عليا ، رضي الله عنه ، عن الغسل ، فقال : غتسل كل يوم إن شئت ، قال : لا بل الغسل, قال اغتسل كل يوم جمعة ، ويوم الفطر ، ويوم النحر ، ويوم عرفة
    Seorang lelaki bertanya kepada Ali radhiallahu’anhu tentang mandi, ia menjawab: ‘Mandilah setiap hari jika engkau mau’. Lelaki tadi berkata: ‘bukan itu, tapi mandi yang benar-benar mandi’. Ali menjawab: ‘Mandi di hari Jum’at, Idul Fitri, Idul Adha dan hari Arafah’” (HR. Al Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa 1/177)
  2. Memakai pakaian yang terbaik. Sebagaimana diriwayatkan dari Nafi’:
    أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَلْبَسُ فِي الْعِيدَيْنِ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ
    Ibnu Umar biasa mengenakan bajunya yang terbaik pada Idul Fitri dan Idul Adha” (HR. Al Baihaqi 6143, dishahihkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari2/510)
  3. Tidak makan hingga kembali dari shalat Id. Dalilnya hadits Buraidah:
    كان لا يخرج يوم الفطر حتى يأكل وكان لا يأكل يوم النحر حتى يرجع
    Nabi Shallallahu’alahi Wasallam biasanya tidak keluar pada hari Idul Fitri hingga makan terlebi dahulu, dan tidak makan pada hari Idul Adha hingga beliau kembali dari shalat” (HR. Ibnu Majah 1434, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)
  4. Mengambil jalan yang berbeda ketika pergi shalat Id. Dalilnya hadits Jabir:
    كان النبي – صلى الله عليه وسلم – إذا كان يوم عيدٍ خالَفَ الطريقَ
    Nabi Shallallahu’alahi Wasallam biasanya ketika hari Id mengambil jalan yang berbeda antara pulang dan pergi” (HR. Bukhari 986)
  5. Sebagian ulama menganjurkan untuk menyegerakan pelaksanaan shalat Idul Adha, dengan kata lain jika dimulai lebih pagi itu lebih baik. Diriwayatkan secara mursal bahwa:
    كتَب إلى عمرِو بنِ حزْمٍ وهو بنَجْرانَ عجِّلِ الأضحى وأخِّرِ الفطرَ وذكِّرِ الناسَ
    Nabi Shallallahu’alahi Wasallam mengirim surat kepada Amr bin Hazm ketika ia di Najran agar ia menyegerakan shalat Idul Adha dan mengakhirkan shalat Idul Fitri dan mengingatkan manusia”(HR. Al Baihaqi 3/282). Pada Idul Fitri tujuannya untuk melonggarkan waktu pembayaran zakat fitri, sedangkan pada Idul Adha untuk menyegerakan penyembelihan sehingga waktunya lebih luas (Mulakhash Fiqhi, 1/270)
Shalat Id
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Id, sebagian mengatakan wajib, sebagian ulama mengatakan hukumnya sunnah. Oleh karena itu, setiap muslim yang tidak memiliki uzur dan halangan hendaknya bersemangat untuk menjalankan ibadah ini. Terlebih lagi, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallammemerintahkan para wanita yang sedang haid dan wanita yang dipingit untuk hadir di lapangan walau mereka tidak ikut shalat Id. Sebagaimana hadits dari Ummu ‘Athiyyah radhiallahu’anha :
أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نخرج ذوات الخدور يوم العيد قيل فالحيض قال ليشهدن الخير ودعوة المسلمين قال فقالت امرأة يا رسول الله إن لم يكن لإحداهن ثوب كيف تصنع قال تلبسها صاحبتها طائفة من ثوبها
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan wanita yang dipingit (juga wanita yang haid) pada hari Ied, untuk menyaksikan kebaikan dan seruan kaum muslimin. Kemudian seorang wanita berkata: ‘Wahai Rasulullah jika diantara kami ada yang tidak memiliki pakaian, lalu bagaimana?’. Rasulullah bersabda: ‘Hendaknya temannya memakaikan sebagian pakaiannya‘” (HR. Abu Daud, no.1136. Dishahihkan Al Albani di Shahih Abi Daud)
Tata Cara Shalat Id
  • Tidak ada adzan dan iqamah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan JabirRadhiallahu’anhuma :
    لم يكن يُؤذَّن يوم الفطر ولا يوم الأضحى
    Tidak pernah ada adzan pada shalat Idul Fitri dan shalat Idul Adha” (HR. Bukhari 960, Muslim 886)
  • Tata cara shalat Id umumnya sama seperti shalat biasa. Hanya saja ia dikerjakan sebanyak dua rakaat. Dan bertakbir sebanyak 7 kali pada rakaat pertama, atau 5 kali pada rakaat kedua, sebelum membaca yang lain, tidak termasuk takbiratul ihram, takbir intiqal dan takbir untuk rukuk. Dalilnya hadits ‘Aisyah:
    أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – كان يكبر في الفطر والأضحى: في الأولى سبع تكبيرات، وفي الثانية خمساً، سوى تكبيرتي الركوع
    Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam biasanya bertakbir pada shalat Idul Fitri dan Idul Adha 7 kali di rakaat pertama dan 5 kali di rakaat kedua, tidak termasuk takbir untuk rukuk” (HR. Abu Daud 1150, Ibnu Majah 1280, dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa 639)
  • Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam biasanya membaca surat Al A’laadan Al Ghasiyah terutama jika hari Id jatuh pada hari Jum’at, atau terkadang juga surat Qaf dan Al Qamar (lihat hadits Muslim 878, 891).
  • Diikuti dengan khutbah setelah selesai shalat. Dalilnya hadits Ibnu Abbas:
    شهدتُ العيد مع رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وأبي بكر وعمر وعثمان رضي الله عنهم، فكلهم كانوا يُصَلُّون قبل الخُطبة
    Aku ikut shalat Id bersama Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu’anhum. Mereka semua shalat sebelum khutbah” (HR. Bukhari 962, Muslim 884).
    Mendengarkan khutbah hukumnya sunnah dan tidak berpengaruh pada keabsahan shalat Id. Beradasarkan hadits:
    إنَا نخطب، فمن أحب أن يجلس للخطبة فليجلس، ومن أحب أن يذهب فليذهب
    Aku (Rasulullah) akan berkhutbah. Siapa yang ingin duduk mendengarkan, silakan. Siapa yang ingin pergi, juga silakan” (HR. Abu Daud 1155, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami 2289)
  • Tidak ada shalat khusus sebelum (qabliyah) atau setelah (ba’diyah) shalat Id. Dalilnya hadits Ibnu ‘Abbas :
    أن النبي – صلى الله عليه وسلم – صلى يوم الفطر ركعتين، لم يُصَلِّ قبلَها ولا بعدها
    Nabi Shallallahu’alahi Wasallam shalat di hari Idul Fitri dua rakaat tanpa menyambung dengan shalat sebelum atau sesudahnya” (HR. Bukhari 989)
  • Jika Idul Adha jatuh pada hari Jum’at, boleh meninggalkan shalat Jum’at pada siang harinya, dengan kata lain cukup shalat Zhuhur saja. Namun jika tetap melaksanakan shalat Jum’at juga diperbolehkan. Dalilnya hadits Zaid bin Arqam:
    أنه صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ صلَّى العيدَ ، ثم رخَّص في الجمعةِ ، فقال : من شاء أن يُصلِّيَ فلْيُصلِّ
    Nabi Shallallahu’alahi Wasallam shalat Id, lalu beliau memberi keringanan untuk tidak melakukan shalat Jum’at, tapi beliau bersabda: ‘siapa yang ingin shalat, silakan’” (HR. Abu Daud 1070, An Nasa’1 3/194, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Takbiran Idul Adha
Allah Ta’ala berfirman:
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ
Sebutlah nama Allah pada hari-hari yang ditentukan” (QS. Al Baqarah: 203).
Para ulama berbeda pendapat mengenai tafsiran ayat ‘hari-hari yang ditentukan‘. Yang shahih, sesuai dengan riwayat shahih yang keluarkan Ibnu Abi Syaibah (2/165) dari Ali radhiallahu’anhu bahwasanya takbiran Idul Adha dilakukan sejak subuh tanggal 9 Dzulhijjah hingga setelah shalat Ashar tanggal 13 Dzulhijjah (Al Wajiz, 1/160).
Ibadah Udhiyah
Al Udhiyah atau an nusuk atau an nahr atau biasa disebut ibadah qurban adalah ibadah yang agung yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala. Ia berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Shalatlah kepada Rabb-mu dan berqurbanlah” (QS. Al Kautsar: 2)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya, sebagian mengatakan hukumnya wajib bagi yang mampu, dan sebagian mengatakan sunnah muakkad. Oleh karena itu, selayaknya orang yang mampu berqurban tidak lalai dari ibadah ini. Diantara dalilnya adalah, sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
من كان له سِعَةٌ ولم يُضَحِّ فلا يَشهدْ مصلَّانا
Barangsiapa memiliki kelapangan, namun ia tidak berqurban, maka janganlah datangi mushalla kami” (HR. Ahmad 1/312, Ibnu Majah 3123, dihasankan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)
Hewan Qurban
Hewan yang disembelih dalam ibadah qurban adalah bahiimatul an’am, yaitu unta, sapi, kambing, dan domba. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ
Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap bahimatul an’am yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” (QS. Al Hajj: 34)
Unta lebih utama, lalu setelah itu sapi, karena lebih berharga dan lebih banyak dagingnya sehingga memberikan manfaat (Mulakhash Fiqhi,1/449).
Sembelihan seekor sapi mencukupi untuk 7 orang dan sembelihan seekor unta mencukupi untuk 10 orang. Berdasarkan hadits:
كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر ، فحضر الأضحى ، فاشتركنا في البقرة سبعة ، وفي البعير عشرة
Kami pernah bersafar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, kemudian tiba hari Idul Adha. Maka kami patungan bertujuh untuk sapi, dan bersepuluh untuk unta” (HR. Tirmidzi 1501, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi 905)
Sedangkan sembelihan seekor kambing atau domba untuk satu orang shahibul qurban, namun pahalanya untuk ia dan seluruh keluarganya sekaligus. Sebagaimana hadits Atha bin Yasar:
كيف كانتِ الضحايا على عهدِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فقال كان الرجلُ يُضحِّي بالشاةِ عنه وعن أهلِ بيتِه، فيأكُلونَ ويطعَمونَ حتى تَباهى الناسُ فصارَتْ كما تَرى
Bagaimana para sahabat berqurban di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam? Abu Ayyub Al Anshari menjawab: ‘Ada yang pernah menyembelih seekor domba untuk dirinya dan keluarganya. Mereka akan makan sebagiannya dan menyedekahkan sebagiannya. Sehingga jadilah seperti yang engkau lihat’” (HR. Tirmidzi 1505, ia berkata: ‘hasan shahih’)
Adapun hewan yang dijadikan sembelihan qurban, tidak boleh memiliki kekurangan yang disebut dalam hadits:
أربع لا تجزئ في الأضاحي العوراء البين عورها ، والمريضة البين مرضها ، والعرجاء البين ظلعها ، والكسير التي لا تنقى
Empat hal yang tidak boleh ada pada hewan qurban : dipastikan ia sakit buta, dipastikan ia sakit, dipastikan ia pincang, atau ia kurus sekali” (HR. Ahmad 18139, Ibnu Majah 3143, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)
Waktu Penyembelihan
Penyembelihan hewan qurban dapat dilakukan dalam rentang waktu 4 hari, dimulai setelah shalat Idul Adha hingga beakhir setelah ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Diluar rentang waktu ini maka tidak sah. Dalilnya adalah hadits Barra’ bin ‘Adzib:
مَن ذبح قبل الصلاة فليس مِن النسك في شيء، وإنما هو لحم قَدَّمه لأهله
Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Idul Adha, maka itu tidak dianggap nusuk (qurban). Itu hanya sekedar daging biasa untuk dimakan keluarganya” (HR. Bukhari 5560, Muslim 1961)
Juga hadits:
كل أيام التشريق ذبح
Pada hari-hari tasyriq, boleh menyembelih” (HR. Ahmad 4/8, dihasankan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 2476)
Tata Cara Penyembelihan
  1. Wajib membaca basmalah, dan disunnahkan bertakbir. Lalu meletakkan kaki pada leher hewan sembelihan. Dalilnya:
    وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
    Jangan kalian makan sembelihan yang tidak disebut nama Allah atasnya, karena itu adalah kefasikan” (QS. Al An’am: 121)
    Juga hadits:
    ضَحَّى النبي – صلى الله عليه وسلم – بكبشين أملحين أقرنين، ذبحهما بيده، وسَمًى وكَبَّر، ووضع رجله على صِفَاحِهما
    Nabi Shallallahu’alahi Wasallam berqurban dengan dua kambing kibasy berwarna putih lagi panjang tanduknya. Beliau menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri sambil membaca basmalah dan bertakbir serta meletakkan kaki beliau diatas leher keduanya” (HR. Bukhari 5558, Muslim 1966)
  2. Disunnahkan menyebut nama shahibul qurban. Sebagaimana praktek Nabi ketika berqurban beliau bersabda:
    اللهم هذا عني، وعمّن لم يُضحِّ من أمتي
    Ini qurban dariku dan umatku yang tidak bisa berqurban” (HR. Al Hakim 7629, dishahihkan Al Albani dalam Syarah At Thahawiyah 456)
  3. Gunakan pisau yang tajam sehingga cepat putus dengan demikian hewan qurban tidak terlalu lama merasakan sakit, dan tenangkan hewan sebelum di sembelih. Dalilnya:
    وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبح . وليحد أحدكم شفرته . فليرح ذبيحته
    Jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaknya kalian menajamkan pisau dan hendaknya ia menenangkan hewan sembelihannya” (HR. Muslim 1995)
Sunnah-Sunnah Dalam Ibadah Qurban
  1. Penyembelihan dilakukan dilapangan. Dalilnya hadits Ibnu Umar:
    كان – صلى الله عليه وسلم – يُضحي بالمُصلى
    “Biasanya Nabi Shallallahu’alahi Wasallam berqurban dilapangan” (HR. Bukhari 5552)
  2. Shahibul qurban dianjurkan menyembelih dengan tangan sendiri atau boleh diwakilkan kepada orang lain namun menyaksikan penyembelihannya (Ahkamul Idain, 1/77)
  3. Shahibul qurban dianjurkan memakan daging sembelihannya dan mensedekahkan sebagian yang lain. Dalilnya sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang hal ini :
    كلوا وادّخروا وتصدّقوا
    Makanlah, simpanlah dan sedekahkanlah” (HR. Bukhari 5569, Muslim 1971)


    APABILA HARI IED BERTEPATAN HARI JUMAT
    Apabila hari raya Idul Fithri atau Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at, apakah shalat Jum’at menjadi gugur karena telah melaksanakan shalat ‘ied? Untuk masalah ini para ulama memiliki dua pendapat.
    Pendapat PertamaOrang yang melaksanakan shalat ‘ied tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at.
    Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari pendapat ini adalah:
    Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
    Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)
    Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
    مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
    “Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.”[2]Ancaman keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib.
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
    الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
    Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1] budak, [2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.”[3]
    Ketiga: Karena shalat Jum’at dan shalat ‘ied adalah dua shalat yang sama-sama wajib (sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘ied itu wajib), maka shalat Jum’at dan shalat ‘ied tidak bisa menggugurkan satu dan lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Ied.
    Keempat: Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden seperti suku Badui). Dalilnya adalah,
    قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
    “Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.”[4]
    Pendapat KeduaBagi orang yang telah menghadiri shalat 'Ied boleh tidak menghadiri shalat Jum'at. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir.
    Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari pendapat ini adalah:
    Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
    أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
    “Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.”[5]
    Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304)  mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits inijayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro(321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih.[6] Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
    Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”[7] Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.
    Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[8]
    Kesimpulan:
      • Boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied untuk tidak menghadiri shalat Jum'at sebagaimana berbagai riwayat pendukung dari para sahabat dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat ini.
        • Pendapat kedua yang menyatakan boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat 'ied tidak menghadiri shalat Jum'at, ini bisa dihukumi marfu’ (perkataan Nabi) karena dikatakan “ashobas sunnah (ia telah mengikuti ajaran Nabi)”. Perkataan semacam ini dihukumi marfu’ (sama dengan perkataan Nabi), sehingga pendapat kedua dinilai lebih tepat.
          • Mengatakan bahwa riwayat yang menjelaskan pemberian keringanan tidak shalat jum’at adalah khusus untuk orang yang nomaden seperti orang badui (yang tidak dihukumi wajib shalat Jum’at), maka ini adalah terlalu memaksa-maksakan dalil. Lantas apa faedahnya ‘Utsman mengatakan, “Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan”? Begitu pula Ibnu Az Zubair bukanlah orang yangnomaden, namun ia mengambil keringanan tidak shalat Jum’at, termasuk pula ‘Umar bin Khottob yang melakukan hal yang sama.
            • Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah anjuran untuk membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah jika hari ‘ied bertemu dengan hari Jum’at pada shalat ‘ied dan shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
              كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
              “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua ‘ied dan dalam shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[9]
              Hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah ketika hari ‘ied bertetapan dengan hari Jum’at dan dibaca di masing-masing shalat (shalat ‘ied dan shalat Jum’at).
              • Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jum’at, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (4 raka’at).[10]
              Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin.  Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

              [1] Pembahasan kali ini kami olah dari Shahih Fiqih Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/594-596, Al Maktabah At Taufiqiyah.
              [2] HR. Abu Daud no. 1052, dari Abul Ja’di Adh Dhomri. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
              [3] HR. Abu Daud no. 1067, dari Thariq bin Syihab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
              [4] HR. Bukhari no. 5572.
              [5] HR. Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310.
              [6] Dinukil dari http ://dorar.net
              [7] HR. Abu Daud no. 1071. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
              [8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al Maktabah At Taufiqiyah.
              [9] HR. Muslim no. 878.
              [10] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 8/182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al Ifta.
            Referensi:
            • Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitaabil ‘Aziz, Syaikh Abdul Azhim bin Badawi Al Khalafi
            • Ahkamul Idain Fis Sunnah Al Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi
            • Al Mulakhash Al Fiqhi, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan

            0 komentar:

            Posting Komentar